NovelToon NovelToon
Aku Masih Normal

Aku Masih Normal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / TKP / Kontras Takdir / Bercocok tanam
Popularitas:931
Nilai: 5
Nama Author: Ruang Berpikir

Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.

Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4_Perahu

Kicauan burung saling bersahutan dan suara deruan ombak yang kian terus menghantam karang. Albert, Anz dan delapan peserta lainnya sudah terlelap dalam tenda mereka masing-masing.

Hari menjelang pagi, Anz terbangun dari lelap tidurnya, melepaskan pelukan, beranjak berdiri dan keluar dari tendanya bersamaan dengan komandan panitia yang juga baru saja keluar dari tendanya “bangunkan pacarmu.” Anz tidak bisa berkata-kata hanya bisa bedecak kesal dan berbalik badan, masuk ke tendanya kembali.

Hitungan menit berlalu, Albert dan Anz keluar dari tendanya bersama-sama dan juga para peserta lainnya yang juga ikut serta keluar.

Senyuman simpul tercipta dari panitia itu “kalian telah mengotori tempat ini, berarti kalian yang harus membersikannya kembali.”

Panitia itu diam dan menatap Anz dalam. Dilain sisi Albert, mencuri pandang pada langit dan berujar pelan “setidaknya izinkan matahari terbit dulu.”

“Waktu bukanlah hal yang bisa dinanti,” menatap Albert sekilas yang kemudian pandangan mata mengarah pada Anz “dan bukan kami yang memaksa kalian untuk ikut serta sampai berada disini.”

Hembusan napas panjang Albert dan beberapa peserta lainnya lakukan “kalian menetapkan misi pada kami untuk memanusiakan manusia yang ada di pulau Albrataz itu, sedangkan pembinaan yang kalian berikan kepada kami tidak mencerminkan manusia yang memanusiakan manusia!” Ujar Albert tegas dan pandangan mata yang menatap tajam.

“Kau,” menunjuk Albert “tutup mulut busukmu dan arahkan anggotamu untuk membersihkan seluruh tempat ini. Waktu kalian sampai matahari terlihat dari sana,” menunjuk langit sisi timur dengan selang pipa.

Panitia itu langsung beranjak pergi meninggalkan para peserta yang menatap dirinya tajam “sudahlah Al,” ujar salah satu peserta yang berdiri di barisan paling akhir “kita bersihkan saja tempat ini, jika melawan hanya akan membuat energi kita habis.”

“Berarti kau mau ditindas terus seperti ini?” Tanya Anz.

“Kebiasaan. Jangan langsung memberontak, setidaknya cari tahu dulu alasannya apa!” Ujarnya tegas “Anz, apapun tindakan memerlukan persiapan, jika tidak ada persiapan, pemberontakan ataupun penolakan yang kau lakukan akan berbalik menantangmu,” keluar dari barisan mengambil sapu dan beberapa peralatan bersih lainnya dan menyerahkan satu persatu alat tersebut pada rekannya yang lain.

Peluh keringat mengaliri kening, dan pungung mereka semua. Dinginnya cuaca tidak lagi terasa. Peserta keempat mengusap peluh keringat yang mengaliri keningnya itu yang kemudian pandangannya mengarah kearah laut bagain timur. Sinaran cahaya merah mulai terlihat perlahan sedangkan ada beberapa bagian yang belum  sempat mereka bersihkan “kawan-kawan bergegaslah.”

Mereka semua berhenti sejenak dengan aktivitas mereka, dan dengan serentak melihat laut bagian timur yang kemudian dengan segera melanjutkan bagian mereka masing-masing.

Percikan api mulai menyala diatas tumpukan sampah dan para peserta duduk mengelilingi api, masing-masing pandangan mereka kosong menatap api yang sedang berkoar, menyala besar.

Suara deruan ombak yang menenangkan jiwa yang sering mereka dengar, sekarang ini menjadi terganggu dengan kebisingan suara yang memudarkan ketenangan mereka. Semakin lama, suara yang mereka dengar, terasa semakin dekat “suara apa itu?” Tanya peserta sepuluh, menyapu pandangan, yang kemudian langsung berdiri mencari sumber suara.

“Apa?” Tanya peserta tujuh.

“Perahu,”jawabnya.

Sembilan peserta lainnya segera beranjak bangun, berdiri, melangkan kaki yang kemudian berhenti. Mata mereka mengarah pada perahu kecil yang berlayar cepat mendekati keberadaan mereka “bukannya tempat ini dirahasiakan ya? Lantas kenapa ada orang asing yang bisa tahu keberadaan kita disini?” Tanya lirih Anz seorang diri.

