Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Menyelami Kenyataan
Elyana duduk di kamar, memandangi jam saku yang ditemukan beberapa hari lalu. Segala yang ia alami belakangan ini membuat pikirannya kacau. Ia mulai menyadari bahwa semua kesulitan dalam pernikahannya dulu bukan hanya kesalahan Davin. Ada satu kebenaran yang sulit ia terima—bahwa dirinya juga menyerah terlalu cepat.
Kenangan pahit dari pernikahan mereka terlintas kembali. Elyana ingat bagaimana ia merasa tak dihargai, bagaimana Davin selalu terlihat dingin dan jauh. Namun kini, setiap kali ia mengamati Davin lebih dalam, ia melihat sisi lain yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Ada luka tersembunyi dalam tatapan suaminya, luka yang mungkin sudah lama ia pendam sendirian.
“Kenapa aku tidak pernah mencoba untuk mengerti?” gumam Elyana pelan. Ia menggenggam jam saku itu lebih erat, seolah mencari jawaban di dalamnya.
Elyana merasa bersalah. Bukan hanya karena menyerah pada hubungan mereka, tetapi juga karena tidak pernah mencoba memahami Davin lebih jauh. Semua waktu yang mereka habiskan bersama dulu terasa seperti dinding yang tak pernah ia coba dobrak. Kini, setelah melihat sisi lembut Davin di balik sikap dinginnya, ia sadar bahwa Davin memikul sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
Esok harinya, Elyana kembali menemui Lina. Kali ini, diskusi mereka tidak hanya tentang ancaman Ryo Kasahara, tetapi juga tentang masa lalu Davin.
“Lina, apa kamu pernah tahu sesuatu tentang masa lalu Davin? Sesuatu yang mungkin menjelaskan kenapa dia sering terlihat... tertutup?” tanya Elyana dengan hati-hati.
Lina mengerutkan kening, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Elyana, aku tidak tahu banyak. Tapi aku pernah mendengar bahwa Davin mengalami banyak hal sulit setelah ibunya meninggal. Terutama saat ayahnya memutuskan untuk menyerahkan sebagian bisnis keluarga kepada orang lain. Itu membuat Davin terpaksa mengambil alih tanggung jawab yang berat di usia muda.”
Elyana terdiam, merasa hatinya terhimpit oleh fakta itu. “Aku benar-benar tidak tahu apa-apa, Lina... Dulu aku terlalu sibuk menyalahkannya karena sikap dinginnya. Aku tidak pernah mencoba melihat beban apa yang dia pikul.”
Lina menatap Elyana dengan prihatin. “Kamu tidak sepenuhnya salah, Elyana. Tapi, sekarang kamu harus mencoba memperbaiki semuanya.”
Malam itu, Elyana mencoba mendekati Davin. Ia menemukannya di ruang kerja, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumen.
“Davin,” panggil Elyana sambil berdiri di ambang pintu.
Davin mengangkat kepalanya. “Ada apa?”
Elyana melangkah masuk, duduk di kursi di hadapannya. “Aku ingin bertanya sesuatu... Tapi, jika kamu tidak nyaman, kamu tidak perlu menjawab.”
Davin menatapnya dengan alis terangkat, penasaran. “Tanyakan saja.”
Elyana ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kenapa kamu selalu terlihat seperti menanggung beban berat? Apa ada sesuatu yang terjadi di masa lalu yang membuatmu seperti ini?”
Pertanyaan itu membuat Davin terdiam. Wajahnya yang biasanya tenang tampak sedikit berubah, seperti sedang menimbang-nimbang apakah ia harus menjawab atau tidak.
“Aku tidak suka membicarakan masa lalu, Elyana,” jawabnya akhirnya, dengan nada datar.
Elyana merasa jantungnya berdebar. Ia tahu Davin tidak akan mudah terbuka, tetapi ia juga tidak ingin menyerah lagi. “Aku mengerti, Davin. Aku hanya ingin tahu... karena aku merasa selama ini aku tidak pernah benar-benar mencoba untuk mengerti kamu.”
Davin menatapnya lama, seolah mencoba membaca niat di balik kata-katanya. Akhirnya, ia menghela napas. “Lupakan masa lalu, Elyana. Yang penting adalah bagaimana kita melanjutkan hidup.”
Elyana mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi banyak pertanyaan. Ia tidak ingin memaksa Davin, tetapi ia bertekad untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di masa lalunya.
Setelah percakapan itu, Elyana merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan mereka. Ia tahu bahwa masa lalu Davin memengaruhi siapa dirinya sekarang, dan ia ingin membantu Davin menghadapi semua itu—bukan hanya sebagai istri, tetapi sebagai seseorang yang peduli.
Elyana memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak, bahkan jika itu berarti menggali sisi gelap masa lalu Davin yang selama ini ia sembunyikan. “Aku tidak akan menyerah lagi,” gumamnya sambil menggenggam jam saku itu. “Aku akan tetap di sini untuknya, apa pun yang terjadi.”
Elyana tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia siap menghadapi apa pun demi memperbaiki kesalahan yang pernah ia buat. Karena kali ini, ia tidak ingin menyerah tanpa berusaha.
Keesokan harinya, Elyana memutuskan untuk mulai mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu Davin. Ia tahu bahwa untuk bisa memahami suaminya dengan lebih baik, ia perlu menggali sisi-sisi yang selama ini disimpan rapat-rapat. Mulai dari pertanyaan yang diajukan ke Lina, Elyana merasa bahwa ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang Davin. Maka, ia pun memulai pencariannya dengan cara yang hati-hati.
Elyana mengunjungi beberapa kolega lama Davin di perusahaannya dan bertanya tentang peran Davin di masa lalu. Beberapa orang mengingat Davin sebagai pria muda yang penuh tekad, namun selalu terlihat terbebani oleh sesuatu. Mereka menceritakan bahwa sebelum ia menjadi CEO, Davin sering menghabiskan waktu larut malam bekerja tanpa henti, bahkan sampai tubuhnya terlihat lelah.
“Davin memang selalu menjaga jarak, tapi dia juga sangat loyal. Tapi, setelah kematian ibunya, dia berubah...,” ujar salah satu rekan kerjanya.
Keterangan itu membuat Elyana semakin terpukul. Selama ini, ia hanya melihat Davin dari sisi luar, sebagai suami yang dingin dan jauh. Ia tidak tahu betapa beratnya perjuangan Davin selama ini. Betapa banyak luka yang tersembunyi di balik sikapnya yang keras.
Elyana duduk di taman belakang rumah mereka, memandangi langit senja yang berwarna oranye keunguan. Rasa bersalah yang menggerogoti hatinya semakin kuat. Ia merasa seolah semua perasaan kecewa yang dulu ia simpan ternyata salah sasaran. Davin bukan hanya sekadar pria yang tidak peduli, tetapi seseorang yang dipaksa untuk mengatasi tragedi besar dalam hidupnya sejak muda.
Saat itu, Davin muncul di balik pintu kaca teras, melihat Elyana duduk termenung. Ekspresinya sulit dibaca, tetapi ada secercah keheranan di matanya.
“Elyana, kamu baik-baik saja?” tanya Davin dengan nada lembut, berbeda dari biasanya.
Elyana mendongak dan memaksakan senyuman. “Aku hanya... berpikir. Tentang semuanya, tentang kita.”
Davin berjalan mendekat, duduk di samping Elyana. Hening sejenak, hanya terdengar suara angin yang menerpa dedaunan.
“Aku tidak pernah berpikir kamu akan datang ke sini dan bertanya tentang masa laluku,” ujar Davin akhirnya, suara berat penuh kelelahan. “Kenapa sekarang?”
Elyana menatapnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Karena aku mulai memahami bahwa ada lebih banyak hal di dirimu yang aku belum tahu. Aku merasa bersalah karena dulu aku menyerah tanpa mencoba memahami beban yang kamu bawa.”
Davin terdiam, matanya tajam menatap Elyana seolah mencoba menilai keseriusan di balik kata-katanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas dan berkata, “Aku tidak ingin masa lalu itu menghalangi kita, Elyana. Tapi aku... aku juga tidak bisa membiarkanmu terus merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi.”
Elyana menatap Davin, ada rasa haru yang meluap dalam dirinya. “Davin, aku ingin tahu lebih banyak. Aku ingin memahami apa yang membuatmu seperti sekarang, bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk dirimu sendiri.”
Davin memalingkan pandangan, merenung. Suasana di sekitar mereka seakan menjadi saksi bisu atas percakapan yang menyentuh ini. Mungkin, untuk pertama kalinya, ada sedikit harapan yang muncul di antara luka-luka yang dalam.
“Jika kamu benar-benar ingin tahu,” Davin berkata pelan, “aku hanya bisa memberitahumu satu hal... bahwa aku sangat menyesal karena sudah membuatmu melalui semua itu. Mungkin, aku terlalu egois untuk memikirkanmu di tengah semua perjuangan ini.”
Elyana meraih tangan Davin, menggenggamnya erat. “Kita bisa menghadapinya bersama-sama, Davin. Meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, aku ingin berada di sini untukmu. Aku tidak akan menyerah lagi.”
Davin menatap Elyana dengan ekspresi yang sulit diungkapkan. Ada rasa terima kasih, tetapi juga rasa takut akan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Namun, di dalam matanya, Elyana bisa melihat secercah harapan yang sama sekali baru.
Malam itu, mereka duduk di teras rumah, berbagi cerita dan memperbaiki hubungan yang sempat retak. Elyana tahu, ini baru awal dari perjalanan panjang untuk mengatasi masa lalu dan membangun masa depan bersama.
...****************...