Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cucu Raja Peri
Bab 33 -
Suasana di aula besar istana Taewon tampak tenang dari luar, namun di dalam, suasana penuh ketegangan mulai terasa. Hari itu, pertemuan keluarga diadakan untuk kedua kalinya setelah pengumuman resmi Teresa Lumina sebagai calon Putri Mahkota. Semua anggota penting keluarga kerajaan Taewon hadir, termasuk para tetua dari keluarga-keluarga besar kerajaan-Tetua Vorbest dan Tetua Angeres.
Teresa duduk dengan tenang di samping Arion, Putra Mahkota, yang menjaga sikap dinginnya seperti biasa. Namun di bawah sikap tenang itu, ada kegelisahan yang mulai menjalar di ruangan. Arion tahu, pembicaraan hari ini bisa memicu perdebatan yang lebih serius daripada sekadar urusan keluarga. Para tetua, terutama dari klan Vorbest dan Angeres, telah menunjukkan ketidakpuasan mereka sejak awal pengumuman pertunangan ini.
Dan benar saja, Robin De Vorbest, tetua Vorbest, mengambil kesempatan untuk menyuarakan keberatannya setelah sesi perkenalan formal berakhir.
"Yang Mulia," mulai Robin dengan nada tenang namun penuh sindiran, "ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan mengenai situasi yang berkembang di antara masyarakat Taewon belakangan ini. Seperti yang mungkin sudah Anda dengar, ada rumor yang berkembang tentang calon Putri Mahkota kita. Masyarakat mulai mempertanyakan, apakah seorang peri, yang tidak mengenal sistem bangsawan, pantas menduduki posisi sepenting itu di kerajaan kita?" Mata Robin menatap langsung ke arah Rere, yang duduk dengan tenang di samping Arion. Meski kata-katanya terbungkus dengan sopan, maksud yang ia sampaikan sangat jelas-dia meragukan kemampuan Rere untuk menjadi bagian dari keluarga kerajaan.
Belum sempat suasana tenang kembali, Tetua Angeres, Harmes De Angeres, ikut menimpali, memperkuat argumen Robin.
"Memang benar apa yang dikatakan Tetua Vorbest. Para masyarakat juga mulai memandang rendah keputusan kerajaan. Dunia peri tidak mengenal sistem bangsawan, dan banyak yang mempertanyakan kelayakan Teresa Lumina untuk menjadi ibu dari pewaris kerajaan serigala. Apakah kita akan mengabaikan suara-suara itu?"
Ruangan menjadi sunyi sejenak setelah pernyataan tersebut dilontarkan. Semua orang menoleh, menunggu reaksi Rere, namun wanita itu tetap tenang. Rere duduk diam, tidak menunjukkan tanda-tanda marah atau tersinggung. Meski mereka berbicara langsung tentang asal-usulnya, dia memilih untuk tidak merespons secara emosional. Baginya, tidak perlu terlalu mencolok dalam pertemuan seperti ini, terutama jika mereka ingin menguji kesabarannya.
Ratu Liliana, yang duduk di ujung meja, akhirnya menghela napas panjang. Wajahnya yang biasanya dingin menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan. "Apakah benar para tetua mempertanyakan keputusan ini?" tanyanya, suaranya terdengar tegas namun tetap tenang.
Robin mengangguk pelan. "Bukan hanya para tetua, Yang Mulia. Banyak di antara rakyat Taewon yang mulai bertanya-tanya, apakah keputusan ini diambil dengan bijak. Keluarga kerajaan biasanya memilih calon Putri Mahkota dari kalangan bangsawan suin serigala, dan sekarang, dengan memilih utusan peri, kami khawatir akan ada konsekuensi..." Sebelum Robin bisa melanjutkan, Putra Mahkota Arion berdiri dari tempat duduknya dengan tatapan tegas. Suaranya dingin namun penuh otoritas. "Konsekuensi apa yang kalian bicarakan?" tanyanya, menyela Robin dengan nada yang jelas tidak menyukai arah pembicaraan.
"Aku yang memilih Teresa. Tidak ada aturan dalam kerajaan ini yang mengatakan bahwa aku harus menikahi seorang bangsawan suin serigala. Pilihanku sudah jelas, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun-bahkan tetua-untuk meragukannya."
Tatapan tajam Arion menembus ruangan, menghentikan semua pembicaraan sejenak. Semua orang menahan napas, termasuk para tetua. Mereka tahu, Putra Mahkota bukan orang yang mudah dihadapi, dan keputusannya jarang berubah.
Robin, yang sempat kehilangan kata-kata, akhirnya mencoba memberikan pembelaan. "Tentu saja, Arion. Kami tidak bermaksud meragukan otoritasmu. Kami hanya... ingin memastikan bahwa keputusan ini tidak akan membawa masalah bagi kerajaan di masa depan."
Arion mendengus pelan, lalu melanjutkan. "Keputusan ini adalah urusanku. Aku yang akan menikah, dan aku yang akan memimpin. Jika kalian meragukan Teresa, maka kalian juga meragukan pilihanku. Dan aku tidak akan menerima itu."
Rere menoleh ke arah Arion, sedikit terkejut dengan pembelaannya yang tegas. Meskipun hubungan mereka hanya berdasarkan kontrak, Arion jelas tidak mau ada yang merendahkan keputusannya atau Teresa.
Ratu Liliana, yang sejak tadi mengamati dengan tenang, akhirnya ikut berbicara. "Aku setuju dengan Arion. Tidak ada aturan yang mengharuskan seorang Putra Mahkota menikahi bangsawan suin serigala. Dunia peri mungkin tidak mengenal sistem bangsawan, tapi Teresa Lumina telah membuktikan dirinya layak di mata Arion, dan itu sudah cukup bagiku."
Semua tetua terdiam. Perkataan Ratu Liliana adalah sinyal jelas bahwa masalah ini tidak akan dibiarkan berlarut-larut. Robin dan Harmes tampak terpaksa menahan diri, meskipun jelas bahwa mereka belum sepenuhnya menerima keputusan ini.
Pertemuan akhirnya dilanjutkan dengan topik-topik lain yang lebih ringan, namun ketegangan masih terasa di udara. Sementara itu, Rere tetap tenang di tempatnya, meski dalam hati dia merasa lega. Dia tahu bahwa perjalanannya sebagai calon Putri Mahkota masih panjang dan penuh tantangan, tapi setidaknya, dia tidak harus menghadapinya sendirian. Arion, dan bahkan Ratu Liliana, telah menunjukkan bahwa mereka ada di sisinya, meskipun hanya dalam sebuah pernikahan kontrak.
Meski perdebatan sempat mereda oleh pernyataan Arion dan Ratu Liliana, suasana di ruangan itu masih jauh dari tenang. Para tetua Vorbest dan Angeres masih belum puas. Mereka mempertanyakan asal-usul Teresa Lumina-Rere, yang menurut mereka tidak jelas dan tidak memiliki ikatan langsung dengan klan atau keluarga bangsawan mana pun. Bisikan-bisikan rendah mulai terdengar lagi di sudut-sudut ruangan, seolah mencoba menyulut api yang sebelumnya telah dipadamkan.
Raja Arthur De Espencer, yang duduk di puncak meja pertemuan, hanya diam dan mengamati. Raja Taewon itu adalah pria yang bijaksana dan jarang berbicara jika tidak diperlukan. Namun, sorot matanya menunjukkan bahwa dia tidak melewatkan apa pun. Raja Arthur ingin melihat sampai sejauh mana para tetua berani mengkritik calon menantunya sebelum dia turun tangan.
Sementara itu, Rere mulai merasakan beban yang lebih berat. Meskipun dia telah berusaha untuk tetap tenang, melihat Arion terus membela dirinya tanpa henti membuat hatinya tergerak.
Bukan hanya karena dia merasa bersalah telah menyeret Arion ke dalam situasi ini, tetapi juga karena dia tahu bahwa identitasnya sebagai peri sebenarnya bukan sesuatu yang bisa dibanggakan di depan orang-orang Taewon.
Namun, dia juga tahu bahwa ada satu cara untuk menyelesaikan masalah ini-mengungkapkan kebenaran tentang siapa dia sebenarnya. Tapi untuk itu, dia butuh bantuan, Bantuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di dunia peri.
Rere, dengan hati-hati, menyentuh liontin kecil di lehernya, artefak yang bisa memanggil seseorang yang sangat ia butuhkan saat ini: Raja Peri Acros, kakeknya. Dalam hati, dia berdoa agar sang Raja Peri mau datang dan membantu mengungkapkan kebenarannya.
Tepat ketika para tetua Vorbest, terutama Robin De Vorbest, mulai melanjutkan kritik mereka dengan nada yang semakin tinggi, ruangan itu tiba-tiba berubah. Sebuah angin dingin berhembus lembut, dan keheningan menyelimuti aula. Cahaya-cahaya peri mulai berkilauan di udara, memancarkan aura magis yang hanya bisa dihasilkan oleh makhluk dari dunia peri.
Semua orang yang hadir di ruangan itu menoleh dengan kaget, dan dalam sekejap, sebuah sosok agung muncul di tengah aula. Raja Peri Acros, dengan jubah emas dan hijau yang berkilauan, berdiri dengan penuh wibawa. Matanya yang tajam namun bijaksana menatap lurus ke arah para tetua yang terdiam karena kehadirannya yang tak terduga.
"Apa ini...?" Robin De Vorbest bergumam pelan, tampak bingung dan terkejut. Raja Arthur mengangkat satu alisnya, namun tidak terkejut seperti yang lain. Dia mengenal kekuatan peri dan mengetahui bahwa kemunculan Raja Peri bukanlah sesuatu yang biasa terjadi tanpa alasan kuat.
Raja Peri Acros melangkah maju, suaranya lembut namun penuh kekuatan. "Aku datang ke sini karena cucuku, Teresa Lumina, memintaku," katanya, sambil menatap Rere dengan senyum kecil. "Sepertinya ada beberapa pertanyaan tentang asal-usulnya yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut."
Sontak, seluruh ruangan terdiam. Rere menundukkan kepala, merasa terharu dan sedikit lega bahwa kakeknya telah datang untuk membantunya di saat-saat krusial ini.
"Teresa Lumina bukan hanya seorang peri biasa," lanjut Raja Peri Acros. "Dia adalah cucuku. Keturunanku langsung, dari garis keluarga peri yang mulia. Meskipun kami, peri, tidak memiliki sistem bangsawan seperti yang kalian kenal, darah yang mengalir dalam dirinya adalah darah para penguasa dunia peri."
Robin De Vorbest, yang sebelumnya sangat vokal, kini hanya bisa terdiam. Wajahnya menegang, dan jelas terlihat bahwa informasi ini bukan sesuatu yang dia harapkan. Namun, dia tidak bisa lagi berbicara melawan seseorang seperti Raja Peri.
Harmes De Angeres, yang juga telah ikut mengkritik sebelumnya, tampak terpana. "Cucu... Raja Peri?" gumamnya, tak percaya. "Ini... bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh."
Raja Peri Acros melanjutkan, suaranya masih tenang namun penuh otoritas. "Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang lain. Teresa Lumina, cucuku, layak untuk menjadi Putri Mahkota di kerajaan ini, jika itu yang diinginkan oleh Putra Mahkota Arion. Kalian boleh mempertanyakan asal-usulnya, tapi ingatlah, peri tidak menilai seseorang dari status bangsawan, melainkan dari kekuatan hati dan jiwa."
Rere menatap kakeknya dengan rasa syukur yang mendalam. Raja Peri Acros telah mengatakan semua yang perlu dikatakan, dan sekarang semua tergantung pada bagaimana keluarga kerajaan Taewon dan para tetua menanggapi hal ini.
Arion, yang sejak awal sudah memihak Rere, berdiri dari tempat duduknya dengan tegas. "Itu sudah jelas," katanya. "Teresa bukan hanya seorang peri biasa. Dia adalah bagian dari keluarga kerajaan peri. Dan tidak ada satu pun aturan di Taewon yang mengatakan bahwa aku harus menikah dengan bangsawan dari suin serigala."
Suaranya yang dingin dan tajam membuat para tetua lainnya menahan diri. Kali ini, bahkan Robin De Vorbest tidak bisa lagi berargumen. Tidak ada yang bisa membantah Arion ketika Raja Peri sendiri sudah turun tangan.
Raja Arthur, yang dari tadi hanya diam mengamati, akhirnya angkat bicara. "Sepertinya pembicaraan kita hari ini sudah cukup jelas," katanya dengan nada rendah namun tegas. "Jika Putra Mahkota Arion sudah memilih Teresa Lumina, dan dengan adanya dukungan dari Raja Peri, maka kita harus menghormati keputusannya."
Ruangan itu sekali lagi diliputi keheningan. Para tetua yang sebelumnya meragukan asal-usul Rere kini tak bisa lagi menyuarakan keberatan mereka.
Rere menghela napas lega. Setidaknya untuk saat ini, identitasnya telah dijelaskan, dan dia tidak perlu lagi merasa bahwa asal-usulnya menjadi alasan orang meragukannya. Namun dia tahu, meski masalah ini sudah mereda, tantangan berikutnya mungkin masih menunggu di depan.
Setelah rapat yang memanas di dalam aula istana, Rere melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Dia merasa kesal, tertekan, dan mual sekaligus. Meskipun Raja Peri telah membantunya membela diri, Rere tak bisa menghilangkan rasa kesal yang menggelayut di hatinya. Mereka terlalu meremehkannya, terlalu cepat menilai tanpa benar-benar mengenalnya. Langkahnya menuju taman terasa berat, dan perutnya mulai terasa mual, seolah-olah menanggapi emosi yang meluap dalam dirinya.