“Kalian ingin segera sampai ke pulau Albrataz?” Ucap komandan panitia, pandangan mata yang juga mengarah ke perahu tersebut. Para peserta berdecak kesal tidak menjawab dan memilih duduk berbaris panjang dipinggiran tebing dan kaki yang mereka hayun-hayunkan kebawah.

Beberapa belas menit telah terlewati, perahu tersebut telah berhenti sekitaran jarak sepuluh meter dari titik pangkal laut. Seorang laki-laki bertubuh kekar turun melompat ke laut dan berenang menuju permukaan.

Dari atas tebing sekitaran jarak delapan puluh meter, sepuluh peserta menatap bingung kebawah, seluruh para panitia telah berdiri berbaris menyambut kedatangan orang dalam perahu tersebut. “Apa lagi ini?” Ujar kesal Albert.

“Tes. Tes. Untuk para peserta silahkan mempersiapkan diri, tiga puluh menit dari sekarang kalian sudah harus berada dihadapan kami, dibawah sini. Untuk akses jalan cepat yang bisa kalian gunakan adalah tali sisi kiri dari dua puluh lima meter jarak keberadaan kalian,” ujar komandan panitia dengan menggunakan alat persegi panjang, yang bagian kepala terdapat lidi, kabel antena.

Sepuluh para peserta hanya diam tanpa gerakan sama sekali, menatap tajam kepada komandan panitia yang memerintah mereka dari bawah sana.

“Jika dalam waktu yang telah ditentukan, kalian tidak ada disini, bersiapkan masing-masing tubuh kalian yang akan saya lempar kebawah sini,” ujarnya lgi.

Sumpah serapah keluar dari masing-masing para peserta diiringi dengan tindakan mereka melaksanakan perintah. Masing-masing peserta telah membawa tas ransel besar di punggung mereka dan menggunakan tali untuk turun dari ketinggian tebing menuju pesisir pantai. Ketajaman batu tebing melukai sebagian tubuh mereka, ketinggian yang perlu mereka waspadai dan belum lagi dibeberapa tempat dari tebing itu yang teraca licin.

Barisan rapi kembali terbentuk dihadapan komandan panitia, senyum simpul ia perlihatkan “perkenalkan ini komandan saya, hari ini kalian akan langsung berangkat ke pulau Albrataz, untuk bekal perjalanan kalian sudah beliau persiapkan di perahu dan beliau akan sedikit memberi arahan aturan apa yang boleh dan tidak boleh kalian lakukan selama perjalanan.”

“Siap, izin bertanya,” mengubah posisi berdiri “atas alasan apa keberangkatan kami dipercepat? Bukannya kami baru akan berangkat besok?”

“Nona Anzela Rasvatham, Anda pernah mengatakan: penyelesaian masalah jika dilakukan lebih cepat, lebih baik. Berkat pernyataan Anda, tidak ada alasan bagi kami untuk menunda keberangkatan kalian.”

“Setidaknya berikan kami ruang dan waktu untuk beristirahat sejenak.”

“Silahkan ndan,” ujar komandannya dan mengabaikan Anz. Dua panitia lainnya melentangkan peta besar berukuran dua kali dua meter diatas pasir, empat panitia lainnya segera mengambil tugas menginjak setiap sudut ujung peta. Satu panitia lainnya menyerahkan tongkat penunjuk “silahkan ndan.”

Tiupan angin laut, berhembus sedang, panas dari sinar matahari mulai terasa mengenai kulit. Sepuluh para peserta berdiri mengelilingi dan pandangan mereka menatap kebawah, melihat peta.

“Ini negara kita Aljazar” menunjuk peta dengan tongkat dan menatap sekilas peserta yang berada tepat di hadapannya “dan ini perairan mediterania, luas perairan ini tiga per empat dari permukaan daratan bumi,” menunjuk tengah bagian peta berwarna biru “dibagian tengah perairan ini terdapat pulau yang belum sepenuhnya terdeteksi satelit dan tidak bisa dimiliki oleh negara manapun.”

“Kenapa?” Tanya bingung Anz.

1
Không có tên
Ceritanya bikin merinding, ga bisa lepas ya!
_Sebx_
Seneng banget nemu cerita sebaik ini, terus berkarya thor!
AcidFace
Jangan tinggalkan aku bersama rasa penasaran, thor! 😩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!