Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Pagi itu, alarm Rose berbunyi seperti biasa, namun tubuhnya terasa berat. Ia mencoba bangun dari tempat tidur, tetapi kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Kelelahan akibat tekanan kerja beberapa minggu terakhir akhirnya mengejarnya. Dengan susah payah, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada HR:
“Selamat pagi, Bu Liang. Saya mohon izin untuk tidak masuk kantor hari ini karena kondisi tubuh saya kurang baik. Terima kasih atas pengertiannya.”
Setelah mengirim pesan, Rose memejamkan mata, berharap istirahat sejenak akan membantunya pulih.
Di kantor, Dylan tiba lebih awal seperti biasanya. Saat ia berjalan melewati meja Rose, ia terkejut melihat tempat itu kosong. Meja yang biasanya dipenuhi dengan dokumen atau laptop yang terbuka kini terlihat rapi dan sunyi. Dylan berhenti sejenak, mengerutkan kening.
“Ke mana dia?” gumamnya.
Saat rapat pagi dimulai, Dylan sengaja mencari keberadaan Rose di antara staf, tetapi gadis itu tetap tidak terlihat. Setelah rapat selesai, ia langsung menghampiri Mrs. Liang.
“Roseane tidak ada di rapat. Apa dia terlambat?” tanyanya, suaranya datar tapi penuh otoritas.
Mrs. Liang langsung menjawab, “Oh, dia sudah memberi tahu saya, Pak. Dia izin hari ini karena merasa kurang sehat.”
Dylan mengangguk kecil, meskipun pikirannya terusik. Rose bukan tipe orang yang mudah menyerah, bahkan dalam situasi sulit. Untuknya absen tanpa alasan kuat adalah hal yang tidak biasa.
Setelah itu, Dylan berjalan kembali ke ruangannya. Namun, rasa ingin tahunya tentang kondisi Rose tidak hilang. Ia mengambil ponselnya dan memeriksa jadwalnya, lalu memutuskan untuk bertanya langsung kepada staf terdekat. Ia menghampiri Nathan yang sedang sibuk di mejanya.
“Nathan, kau tahu apa-apa tentang Rose?” tanya Dylan tiba-tiba, membuat Nathan sedikit terkejut.
Nathan mengangkat bahu. “Dia mungkin tidak kuat dengan tekanan pekerjaan di sini. Saya dengar dia izin hari ini, mungkin kelelahan.” Nada suaranya terdengar acuh tak acuh, tapi Dylan menangkap sesuatu yang mencurigakan.
“Benarkah?” Dylan menatap Nathan dengan tajam, membuat pria itu sedikit gelisah.
Elise, yang mendengar pembicaraan itu, ikut menyela dengan senyuman tipis. “Tuan Wang, mungkin dia hanya butuh waktu untuk... menenangkan diri. Tidak semua orang bisa bertahan di bawah tekanan.”
Tatapan Dylan berpindah ke Elise. Sekilas, ada kilatan ketidaksukaan di matanya. Ia tahu kedua orang ini memiliki keterlibatan dalam tekanan yang dialami Rose, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya.
“Jaga komentar kalian,” katanya dingin, sebelum berbalik dan meninggalkan mereka.
Di ruangannya, Dylan memandangi layar komputer, tapi pikirannya terus terganggu. Ia membuka catatan HR, memeriksa detail tentang Rose, dan mengingat kembali betapa kerasnya gadis itu bekerja selama ini.
Setelah beberapa saat berpikir, ia memutuskan untuk menghubungi Rose langsung. Dylan meraih ponselnya, lalu mencari nomor Rose dari daftar kontak perusahaan.
Setelah nada sambung beberapa kali, akhirnya Rose menjawab dengan suara pelan, terdengar serak. “Halo, Tuan Wang?”
“Roseane, ini aku. Kau tidak masuk hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Iya, Pak. Saya kurang enak badan,” jawab Rose dengan suara lemah. “Maaf jika itu mengganggu pekerjaan.”
Dylan terdiam sejenak, mendengar nada lelah di suara Rose. “Kau harus istirahat. Jangan pikirkan pekerjaan hari ini.”
“Tapi, Pak, saya bisa menyelesaikan laporan—”
“Rose,” potong Dylan tegas. “Aku tidak ingin ada laporan dari orang yang bahkan tidak bisa berdiri tegak. Istirahatlah.”
Rose terkejut mendengar nada perintah itu, tapi ia tidak membantah. “Baik, Pak. Terima kasih.”
Setelah menutup telepon, Dylan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit kota dari balik jendela kaca besar. Untuk alasan yang tidak bisa ia pahami, ia merasa sedikit khawatir pada Rose. Ia tidak pernah peduli sejauh ini pada anak magang mana pun sebelumnya, tapi Rose... berbeda.
Di apartemennya, Rose merasa sedikit lega setelah percakapan singkat dengan Dylan. Namun, ia tidak bisa menghilangkan rasa cemas. Nathan dan Elise pasti akan memanfaatkan ketidakhadirannya hari ini untuk sesuatu yang tidak menyenangkan. Tapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk fokus pada hal yang lebih penting: memulihkan tubuhnya.
Sementara itu, di kantor, Dylan memerintahkan Mrs. Liang untuk terus mengawasi Nathan dan Elise. Dalam hati, ia bertekad untuk memastikan bahwa apa pun yang mereka rencanakan, mereka tidak akan berhasil melewati pengawasannya.
***
Dylan duduk di kursinya, menatap kosong pada dokumen di depannya. Konsentrasinya terus terganggu. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Rose, wajah lelahnya, dan suaranya yang terdengar begitu lemah di telepon tadi pagi. Biasanya, ia tidak pernah memikirkan stafnya sejauh ini, apalagi anak magang. Tapi Rose berbeda. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya.
Dengan keputusan yang bulat, Dylan mengambil ponselnya dan menginstruksikan asistennya untuk mengosongkan beberapa jadwal siang itu. Setelah itu, ia menghubungi seorang restoran ternama untuk memesan sup ayam dan beberapa makanan sehat lainnya, memastikan semuanya dibuat segar dan siap diambil dalam waktu satu jam.
Siang itu, Dylan turun ke lobi gedung kantornya. Beberapa staf yang melihatnya tampak terkejut; jarang sekali CEO mereka keluar kantor pada jam kerja tanpa pengawalan atau jadwal rapat penting. Namun, Dylan tidak peduli. Ia mengambil makanan yang sudah dipesan di restoran terdekat, lalu mengemudikan mobilnya sendiri menuju alamat Rose yang ia dapatkan dari catatan HR.
Saat tiba di apartemen terlihat mewah untuk ukuran anak magang itu, Dylan menatap bangunan tersebut dengan ekspresi campuran. Namun, itu membuatnya semakin ingin memastikan bahwa Rose baik-baik saja.
Ia berjalan ke pintu apartemen Rose dan mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras.
Dari dalam, terdengar suara langkah yang lambat, lalu suara Rose yang terdengar lemah. “Siapa?”
“Ini aku, Dylan Wang,” jawabnya dengan nada serius.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Rose yang pucat dan mata yang sedikit sembap karena kelelahan. Ia terkejut melihat Dylan berdiri di sana, dengan kantong makanan di tangannya.
“Tuan Wang?” tanyanya, hampir tidak percaya.
“Aku datang untuk memastikan kau makan dengan benar,” kata Dylan singkat, mengangkat kantong makanan itu. “Kau tidak terlihat dalam kondisi untuk menolak.”
Rose hanya berdiri mematung, tidak tahu harus berkata apa. Melihat itu, Dylan melangkah masuk tanpa menunggu undangan, menaruh kantong makanan di meja kecil di ruang tamu.
“Maaf, tempatnya agak berantakan,” ucap Rose sambil berusaha menahan batuk kecil.
“Tidak masalah,” Dylan menjawab santai, mengamati ruangan dengan cepat. “Aku tidak datang untuk menilai tempat tinggalmu.”
Ia mulai membuka kantong makanan dan menyiapkannya di meja. Rose menatapnya dengan bingung, merasa ini seperti mimpi. Dylan Wang, CEO muda yang terkenal dingin dan tegas, kini berdiri di apartemennya, membawakannya makanan.
“Kau tidak perlu melakukan ini, Pak. Saya bisa mengurus diri saya sendiri,” kata Rose pelan.
Dylan menatapnya tajam. “Kalau kau bisa, kau tidak akan terlihat seperti ini sekarang. Duduklah.”
Rose menurut, meskipun rasa canggung menyelimuti dirinya. Dylan menyodorkan semangkuk sup ayam hangat padanya.
“Makan. Kau perlu energi untuk pulih,” katanya.
Rose mengambil mangkuk itu dengan tangan gemetar, lalu mencicipinya. Kehangatan sup itu terasa seperti menyelimuti seluruh tubuhnya yang lelah. Untuk beberapa saat, mereka duduk dalam keheningan, hanya suara sendok Rose yang terdengar.
“Kenapa Anda repot-repot datang ke sini, Pak?” tanya Rose akhirnya, memecah keheningan.
Dylan tidak langsung menjawab. Ia memandang ke arah jendela kecil apartemen itu, tampak berpikir. Setelah beberapa detik, ia berkata dengan suara pelan, “Aku tidak tahu.”
Rose menatapnya bingung, tapi Dylan melanjutkan, “Tapi melihatmu tertekan di kantor beberapa minggu terakhir, dan mendengar suaramu tadi pagi... Aku hanya merasa perlu memastikan kau baik-baik saja.”
Rose merasakan dadanya menghangat, campuran rasa terharu dan bingung menguasai dirinya. Ia tidak menyangka orang seperti Dylan Wang bisa peduli padanya sejauh ini.
“Terima kasih,” ucapnya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
Dylan menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kau harus menjaga dirimu sendiri, Rose. Tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari kesehatanmu.”
Rose mengangguk kecil, berusaha menyembunyikan rasa harunya.
Setelah memastikan Rose makan dengan baik, Dylan bangkit dari kursinya. “Istirahatlah. Jangan pikirkan pekerjaan. Aku akan mengurus semuanya di kantor.”
Rose mengangguk lagi, tapi sebelum Dylan pergi, ia berkata dengan suara kecil, “Tuan Wang... Saya benar-benar berterima kasih atas perhatian Anda.”
Dylan hanya mengangguk singkat, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Namun, di dalam mobilnya, ia tidak bisa menghapus bayangan Rose dari pikirannya. Ia menyadari bahwa gadis itu telah mengguncang dunianya dengan cara yang tidak pernah ia duga.
Bersambung