Gagal menikah dengan calon tunangannya tidak membuatnya putus asa dan tetap kuat menghadapi kenyataan.
Kegagalan pertunangannya disebabkan karena calon suaminya ternyata hanya memanfaatkan kebaikannya dan menganggap Erina sebagai wanita perawan tua yang tidak mungkin bisa hamil.
Tetapi suatu kejadian tak terduga membuatnya harus menikahi pemuda yang berusia 19 tahun.
Akankah Erina mampu hidup bahagia dengan pria yang lebih muda darinya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
Akmal terduduk di atas closed dia merenungi nasibnya yang malang. Dia tidak habis pikir pada dirinya yang disangkanya adalah pria normal malah dia layaknya seperti banci.
“Ya Allah aku nggak bakalan punya keturunan kalau seperti ini, pasti Mbak Erina akan mencari pria lain dan selingkuh agar bisa mendapatkan keturunan karena dariku tak sanggup membuahi sel telurnya,” Akmal berdoa tapi masih saja nyeleneh.
Akmal memegangi dan memandangi senjatanya yang tertidur. Kenyataan pahit itu baru diketahuinya kalau dia bukan pria jantan masih dalam tahap dugaan saja.
Erina yang sudah mengantuk kebingungan dengan apa yang diperbuat Akmal di dalam sana, karena sudah lebih setengah jam tapi belum keluar juga. Dia berulang kali menguap menahan rasa kantuknya.
“Kenapa Akmal lama banget di dalam sana? Apa yang terjadi padanya? Apa gue cek saja yah,”
Sedang orang yang ditunggu malah masih merenung di dalam kamar mandi. Dia sesekali memegangi senjatanya yang terkulai lemas tak berdaya.
“Kalau Lo enggak berfungsi normal bagaimana gue bisa memiliki anak yang lucu, apa Lo gak kasihan sama gue ha!? Kalau gini nasib gue sama saja seorang kasim yang tidak bisa berkembang biak,” gerutunya Akmal.
Tok… tok..
Suara pintu kamar mandi terdengar diketuk oleh Erina. Ia masih senyum-senyum mengingat kejadian tadi saat mengerjai suami brondongnya. Dia menyukai wajahnya Akmal yang imut dan lucu kalau salah tingkah.
“Bocah! Apa yang Lo lakukan d dalam sana!?” teriak Erina.
“Tunggu Mbak! Gue masih mandi,” balasnya Akmal yang tak kalah keras suara teriakannya dari Erina.
“Maaf ganggu,gue cuma cemas terjadi sesuatu kepadamu, gue tidur duluan yah,” Erina langsung berjalan ke arah ranjang pengantinnya yang masih bertabur kelopak bunga mawar merah.
“Tidur duluan saja, mbak kan bukan anak kecil yang harus dikelonin atau Mbak pengen gue bacain dongen?”
“Terserah kamu saja mau ngapain, buat dede bayi juga boleh,” candanya Erina yang cekikan.
Berselang beberapa menit kemudian, suara dengkuran halus terdengar dari bibir mungilnya Erina bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka lebar.
Akmal berjalan terpincang-pincang ke arah ranjang dan hendak naik ke atas ranjang untuk ikut tidur. Tapi, pandangan matanya malah tertuju pada belahan dadanya Erina yang terekspos jelas karena hanya memakai pakaian piyama tidur yang lebih mirip dengan lingerie seksi.
Buah dada yang putih mulus, kenyal dan montok menyembul dibalik kain tembus pandang itu seolah ingin lompat dari tempatnya.
“Subhanallah cantiknya, tapi ukurannya gede pas di tanganku,” Akmal terus memandangi keindahan bentuk tubuh Erina.
Paha mulus, pinggang ramping, pinggul lebar dan bokong padat dan besar semakin menambah pesona kecantikannya Erina.
Tiba-tiba sesuatu di bawah sana mengeras. Ada yang keras tapi bukan batu, ada yang tegak tapi bukan keadilan dan ada yang berkibar tapi bukan bendera merah putih.
“Alhamdulillah si Burung perkutut bereaksi, berarti hanya butuh dipancing dan diberikan stimulus kalau gini,”
Akmal kesulitan menelan ludahnya sendiri melihat kain pengaman berenda yang menerawang berwarna merah.
“Yes! Gue normal lelaki normal dan perkasa. Hore gue bukan bencong!” Akmal malah lompat-lompat saking bahagianya.
Akmal malah mengecek burung perkututnya dan melihat betapa gagah perkasa berdiri tegak siap mencari pasangannya.
“Buzit dah, kalau gini gue mana sanggup menahannya,” cicitnya Akmal pandangannya tak terlepas dari tubuh bak jam pasir milik istrinya.
Hingga kakinya kembali keseleo dan terkilir karena saking terharunya dan gembiranya mengetahui kondisi kesehatan reproduksinya.
“Auhh!! Argh sakit!” teriak histeris Akmal.
Erina terbangun karena suata ribut-ribut mengusik ketenangan tidurnya. Dia sedikit mengucek kelopak dan menyipitkan pupil matanya untuk melihat dengan jelas karena cahaya lampu kamarnya membuatnya kesulitan melihat dengan jelas.
“Kenapa, Lo baik-baik saja kan?” Tanyanya Erina.
Akmal garuk-garuk kepala karena salah tingkah kedapatan bersikap kayak bocah labil,” kakiku gue sedikit ngilu, tapi Mbak gak perlu khawatir lanjutin saja tidurnya, gue gak apa-apa kok,” kilahnya Akmal karena tidak mungkin jujur sebenarnya apa yang terjadi padanya.
Erina menunjuk ke arah meja,“sini gue cek takutnya infeksi atau bengkak,”
“Nggak apa-apa kok Mbak, gue baik-baik saja kok,” tolaknya Akmal secara halus.
Erina melihat ke arah samping kanannya,” Ada obatmu di meja nakas, minumlah sebelum tidur agar kondisimu cepat pulih jadi kita bisa ke kampungmu.”
Erina langsung melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu hingga suara dengkurannya kembali terdengar.
Akmal mengelus-ngelus lembut ujung senjata pamungkasnya, “Sabar yah kamu akan dapat jatah setelah gue berhasil menaklukkan hati istriku karena gue gak mau melakukannya karena semata-mata nafsu saja. Gue ingin karena kami melakukannya atas dasar cinta suka sama suka.”
Beberapa hari ari kemudian…
Hubungan keduanya semakin dekat dan akrab walau belum melalui ritual malam pertama karena Shaka berniat melakukannya kalau mereka sudah sama-sama siap dan saling mencinta.
Akmal dan Erina menuju ke kampung halamannya Akmal bersama dengan rombongan keluarga besarnya. Karena akan mengadakan pesta resepsi untuk kedua kalinya tapi di kampung halamannya Akmal.
Setelah memasuki gapura desa Mekarjaya, semua orang dibuat terkagum-kagum dengan pesona alam yang dilihatnya.
Mata mereka disuguhkan oleh pemandangan yang indah dan asri. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah hijau dan menguning yang terbentang luas di sepanjang jalan kampung yang mereka lewati.
“Subhanallah, indahnya kampung kamu Mas Shaka, gue bakal betah berlama-lama kalau pemandangannya kayak gini,” ucapnya Erina yang membuka kaca jendela di sampingnya.
Sedangkan Akmal fokus mengemudikan mobilnya menuju alamat rumahnya. Dia terkejut mendengar perkataan dari Erina yang memanggilnya dengan sapaan Mas.
Tapi, tiba-tiba ada desiran aneh yang dirasakannya ketika mendengar istrinya menggigilnya dengan sebutan yang lebih akrab dan baginya itu sungguh panggilan termanis.
“Hemp, panggilannya sudah berubah rupanya dari Lo ke Mas,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya ke arah jalan yang dilaluinya itu.
Erina tersenyum simpul sambil mengerlingkan sebelah matanya,” aku harus menghormati suamiku meski aku yang lebih tua darinya. Apa Mas Shaka keberatan dengan apa yang aku lakukan?” tanyanya dengan suara yang dibuat manja.
Akmal mengusap puncak rambut istrinya dengan penuh kelembutan, “Alhamdulillah kalau istriku sadar akan hal tersebut, kalau bisa mulai detik ini kamu panggil aku Shaka saja samakan dengan Bunda dan Ayah saja.”
Erina menaikkan kedua jari jempolnya,” oke sayangku.”
Shaka tersenyum simpul melihat tingkahnya Erina yang entah kenapa semakin ke sini rasa nyaman yang dirasakannya bersama dengan istrinya.
Erina memperhatikan dengan seksama sawah-sawah membentang luas dengan padi yang sudah menguning di depan matanya.
“Orang-orang disini mata pencaharian utamanya bertani yah Mas?” Tanyanya Erina.
“Alhamdulillah hampir seratus persen masyarakat kami bekerja di ladang dan sawah. Kenapa apa kamu mau coba bekerja di sawah?”
“Pengen rasakan juga apa aku bisa melakukannya atau tidak. Tapi, ngomong-ngomong siapa pemilik semua sawah-sawah itu apa hanya satu orang atau semua warga kampung memiliki sawah?”
Shaka tersenyum tipis,” Alhamdulillah yang punya sawah dari sejak gapura sampai ujung sana itu milik seorang tuan tanah namanya Pak Umar Jauhari.”
“Masya Allah banyak banget Mas sawahnya berarti Pak Umar ini adalah salah satu orang terkaya dunia dan termakmur hidupnya di kampung,” pujinya Erina.
“Coba lihat ke kroo Mbak ada beberapa bangunan pabrik padi itu termasuk milik mendiang almarhum Pak Umar dan berkat kebaikan dan kemurahan hati beliau masyarakat desa kami tidak pernah mengalami kesulitan hidup,” jelas Arshaka.
“Masya Allah baiknya hati Pak Umar, andaikan masih hidup pengen bertemu dengan beliau,” pujinya Erina.
“Bukan hanya itu, beliau juga selalu ringan tangan membantu masyarakat dan berusaha untuk selalu membuka lapangan pekerjaan sehingga 80 persen warga betah tinggal di kampung hanya muda mudi yang merantau untuk melanjutkan pendidikannya.”
“Semoga suamiku ini bisa mencontoh kebaikan dan ketulusan Pak Umar dan bisa semakin memajukan kehidupan rakyat di sini,”
“Amin ya rabbal alamin,”
Erina terdiam mendengar ucapan Shaka, “Kenapa kayak aku pernah dengar nama itu disebut tapi dimana yah?” gumamnya Erina.
“Mbak akan tahu nanti kalau sudah jadi warga sini,” ujar Shaka sambil membelokkan mobilnya menuju jalan yang lebih kecil dari jalan utama kampung
Berselang beberapa menit kemudian…
Rombongan beberapa mobil sudah sampai di depan rumahnya Arshaka. Semua orang sudah lama menunggu kedatangan mereka seperti Pak Didi, Bu Lina, Bapak Budi dan ibu Reni.
Semua orang bahagia melihat kedatangan orang-orang kota apalagi Pak Irfan dan Bu Risma membawa beberapa bantuan sumbangan beberapa barang-barang kebutuhan pokok untuk para warga sekitar.