Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 TERLALU MENUNTUT
Aku menghela napas, mencoba mencari cara untuk memulai pembicaraan. Tapi sebelum aku mengatakan apa pun, aku tahu ada sesuatu yang harus kulakukan lebih dulu.
“Laras,” panggilku pelan.
Dia menoleh, tapi tatapannya tetap datar. Tidak ada kemarahan, tapi juga tidak ada kehangatan.
Aku menelan ludah, lalu berkata, “Aku mau minta maaf.”
Alisnya sedikit terangkat, mungkin terkejut mendengar permintaan maafku.
“Aku tahu aku sudah mengecewakan kamu,” lanjutku. “Tadi saat pesta kita usai… aku mengabaikan kamu. Aku lebih memilih pergi untuk menemui Aisyah. Aku nggak seharusnya melakukan itu, apalagi setelah kita baru saja menikah.”
Laras terdiam, jemarinya meremas ujung selimut. Aku bisa melihat dia menahan sesuatu dalam dirinya—entah amarah, kesedihan, atau mungkin keduanya.
“Aku nggak akan bohong, Laras,” suaraku melemah. “Perasaanku masih kacau. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Tapi aku sadar… aku sudah menikah sama kamu. Dan aku nggak ingin terus bersikap seperti ini.”
Laras akhirnya menatapku, kali ini lebih lama. Ada sesuatu di matanya yang sulit kuartikan—rasa sakit, mungkin, atau harapan yang hampir padam. Aku menunggu reaksinya, meskipun aku tidak tahu apakah aku siap untuk mendengarnya.
Laras masih diam, menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Aku tahu, apa yang akan aku katakan mungkin akan membuatnya semakin kecewa, tapi aku tidak ingin menyembunyikan apa pun darinya.
“Aku pergi menemui Aisyah bukan karena aku ingin kembali padanya,” ucapku pelan. “Aku hanya ingin mencegah dia pergi dari rumah.”
Laras mengerutkan kening, jelas tak mengerti maksudku.
“Aisyah memang sudah memutuskan untuk bercerai, tapi aku nggak mengizinkan dia pergi sebelum masa iddahnya selesai,” lanjutku. “Aku ingin dia tetap tinggal di rumah, setidaknya sampai semuanya jelas.”
Laras menatapku dengan mata membesar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Kamu… kamu serius, Reza?” suaranya sedikit bergetar, antara marah dan terkejut.
Aku mengangguk. “Aku nggak bisa membiarkan dia pergi begitu saja, Laras. Itu haknya untuk tetap tinggal selama masa iddah. Lagipula, aku butuh waktu untuk memastikan semuanya selesai dengan benar.”
Laras menghela napas panjang, lalu menunduk. Aku bisa melihat tangannya mengepal di atas pangkuannya, seolah menahan sesuatu. Aku tidak tahu apakah dia kecewa, marah, atau justru semakin terluka dengan keputusanku.
“Jadi… kamu tetap memilih mempertahankan Aisyah di rumah, meskipun kalian sudah nggak ada ikatan lagi?” tanyanya lirih.
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Aku tahu ini bukan jawaban yang Laras inginkan. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawabku terhadap Aisyah, meskipun hatiku sendiri masih berantakan.
Laras menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan—antara kecewa, marah, atau mungkin keduanya. Aku bisa melihat napasnya yang sedikit bergetar, seolah menahan sesuatu yang ingin dia luapkan.
"Jadi, kamu lebih memilih mempertahankan Aisyah di rumah, meskipun kalian sudah nggak ada ikatan lagi?" ulangnya, kali ini suaranya lebih tajam.
Aku menghela napas, berusaha tetap tenang. "Laras, aku nggak bilang aku mau mempertahankannya sebagai istri. Aku cuma nggak bisa membiarkan dia pergi begitu saja sebelum masa iddahnya selesai. Itu hak dia."
Laras tertawa kecil, tapi aku tahu itu bukan tawa bahagia. "Hak dia?" Matanya mulai berkaca-kaca. "Lalu hak aku sebagai istrimu sekarang gimana, Reza? Apa aku cuma sekadar pelengkap dalam hidupmu?"
Dadaku terasa sesak. Aku tahu aku telah menyakitinya.
"Aku nggak pernah anggap kamu cuma pelengkap, Laras," kataku pelan. "Aku cuma butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya. Aku nggak mau ada yang tertinggal, aku nggak mau ada yang belum selesai."
Laras mengusap wajahnya, lalu berdiri dari tempat tidur. "Jadi, sampai kapan aku harus nunggu kamu benar-benar 'selesai' sama masa lalu?" suaranya penuh emosi. "Aku ini istrimu, Reza. Aku menikah sama kamu bukan untuk hidup dalam bayangan Aisyah!"
Laras menatapku sekali lagi sebelum akhirnya melangkah keluar kamar. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu.
Aku sebenarnya sedikit heran dengan sikap Laras sekarang.
Sebelum Aisyah meminta cerai, dia sendiri yang menerima untuk menjadi istri kedua. Dia tahu kondisinya, dia paham risikonya. Tapi kenapa sekarang dia seolah-olah tidak terima? Apa dia lupa?
Aku menatap pintu kamar yang baru saja Laras tutup dengan kesal. Apa dia benar-benar tidak mengingat keputusan yang dia buat sendiri? Dia tahu sejak awal kalau aku masih bersama Aisyah saat itu, dan dia tetap memilih masuk dalam kehidupanku.
Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, dia bersikap seolah-olah akulah yang bersalah karena tidak bisa langsung menghapus Aisyah dari hidupku begitu saja.
Aku mengusap wajah, mencoba memahami perasaannya. Mungkin dia hanya lelah, mungkin dia mulai merasa posisinya tidak sekuat yang dia kira. Tapi bagaimanapun juga, dia sudah menjadi istriku sekarang. Aku hanya butuh dia sedikit bersabar, sedikit mengerti.
Tapi apakah aku sendiri benar-benar sudah yakin dengan semua ini? Atau justru aku yang masih terjebak dalam bayang-bayang Aisyah tanpa kusadari?
Saat aku melangkah keluar dari kamar, tiba-tiba aku melihat ibu sudah berdiri di depan pintu. Tatapannya tajam, penuh tekanan yang langsung membuatku diam di tempat.
“Ke ruang keluarga sekarang,” katanya tegas, tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk bertanya.
Aku bisa merasakan firasat buruk seketika menyelimuti dadaku. Aku yakin sekali, Laras pasti sudah menceritakan semuanya kepada ibu—mungkin juga kepada ayah. Aku menghela napas berat, mencoba menyiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Dengan langkah hati-hati, aku berjalan menuju ruang keluarga. Begitu sampai, aku melihat ayah sudah duduk di sofa dengan ekspresi yang tak kalah dingin. Laras duduk di sisi lain ruangan, menundukkan kepala, tapi aku tahu dia pasti merasa terluka.
Aku berdiri di depan mereka, menunggu siapa yang akan berbicara lebih dulu.
Ibu menyilangkan tangan di dadanya. “Reza, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” suaranya terdengar tajam. “Kamu baru saja menikah dengan Laras, tapi kamu masih ngurusin Aisyah? Dan kamu bahkan melarang dia pergi dari rumah?”
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Bu, aku cuma—”
“Cuma apa?” potong ibu cepat. “Kamu sadar nggak, Laras ini istrimu sekarang? Kamu mau terus hidup dalam bayang-bayang Aisyah sampai kapan?”
Aku terdiam. Aku sudah tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja rasanya berat. Aku melirik ke arah Laras, berharap dia akan mengatakan sesuatu, tapi dia tetap diam.
Ayah yang sejak tadi hanya mengamati akhirnya ikut bersuara. “Reza, laki-laki harus tegas dalam mengambil keputusan. Kalau kamu sudah memilih Laras, ya, jalani pernikahan ini dengan baik. Jangan menggantung perasaan istrimu seperti ini.”
Aku menghela napas panjang. Aku tahu mereka tidak akan memahami keputusanku. Tapi aku juga tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan dan tanggung jawabku terhadap Aisyah.
Sekarang aku hanya punya dua pilihan—menjelaskan semuanya dan berharap mereka mengerti, atau tetap berpegang pada keputusanku dan menghadapi kemarahan mereka.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang