Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pengepungan
Namun Akselia tidak gentar. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat. Semakin lama kita menunggu, semakin kecil peluang kita.”
Mikael memandang Akselia, lalu mengangguk perlahan. “Baik. Tapi aku ikut. Kau tidak akan bisa menggunakan perangkat ini tanpa aku.”
Serangan yang Tak Terduga
Saat mereka berdiskusi, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Axel segera mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua orang diam.
“Kita tidak sendiri,” katanya dengan suara rendah.
Nathaniel bergerak ke jendela kecil, mengintip ke luar. Wajahnya memucat. “Ada enam orang di luar, bersenjata.”
Mikael mengutuk pelan. “Mereka pasti mengikutiku. Aku tahu tempat ini terlalu mencolok.”
Axel meraih senjata kecil dari pinggangnya dan memberikan isyarat kepada Nathaniel untuk bersiap. Reina menarik Akselia ke sudut ruangan, melindunginya.
Pintu gudang mulai bergetar ketika seseorang mencoba membukanya dengan paksa.
“Kami tahu kalian ada di dalam!” teriak suara dari luar. “Serahkan perangkat itu, dan kami mungkin akan membiarkan kalian hidup!”
Axel mendekat ke pintu, menyandarkan tubuhnya pada dinding. “Mungkin?” katanya dengan nada sinis. “Kedengarannya tidak meyakinkan.”
Sebelum orang-orang di luar bisa menjawab, Axel melepaskan tembakan ke arah pintu, membuat mereka mundur sejenak.
“Akselia, Mikael, kalian harus keluar dari sini sekarang!” kata Axel tegas.
“Kemana?” Mikael bertanya panik.
“Lewat pintu belakang,” jawab Reina sambil menarik Mikael. “Ada jalan setapak menuju pelabuhan kecil. Kita bisa kabur lewat sana.”
Akselia ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikuti Reina dan Mikael. Sementara itu, Axel dan Nathaniel tetap di dalam gudang, mencoba menahan serangan.
Pengejaran di Pelabuhan
Akselia, Reina, dan Mikael berlari di tengah malam, melalui jalan-jalan sempit yang gelap. Pelabuhan kecil itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari gudang, tetapi setiap langkah terasa seperti selamanya.
“Akselia!” panggil Reina tiba-tiba, menarik gadis itu ke balik tembok. “Diam! Mereka mengejar kita!”
Dari kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki dan teriakan. Mikael menggigil, jelas tidak terbiasa dengan situasi seperti ini.
“Kita harus terus bergerak,” bisik Akselia, mencoba menenangkan diri.
Reina mengintip dari balik tembok, memastikan bahwa jalanan aman sebelum memberi isyarat untuk melanjutkan. Mereka akhirnya sampai di pelabuhan, tempat sebuah perahu kecil terikat di dermaga.
“Kau yakin ini aman?” tanya Mikael dengan nada penuh keraguan.
“Tidak ada yang aman,” jawab Reina sambil memotong tali perahu. “Tapi ini satu-satunya cara kita keluar dari sini.”
Ketika mereka mulai menaiki perahu, suara tembakan terdengar dari arah gudang. Akselia merasakan jantungnya mencelos. “Axel... Nathaniel...”
“Mereka tahu risikonya,” kata Reina tegas. “Jika kita kembali sekarang, semua ini sia-sia.”
Dengan berat hati, Akselia naik ke perahu, dan mereka segera meluncur menjauh dari pelabuhan.
Pertemuan di Lautan
Di tengah lautan gelap, mereka akhirnya berhenti, membiarkan perahu terapung perlahan. Mikael membuka perangkat yang ia bawa, memasang beberapa kabel dan layar kecil.
“Kita punya waktu sedikit sebelum mereka menemukan kita lagi,” katanya sambil bekerja.
Akselia menatap laut yang gelap, pikirannya dipenuhi rasa bersalah. “Aku tidak bisa meninggalkan mereka seperti itu...”
“Mereka membuat keputusan mereka,” kata Reina, suaranya datar. “Jika kau ingin menyelesaikan ini, kau harus tetap fokus.”
Mikael menyela, “Aku baru saja memeriksa perangkat ini. Ada sesuatu yang tidak biasa.”
“Apa maksudmu?” tanya Reina.
“Sistem Sentinel telah diperbarui,” jawab Mikael, wajahnya serius. “Lucas tahu kita akan mencoba ini. Dia sudah menyiapkan jebakan untuk kita.”
“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Akselia, suaranya bergetar.
“Kita tidak punya pilihan selain melanjutkan,” kata Mikael. “Tapi jika kita masuk ke Sentinel, kita harus siap untuk menghadapi hal-hal yang bahkan lebih buruk daripada yang kita duga.”
Akselia menarik napas dalam-dalam, menatap jauh ke kegelapan lautan. Ia tahu, sejak awal perjalanan ini, tidak ada jalan kembali. Rahasia Sentinel semakin dekat, tetapi bahaya yang mengintai terasa semakin nyata.
Dan di tempat lain, di sebuah ruangan gelap penuh layar monitor, Lucas Ravindra menyeringai sambil memperhatikan mereka melalui kamera satelit.
“Kalian tidak akan sampai sejauh itu,” gumamnya pelan, jemarinya mengetikkan perintah ke keyboard.
Akselia mengalihkan pandangannya dari lautan ke Mikael. Ia merasakan kekhawatiran yang menggantung di udara, tetapi keteguhan hatinya tidak tergoyahkan.
"Kalau Lucas tahu, apa dia sengaja menunggu kita?" tanya Akselia.
Mikael terdiam sesaat. "Bisa jadi. Sentinel bukan hanya fasilitas rahasia; itu adalah alat kontrol. Lucas tidak mungkin membiarkan siapa pun menyentuhnya tanpa alasan. Jika dia tahu kau mendekat, itu berarti dia sudah mempersiapkan sesuatu."
Reina menyipitkan matanya, wajahnya dingin. "Kalau begitu, kita harus bermain lebih cerdas. Kita tahu risikonya, tapi tidak ada waktu untuk mundur."
Akselia memutar otaknya. "Mikael, apakah ada cara untuk mengakses Sentinel tanpa harus benar-benar mendekatinya? Misalnya, dari jarak jauh?"
Mikael menggeleng pelan. "Sistem Sentinel terisolasi dari jaringan luar. Itu salah satu alasan kenapa tempat itu tidak bisa diretas dengan cara biasa. Kau harus berada di dalam fasilitasnya untuk mendapatkan akses penuh."
Akselia mendesah, tetapi sebelum ia bisa berbicara lagi, Reina tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.
"Ada suara," bisik Reina.
Semua orang terdiam. Dari kejauhan, suara baling-baling helikopter mendekat. Mikael segera mematikan perangkatnya, sementara Reina memeriksa pistol kecil di pinggangnya.
"Mereka menemukan kita," gumam Mikael, wajahnya memucat.
Akselia melirik ke arah Reina. "Apa kita harus bersembunyi?"
"Tidak ada tempat untuk bersembunyi di sini," jawab Reina. "Kita harus melawan atau mereka akan menangkap kita hidup-hidup."
Helikopter itu semakin dekat, dan sorotan lampu menyapu permukaan air, akhirnya menemukan perahu kecil mereka.
"Di sana!" terdengar suara dari pengeras suara. "Serahkan diri kalian, atau kami tidak akan ragu untuk menyerang!"
Reina mencengkeram pistolnya lebih erat. "Mereka tidak akan memberi kita pilihan."
Sebuah tembakan peringatan ditembakkan ke air, menciptakan gelombang kecil yang mengguncang perahu.
"Mikael, bisakah kau menyembunyikan perangkat itu?" tanya Akselia cepat.
Mikael mengangguk, buru-buru menyembunyikan perangkat kecil itu di dalam jaketnya. "Kalau mereka menangkap kita, mereka tidak boleh menemukannya."
Reina menatap Akselia. "Kau punya rencana?"
Akselia mengangguk pelan. "Aku akan menarik perhatian mereka. Reina, bawa Mikael pergi dengan perahu cadangan."
"Tidak mungkin," potong Reina. "Kita tidak meninggalkan siapa pun."
"Ini bukan soal meninggalkan. Aku bisa membuat mereka sibuk cukup lama. Mereka lebih peduli padaku daripada yang lain," balas Akselia tegas.
Reina ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk. "Baik. Tapi jangan terlalu lama. Kami akan menunggumu di lokasi yang aman."
Akselia berdiri di perahu, mengangkat tangannya. "Hei! Aku di sini! Kau mencari aku, bukan?" teriaknya ke arah helikopter.
Lampu sorot langsung mengarah padanya, menyilaukan matanya.
"Turunkan senjatamu dan naik ke kapal kami!" teriak suara dari pengeras suara lagi.
Namun, saat perhatian mereka tertuju pada Akselia, Reina dan Mikael dengan cepat melepaskan perahu cadangan kecil dari sisi lain perahu utama. Tanpa suara, mereka mulai mendayung menjauh, menyelinap ke dalam kegelapan.
Akselia tetap berdiri tegak, mengulur waktu. Ia merasakan ketegangan meningkat, tetapi ia tahu apa yang ia lakukan adalah untuk keselamatan yang lain.
Helikopter itu menurunkan kabel dengan dua pria bersenjata turun ke perahu. Salah satu dari mereka memerintahkan dengan kasar, "Ikut kami."
"Aku akan ikut, tetapi aku punya satu syarat," kata Akselia, suaranya penuh keyakinan.
Pria itu tertawa pendek. "Kau tidak dalam posisi untuk membuat syarat."
"Tapi kau tahu siapa aku, bukan?" Akselia menatap langsung ke mata pria itu. "Aku Akselia Ananta, putri dari Adrian Ananta. Kau pikir Lucas akan membiarkan kalian menyentuhku tanpa perintahnya?"
Kedua pria itu saling bertukar pandang, ragu. Nama Adrian Ananta masih memiliki pengaruh besar, bahkan di kalangan Sentinel.
"Kalau begitu, ikut dengan tenang," kata salah satu pria akhirnya.
Akselia mengangguk dan menaiki kabel ke helikopter, membiarkan dirinya dibawa. Namun, di dalam helikopter, pikirannya berputar cepat. Jika ia bisa mencapai Lucas langsung, ini bisa menjadi kesempatannya untuk mengungkap lebih banyak rahasia Sentinel.
Reina dan Mikael akhirnya mencapai pantai kecil yang tersembunyi. Mikael segera mengaktifkan perangkatnya kembali, mencoba melacak lokasi Akselia.
"Kita tidak bisa meninggalkannya," kata Reina dengan nada tegas.
"Aku tahu," jawab Mikael. "Tapi kita juga tidak bisa bertindak gegabah. Kalau kau ingin menyelamatkannya, kita harus tahu ke mana mereka membawanya."
Reina menghela napas, frustrasi. "Apa perangkatmu bisa melacak helikopter itu?"
Mikael mengangguk. "Dengan sedikit keberuntungan, ya. Aku hanya butuh waktu."
Reina menatap ke lautan yang gelap, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Di tengah semua kekacauan ini, ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa Akselia adalah kunci untuk menghancurkan Sentinel. Tetapi untuk melakukannya, mereka harus bergerak lebih cepat dari Lucas.
Di markas Sentinel, Lucas Ravindra menatap layar besar yang menampilkan Akselia di dalam helikopter. Ia tersenyum dingin, menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Dia datang langsung ke kandang singa," gumamnya. "Ini akan menjadi lebih menarik daripada yang aku bayangkan."
Seorang asistennya mendekat. "Tuan, apa yang harus kita lakukan dengannya?"
Lucas menatap layar itu lagi, matanya penuh perhitungan. "Biarkan dia sampai di sini. Aku ingin melihat apakah dia sekuat yang dikatakan ayahnya."
Dan di saat yang sama, di dalam helikopter, Akselia menatap keluar jendela, tekadnya semakin menguat. Ini bukan akhir. Ini adalah awal dari perang yang lebih besar.