Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Matcha
Lily mengendarai mobilnya menuju kafe favoritnya. Sebelum pulang ke rumah, dia memutuskan untuk mampir ke kafe untuk membeli minuman matcha yang selalu berhasil menyegarkan pikirannya. Hari itu cukup melelahkan karena dia harus mengikuti rapat dan mengurus beberapa hal.
Kafe itu terletak di sudut jalan yang ramai, tempat yang selalu dipenuhi pasangan muda yang bercengkrama sambil menikmati waktu luang mereka. Aroma kopi dan teh yang hangat menyambutnya begitu dia membuka pintu kafe.
Di dalam, suasana cukup ramai dengan deretan meja yang diisi oleh pasangan-pasangan yang asik berbincang sambil sesekali tertawa. Musik jazz yang lembut mengalun di latar belakang, menambah kehangatan suasana.
Lily duduk sembari menunggu pesanannya datang. Di tengah keramaian itu, pikirannya melayang ke masa lalu, ke masa ketika Isaac, suaminya, selalu menjemputnya di kantor. Dia teringat bagaimana Isaac dengan setia menunggunya di depan gedung, dengan senyum hangat dan sebuah cup minuman matcha kesukaannya di tangan.
"Capek?" tanyanya sambil menyerahkan minuman itu. Setiap kali Isaac memeluknya, rasa lelah setelah seharian bekerja seolah lenyap seketika. Pelukan Isaac adalah tempat paling nyaman bagi Lily, tempat di mana dia merasa dicintai dan dilindungi.
Namun, semua itu kini tinggal kenangan. Isaac yang dulu penuh perhatian dan kasih sayang telah berubah. Sekarang, Isaac bersikap acuh tak acuh, dan bahkan kadang bersikap semaunya sendiri tanpa memperdulikan perasaan Lily.
Lily merindukan Isaac yang dulu. Isaac yang selalu ada untuknya, yang selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. Tapi kini, rumah yang dulu hangat terasa dingin dan kosong. Lily berusaha tetap kuat, meski hatinya hancur setiap kali melihat Isaac yang begitu jauh dan tak peduli lagi.
Lamunannya buyar ketika seorang lelaki tiba-tiba menghampirinya. "Hai, kamu Lily, kan? Aku sering liat kamu di TV. Aku boleh duduk di sini?" Lelaki itu tersenyum ramah, mencoba memulai percakapan. Lily sedikit terkejut namun berusaha tetap tenang.
“Oh, hai. Iya, saya Lily. Silakan duduk," jawabnya sambil tersenyum kecil.
Meskipun merasa tidak nyaman, Lily tetap berusaha untuk ramah. Dia tidak mau dianggap sebagai seseorang yang sombong.
“Ternyata kamu lebih cantik aslinya, daripada di TV,” puji lelaki itu.
Lily tertawa kecil, lalu mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Dia sudah sering mendengar pujian semacam itu.
Lelaki itu kemudian mulai berbincang ringan, memuji penampilan Lily saat membawakan berita di TV yang sering dia tonton. Meskipun Lily terlihat santai dan menikmati obrolan, tapi dia telah membangun tembok yang amat sangat tinggi. Dia tidak mau melewati batas dan di anggap sebagai istri tidak tahu diri.
Setelah beberapa waktu, lelaki itu memberanikan diri untuk bertanya, "Aku boleh minta nomor HP kamu? Mungkin kita bisa ngobrol lagi kapan-kapan."
Lily tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Maaf, aku tidak bisa memberikannya. Aku khawatir suamiku akan marah jika aku memberikan nomor HP ke orang lain," ujar Lily dengan sopan, takut menyinggung perasaan lawan bicaranya.
Lelaki itu tampak kecewa namun tetap tersenyum. "Oh, maaf. Aku nggak tahu kalo itu cincin pernikahan," ujarnya sambil melirik jari manis Lily.
Dilihat dari sisi manapun, Lily masih tampak muda dan fresh. Banyak orang yang mengira bahwa dirinya belum menikah.
Setelah lelaki itu pergi, Lily kembali memikirkan Isaac. Rasa rindunya pada Isaac yang dulu semakin kuat. Dengan minuman matcha di tangan, dia berjalan keluar dari kafe untuk pulang.
***
Isaac menunggu Lily tak sabaran. Sesekali matanya melirik ke arah jam dinding dan mendengus kesal.
“Dia kemana, sih? Harusnya udah pulang dari tadi!” oceh Isaac. Dia meraih ponsel yang ada diatas meja berniat untuk menelepon Lily. Namun, sebelum tangannya berhasil meraih ponsel, dia mendengar suara mobil Lily memasuki pekarangan rumah.
Dengan tergesa-gesa, isaac keluar rumah untuk menghampiri Lily.
“Kenapa lama banget?” tanya Isaac ketus begitu melihat Lily keluar dari mobil,
“Aku tadi-”
“Aku minta uang,” potong Isaac. Dia tidak peduli dengan penjelasan Lily, dia hanya peduli dengan uang.
“Uang? Kamu mau pergi?” tanya Lily. Dia berdiri di depan Isaac, mengamati penampilan suaminya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Bukan urusan kamu! Udah cepet kasih aku uang, udah telat, nih!” seru Isaac.
"Isaac, aku udah ngasih uang beberapa hari lalu, loh. Kebutuhan kita juga banyak," kata Lily dengan lembut.
Mata Isaac menyipit, rahangnya mengeras. "Kamu nggak ngasih aku uang?" suaranya bergetar penuh amarah.
Lily mencoba berbicara dengan tenang. "Aku bukan nggak mau ngasih, tapi kita harus lebih bijak. Uang kita semakin menipis, Isaac."
Namun, kata-kata Lily hanya membuat Isaac semakin marah. Tanpa peringatan, dia merebut tas Lily dari tangannya. Lily berusaha merebut kembali, tetapi Isaac terlalu kuat. Dengan kasar, Isaac membuka tas, merogoh dompet Lily, dan mengambil sejumlah uang.
Isaac, yang sedang memegang uang di tangannya, memandang Lily dengan penuh kebencian. "Kamu, tuh, bener-bener istri yang nggak tahu diri! Nggak patuh sama suami!" teriaknya.
Lily ingin melawan, ingin memukul, ingin menjerit. Namun, tubuhnya terasa kaku, mulutnya terkunci. Dia hanya bisa berdiri di sana, menerima semua penghinaan Isaac. Tangannya gemetar, air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi dia tidak ingin menangis di hadapan Isaac.
Setelah mengambil uang yang diinginkannya, Isaac melemparkan tas ke arah istrinya dengan begitu kasar.
Lily mendengar deru mobil Isaac menjauh, meninggalkan dirinya dalam kehampaan.
Begitu Isaac menghilang dari pandangan, air mata yang sejak tadi ditahannya mulai mengalir. Kenapa dia tidak bisa marah? Kenapa dia tidak bisa melawan?
Dengan hati yang remuk, dia berjalan masuk ke dalam rumah, pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi lembut namun memilukan. Tanpa melepas sepatunya, dia melemparkan tubuhnya ke sofa. Segala rasa lelah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia menatap langit-langit, bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir. Apakah ada harapan bagi mereka?
Lily menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu. Namun, rasa sakit di hatinya mengatakan sebaliknya. Ini adalah kenyataan pahit yang harus dia hadapi, dengan atau tanpa Isaac di sisinya.
Ada sebersit keinginan untuk berpisah dengan Isaac, namun dia segera menggeleng kuat. Rasa cinta membuatnya tidak mau berpisah dengan Isaac, meskipun dirinya tersiksa
“Sabar, Lily. Ini hanya ujian,” lirihnya seraya menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.
“Suatu hari nanti, Isaac pasti akan kembali. Aku cuma butuh bersabar,” tambahnya dengan penuh keyakinan. Mungkin Isaac merasa terpukul karena kehilangan pekerjaan, pikir Lily.
Setelah dirasa cukup tenang, Lily beranjak dari sofa menuju ke dapur. Dia butuh air untuk membasahi tenggorokannya yang terasa begitu kering.
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️ TERIMAKASIH
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor