Di tengah kekalutannya, Ayuna malah dipertemukan dengan seorang wanita bernama Lara yang ternyata tidak bisa mengandung karena penyakit yang tengah dideritanya saat ini.
Siapa sangka wanita yang telah ia tolong itu ternyata adalah penyelamat hidupnya sehingga Ayuna rela melakukan apapun demi sang malaikat penolong. Apapun, termasuk menjadi Ibu pengganti bagi Lara dan juga suaminya.
Ayuna pikir Lara dan Ibra sudah nenyetujui tentang hal ini, tapi ternyata tidak sama sekali. Ayuna justru mendapatkan kecaman dari Ibra yang tidak suka dengan kehadirannya di antara dirinya dan sang istri, ditambah lagi dengan kenyataan kalau ia akan memiliki buah hati bersama dengan Ayuna.
Ketidak akuran antara Ayuna dan Ibra membuat Lara risau karena takut kalau rencananya akan gagal total, sehingga membuat wanita itu rela melakukan apapun agar keinginannya bisa tercapai.
Lantas akankah rencana yang Lara kerahkan selama ini berhasil? Bisakah Ibra menerima kehadiran Ayuna sebagai Ibu pengganti?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 03
"Ay." Panggilan yang terdengar pelan itu nyatanya tak berhasil membuat lawan bicaranya tersadar dari lamunan.
"Ayuna Tanisha." Sang empu nama baru menoleh kala namanya dipanggil dengan sangat lengkap. Wajah cantiknya pun terlihat begitu panik entah karena apa.
"Lo lagi kenapa sih Ay sampe nggak fokus gitu?" Jika ditanya apakah lawan bicara Ayuna ini kesal atau tidak, tentu ia akan menjawab 'ya' dengan sangat lantang.
Pasalnya Dhea sangat jarang menemukan Ayuna yang tidak bersemangat sekaligus kehilangan fokus seperti saat ini.
"Permisi, Mba." Sepertinya Ayuna harus berterima kasih pada pelayan yang baru saja tiba sembari membawa pesanan mereka berdua karena telah menyelamatkannya dari pertanyaan Dhea barusan.
"Kita makan dulu ya, nanti setelah makan aku cerita deh ke kamu. Janji." Yasudah lah, kali ini Dhea akan membiarkannya karena ia pun tahu kalau sahabatnya ini tidak akan pernah ingkar janji sama sekali.
Berakhir dengan keduanya yang mulai menyantap makan siang dalam keadaan diam sepenuhnya dan yang terdengar hanyalah suara beberapa pelanggan lainnya di sekitar mereka berdua.
Ayuna memang sedang menyantap makanannya, namun kepalanya sedang begitu berisik menyusun kalimat yang nantinya akan ia tumpahkan pada Dhea.
Apalagi kalau bukan mengenai hutang almarhum Ayahnya yang harus segera dilunasi bulan ini juga. Ayuna juga sudah tahu pasti Dhea akan marah padanya karena ia baru memberitahukannya saat ini.
"Jadi?" Ayolah, bahkan Ayuna baru saja meletakkan sendok dan garpunya di atas piring yang sudah kosong. Minumannya pun belum tersentuh sedikit pun, tetapi ia sudah ditodong saja.
"Masalah hutangnya Ayah." Hanya itu yang Ayuna ucapkan sebagai pembuka kalimat karena setelahnya ia memilih untuk menenggak minumannya terlebih dahulu.
"Lo telat bayar lagi?" Gelengan pelan langsung Ayuna berikan meskipun ia masih sibuk dengan minuman segarnya.
"Bukan, Pak Braga minta aku buat lunasin semuanya dalam waktu satu bulan." Ayuna sudah mengetahui kalau respon seperti inilah yang akan ia lihat dari Dhea.
Kedua mata sahabatnya itu langsung melebar dengan mulut yang terbuka dengan tak kalah lebarnya. Maklum saja, sahabatnya Ayuna ini memang sangat berlebihan.
"Berapaan, Ay?" Sebenarnya Ayuna merasa ragu apakah ia harus memberitahukan nominalnya pada Dhea atau tidak, tapi ia juga tak mau membuat Dhe merasa lebih kesal lagi nantinya.
"Lima ratus juga lagi." Satu pukulan yang cukup keras Dhea berikan pada meja yang sedang mereka tempati saat ini sampai membuat orang-orang menoleh ke arah mereka.
"Itu orang sinting atau gimana sih? Gila aja, gimana ceritanya dapetin uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan." Tidak tahu, Ayuna juga kebingungan sekali karena ia tak tahu harus mencari uang sebanyak itu kemana.
"Tabungan lo pasti nggak cukup kan, Ay?" Tabungan? Bahkan Ayuna tidak memiliki tabungan sama sekali karena harus mencicil hutang yang ditinggalkan oleh Ayahnya.
"Gini aja, nanti gue bilang ke Ayah sama Bunda kalo lo la—"
"Jangan, Dhea. Aku nggak mau ngerepotin orang tua kamu, selama ini aku udah dibantuin banyak banget sama mereka." Untuk kali ini Ayuna tidak akan menerima tawaran yang Dhea berikan.
Ayuna tahu kalau keluarganya Dhea pasti memiliki uang sebanyak itu. Tetapi kalau mereka meminjamkannya pada Ayuna, ia tidak bisa mengembalikannya dalam waktu yang cepat.
"Kalo misalnya lo nggak bisa lunasin dalam waktu satu bulan, gimana?" Benar, Dhea harus mengetahui konsekuensi seperti apa yang akan Ayuna dapatkan barulah ia bisa membuat keputusan apakah ia harus memaksa sahabatnya ini atau tidak.
"Aku harus nikah sama Pak Braga." Ekspresi terkejut itu kembali Ayuna lihat dengan begitu jelasnya, mungkin yang kali ini terlihat lebih dramatis dari yang sebelumnya.
"Dih amit-amit. Udah sekarang lo terima aja bantuan dari Ayah sama Bunda gue, daripada lo harus nikah sama tua bangka yang gendut sama plontos begitu kan. Pasti mereka berdua juga mau bantu lo kok Ay, percaya sama gue." Tentu saja Ayuna mempercayai ucapan Dhea karena ia juga tahu sebaik apa kedua orang tau dari sahabatnya.
"Enggak, Dhea. Aku mau berusaha dengan caraku sendiri dulu." Tak ada yang bisa Dhea lakukan selain menghembuskan napasnya dengan begitu keras. Sahabatnya ini begitu keras kepala.
"Gini deh, kalo misal nanti lo nggak berhasil nemuin lima ratus juta itu. Lo harus datang ke gue dan terima bantuan dari Ayah sama Bunda, gue nggak terima penolakan sama sekali." Kalau Ayuna keras kepala, maka Dhea bisa lebih keras lagi. Biasanya ancaman seperti ini juga selalu berhasil ia lakukan.
"Tapi Dhe, aku ng—"
"Nggak ada tapi-tapian ya Ay, tu bibir lo lama-lama gue pelintir juga." Lihatlah, bahkan Dhea sudah siap dengan posisinya yang akan memberikan cubitan di bibir Ayuna yang hanya dipoles dengan pelembab bibir saja.
"Bilang iya nggak?" Bisa apa Ayuna selain menganggukkan kepalanya dengan luar biasa pasrah, daripada nanti ia kena marah lagi.
Tadinya Dhea masih ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena deringan ponsel Ayuna yang menyita perhatian sang pemilik.
"Aku harus balik ke hotel sekarang, kamu nggak apa-apa kan kalau pulang sendiri?" Yang benar saja? Mereka ini seumuran loh, tapi bisa-bisanya Ayuna mengkhawatirkan Dhea layaknya anak kecil.
"Gue udah gede plis Ay. Udah sana lo balik, hati-hati jalannya jangan sambil ngelamun. Jangan sampe lupa sama apa yang gue bilang tadi pokoknya." Hanya dehaman pelan yang Ayuna berikan sebelum akhirnya gadis itu mengemas barang-barang yang dibawanya.
Untungnya tempat makan yang Dhea tentukan tidak terlalu jauh dari hotel tempat Ayuna bekerja selama ini, ia hanya perlu menempuh perjalanan selama lima belas menit menggunakan kaki pendeknya.
Tempat makan itu berada tepat di seberang taman yang juga berada di sebelah hotelnya Ayuna. Mungkin Dhea sengaja melakukannya agar Ayuna juga tidak terlalu repot dan lelah nantinya.
Sepanjang kakinya melangkah, Ayuna justru dibuat kembali teringat dengan semua ucapan Dhea yang sarat akan kekhawatiran. Kalau tahu respon seperti itu yang Dhea berikan, maka Ayuna tidak akan menceritakannya tadi.
Ayuna benar-benar tidak mau lebih banyak lagi merepotkan keluarganya Dhea. Sudah cukup masa remajanya saja, Ayuna yang sudah dewasa ini tidak boleh lagi melakukan hal yang sama seperti di masa itu.
"Aduh!" Lamunan Ayuna buyar begitu saja kala rungunya menangkap suara seseorang yang sepertinya tak terlalu jauh dari posisinya berjalan saat ini.
"Eh ya ampun." Secepat kilat ia berlari menghampiri seorang wanita yang sudah terduduk pada lintasan jalan yang ada di taman sana.
"Mbanya nggak apa-apa?" Dengan wajah yang sarat akan kekhawatiran, Ayuna bertanya pada wanita yang sedang mengaduh kesakitan itu.
"Mba bisa jalan nggak?" Pertanyaan Ayuna yang sebelumnya tak terjawab sama sekali sehingga membuatnya melontarkan pertanyaan lainnya.
Kiranya orang ini masih tak akan menjawabnya seperti tadi, tapi ternyata kepalanya menggeleng dengan pelan dan itu Ayuna anggap sebagai jawaban.
"Aduh maaf Mba, tapi saya juga nggak sanggup kalau gendong Mba." Tubuhnya Ayuna itu kecil, jadi akan sulit untuk menggendong orang ini dan ia tidak mau mengambil resiko kalau harus coba-coba.
Ayuna terlalu sibuk mengkhawatirkan wanita ini sampai ia baru sadar kalau wanita ini sangatlah cantik, wajahnya seperti artis yang sering ia lihat di televisi.
"Saya telepon asisten saya dulu." Bisa-bisanya Ayuna malah salah fokus dan jadi salah tingkah sendiri setelah mendengar suara orang yang ingin ia tolong ini.
Sudah, orang ini sudah menelepon asistennya dan sambungan telepon juga sudah diputuskan. Itu artinya yang harus Ayuna lakukan hanyalah menunggu sampai sang penolong datang.
"Saya Lara, nama kamu siapa?" Ini sedikit aneh karena orang bernama Lara ini malah ingin berkenalan dengan dirinya.
"Ayuna, Mba." Tak lupa senyuman lebar juga Ayuna berikan pada Lara sampai membuat kedua lesung pipinya muncul ke permukaan.
Setelah jabatan tangan itu terurai keduanya kembali terdiam. Lara diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Ayuna terdiam karena ia sedang resah memikirkan keterlambatannya.
Iya, Ayuna pasti terlambat tiba di hotel karena harus menunggu seperti ini. Tapi tak apalah, toh Ayuna sedang berbuat baik sekarang.
"Bu Lara." Akhirnya orang yang sejak tadi mereka nanti tiba juga. Sama persis seperti Ayuna tadi, wajahnya juga nampak begitu khawatir.
Orang yang Lara katakan sebagai asistennya ini datang bersama dengan seorang pria paruh baya yang tidak bisa Ayuna tebak siapa tapi yang pasti dia juga orang yang bekerja untuk Lara.
"Kalau gitu saya pamit duluan ya Mba Lara, soalnya harus buru-buru balik kerja. Saya duluan Mba." Tidak ada waktu lagi, Ayuna harus segera pergi.
"Farah, cari tau tentang anak itu. Namanya Ayuna." Tanpa Ayuna ketahui sama sekali kalau dirinya berhasil menarik minat dari seorang Lara sampai-sampai ia meminta Farah untuk mencari tahu mengenai dirinya.
mampir jg dikarya aku ya jika berkenan/Smile//Pray/