> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Bisikan Hati yang Mengusik
Bab 2: Bisikan Hati yang Mengusik
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
---
Setting: Pagi yang cerah di sebuah gang sempit di pinggiran kota. Sinar matahari menembus celah-celah bangunan tua, memantulkan cahaya ke dinding kusam yang penuh coretan grafiti. Suara ayam berkokok terdengar samar dari kejauhan.
---
Fahri duduk di bangku panjang di depan markasnya, menghisap rokok dengan tatapan kosong. Matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Asap rokok yang keluar dari mulutnya terasa lebih tebal dari biasanya, seolah mencerminkan beban berat yang tengah ia rasakan.
Bayangan wajah Aisyah terus mengganggu pikirannya. Kata-katanya kemarin masih terngiang jelas di telinganya.
> "Bang Fahri, hidup ini singkat. Jangan sampai kau menyesal saat semuanya terlambat."
Fahri menggelengkan kepalanya dengan kesal. "Apa pedulinya dia sama aku? Emang dia pikir aku ini anak kecil yang bisa dikasih ceramah begitu aja?" gumamnya dengan nada kesal. Tapi, semakin ia mencoba melupakan, semakin dalam kata-kata itu terukir di hatinya.
---
Percakapan dengan Iwan
Tak lama kemudian, Iwan datang membawa sekantong plastik hitam yang isinya nasi bungkus. Ia meletakkan kantong itu di sebelah Fahri. "Bang, makan dulu. Dari pagi belum makan, kan?"
Fahri hanya mengangguk tanpa bicara. Ia mengambil satu bungkus nasi dan mulai membukanya perlahan. Bau nasi hangat dengan lauk tempe goreng dan sambal menusuk hidungnya, tapi nafsu makannya terasa hilang.
Iwan duduk di sebelah Fahri, makan dengan lahap. Sambil mengunyah, ia melirik Fahri yang tampak melamun.
"Bang, ada yang aneh sama Abang, nih," kata Iwan sambil menyendok nasi ke mulutnya. "Biasanya Abang nggak pernah diem kayak gini. Kenapa, Bang?"
Fahri menatap Iwan sejenak. "Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat.
"Serius, Bang? Ini gara-gara perempuan itu, ya? Aisyah, ya namanya?" goda Iwan sambil menyeringai lebar.
Fahri langsung melemparkan bungkus nasi yang belum selesai dimakannya ke Iwan. "Jaga mulutmu, Wan! Nggak usah bawa-bawa nama orang!" bentaknya keras.
Iwan tertawa sambil menangkis bungkus nasi itu. "Iya, iya, Bang. Tapi aku lihat kemarin Abang diem aja pas dia ngomong. Itu nggak kayak Abang biasanya. Biasanya, siapa pun yang berani masuk markas, langsung diusir. Tapi perempuan itu beda, ya, Bang?"
Fahri terdiam. Kata-kata Iwan memang ada benarnya. Biasanya, siapa pun yang masuk markas tanpa izin pasti akan merasakan kemarahan Fahri. Tapi kemarin... dia hanya mendengarkan.
“Kenapa, ya? Apa aku lemah?” pikir Fahri dalam hati.
---
Malam yang Gelisah
Malam tiba. Angin malam bertiup lembut, membuat daun-daun kering berjatuhan dari pohon. Fahri berbaring di kasur tipis di dalam kamar markas. Atap di atasnya penuh dengan sarang laba-laba. Ia memejamkan matanya, berharap tidur bisa menghilangkan semua pikiran yang mengganggunya.
Tapi tidak semudah itu.
Bayangan wajah Aisyah kembali muncul di benaknya. Suaranya lembut, tapi menggetarkan hati.
> "Bang Fahri, hidup ini singkat. Jangan sampai kau menyesal saat semuanya terlambat."
> "Setiap orang punya kesempatan untuk berubah."
Fahri membuka matanya dan menghela napas berat. "Kenapa sih, nggak bisa keluar dari kepalaku?" desahnya kesal.
Ia duduk di tepi kasur, merogoh saku celananya, dan mengeluarkan pisau lipat yang biasa ia bawa ke mana-mana. Cahaya bulan dari jendela menerangi pisau itu. Ia menatap bayangan dirinya yang terpantul di permukaan logamnya.
“Berubah? Aku berubah? Emang ada orang kayak aku yang masih bisa berubah?”
Ia tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. Hatinya penuh pertanyaan. Setiap malam ia terbiasa tidur dengan rasa amarah, tapi malam ini... ada rasa yang berbeda. Rasa yang tak ia kenal sebelumnya.
---
Pertemuan Tak Terduga
Keesokan harinya, Fahri berjalan menyusuri gang kecil menuju warung kopi milik Pak Darman. Di warung itu, beberapa orang sedang asyik ngobrol sambil menyeruput kopi hitam. Fahri memesan kopi dan duduk di pojok.
Beberapa menit kemudian, tanpa diduga, Aisyah datang. Ia membawa beberapa kotak kardus besar di tangannya. Ia berhenti di depan warung dan menurunkan kotak-kotak itu satu per satu.
Fahri melirik sekilas, lalu kembali menatap kopinya. Tapi dari ujung matanya, ia bisa melihat bahwa Aisyah sedang membagikan sesuatu ke warga sekitar. Ibu-ibu dan anak-anak kecil mendekatinya dengan wajah penuh senyum.
"Ini, Bu. Ini ada baju-baju bekas layak pakai. Mudah-mudahan bermanfaat, ya," kata Aisyah sambil tersenyum ramah kepada seorang ibu yang membawa dua anak kecil.
"Iya, makasih, Mbak Aisyah. Semoga Allah balas kebaikan Mbak," ucap si ibu sambil mengusap kepala anak-anaknya.
Aisyah membalas dengan senyum hangat. "Aamiin, Bu. Doakan saya juga, ya."
Fahri hanya memandang dari jauh. Hatinya mulai terusik. "Kenapa dia repot-repot ngurusin orang lain? Apa untungnya buat dia?" pikirnya.
Setelah selesai membagikan baju, Aisyah melihat Fahri duduk di pojok warung. Dengan langkah ringan, ia mendekat.
"Assalamu'alaikum, Bang Fahri," sapanya dengan suara lembut.
Fahri hanya menunduk, tidak membalas salamnya. Tapi hatinya gelisah.
"Aku cuma mau bilang... Kalau Bang Fahri butuh teman cerita, aku siap dengerin," ucap Aisyah sambil tersenyum. Lalu, ia pergi tanpa menunggu jawaban dari Fahri.
Fahri menunduk, menatap kopinya yang sudah dingin. Kata-kata Aisyah kali ini terasa berbeda.
> "Butuh teman cerita..."
Malam itu, Fahri tidak bisa tidur. Ia teringat semua dosa yang pernah ia lakukan. Menyakiti orang lain, mengancam, memeras, dan semua keburukan yang ia banggakan. Tapi kali ini, semua itu terasa menjijikkan.
Ia duduk di kasurnya, menggenggam pisau lipat di tangannya. Tapi kali ini, ia tidak memandang pantulan wajahnya. Ia menutup matanya dan berkata perlahan, "Ya Allah, kalau benar aku masih punya kesempatan buat berubah... tolong tunjukkan aku caranya."
Air matanya mengalir pelan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menangis.
---
Di bab ini, Fahri mulai merasakan kegelisahan dalam hatinya. Kata-kata Aisyah mulai menggugah kesadarannya. Bab ini memperlihatkan sisi manusiawi Fahri, yang meski tenggelam dalam dosa, hatinya masih memiliki ruang untuk kebenaran.