Di dalam aula, Raja Peri masih berbicara dengan keluarga kerajaan, membahas hal-hal yang lebih dalam dan kompleks tentang pernikahan serta masa depan. Tapi Rere tidak ingin berada di sana lagi. Perutnya yang mual, ditambah kekesalan yang semakin menumpuk, membuatnya merasa lebih baik jika mengambil sedikit waktu untuk dirinya sendiri.
Setelah menemukan tempat duduk di taman, Rere menghela napas panjang. Udara segar dari bunga-bunga di sekitarnya sedikit membantu, namun emosi di hatinya masih bergemuruh.
Tiba-tiba, dari liontin kalung yang selalu tergantung di lehernya, Undine, peri air pelindungnya, keluar. Sosoknya yang lembut dan mengambang segera menyadari bahwa sesuatu tidak beres dengan Rere. "Rere, ada apa? Kau terlihat kesal," suara Undine terdengar tenang, namun penuh perhatian.
Rere, yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya tak bisa menahan diri lagi. Dia membuka cadar tipis yang menutupi sebagian wajahnya, memperlihatkan wajahnya yang merah karena kesal. "Mereka meremehkanku, Undine. Mereka memandangku seperti aku bukan siapa-siapa. Bahkan setelah kakek datang dan membelaku, rasanya mereka tetap tidak percaya. Apa yang harus kulakukan?" Undine melayang lebih dekat, menyentuh lembut bahu Rere dengan tangan airnya yang dingin. "Kau lebih kuat daripada yang mereka pikirkan, Rere. Mereka hanya butuh waktu untuk melihat siapa dirimu sebenarnya."
Rere menghela napas lagi, kali ini dengan rasa frustrasi yang tak bisa ditahan. "Waktu? Berapa lama aku harus menunggu? Rasanya setiap hari aku harus membuktikan sesuatu kepada mereka. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa bertahan lebih lama."
Undine menatap Rere dengan lembut, mencoba menenangkan gejolak hati gadis itu. "Kau akan baik-baik saja, Rere. Kau punya orang-orang yang peduli padamu. Ingat, Arion ada di sisimu. Dan kakekmu juga selalu menjagamu."
Rere tersenyum tipis, namun tetap ada rasa tidak puas dalam dirinya. "Arion... Ya, dia membelaku. Tapi aku tak tahu apakah dia benar-benar melakukannya karena peduli padaku atau hanya karena dia merasa bertanggung jawab."
Sementara itu, di balik pepohonan tak jauh dari taman, Arion berdiri diam, memperhatikan Rere. Sejak pertemuan memanas di aula, dia mengikuti Rere ke taman tanpa suara. Dan kini, dia berdiri mengamati gadis yang membuatnya penasaran lebih dari siapa pun.
Tatapan Arion yang biasanya tajam dan tegas, kini berubah lembut. Dia melihat Rere membuka cadarnya, memperlihatkan wajahnya yang merona karena marah, dan di matanya, Rere terlihat sangat menggemaskan. Ada sesuatu yang berbeda dari Rere, sesuatu yang membuat hati Arion terasa hangat setiap kali melihatnya. Mungkin itu caranya berbicara dengan Undine, atau mungkin itu cara dia mengungkapkan kekesalannya dengan polos dan tulus.
Arion tidak bisa menahan diri untuk tersenyum tipis. Di tengah semua tekanan dan kerumitan politik yang mereka hadapi, Rere tetap menjadi sosok yang membawa cahaya ke dalam hidupnya. Tanpa sadar, hatinya mulai berbunga-bunga setiap kali melihat Rere. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Rere, yang masih terlibat dalam percakapan dengan Undine, tidak menyadari bahwa Arion mengamati dari kejauhan. "Aku hanya ingin semuanya lebih mudah, Undine. Aku lelah terus-menerus dipandang rendah. Apalagi sekarang, dengan segala rumor yang beredar. Mereka berpikir aku ini ancaman bagi kerajaan."
Undine tersenyum kecil, meski suaranya tetap lembut dan tenang. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa yang orang lain pikirkan, Rere. Yang penting adalah apa yang kau rasakan dan apa yang benar menurutmu."
Rere mengangguk pelan. Dia tahu Undine benar, tapi tetap saja, rasa frustasi itu sulit hilang. "Ya, mungkin kau benar."
Di saat itu, Arion memutuskan untuk melangkah maju. Dia berjalan mendekati Rere tanpa suara, dan saat Rere menoleh, dia sedikit terkejut melihat kehadirannya. "Arion..." suaranya pelan, bingung apakah Arion mendengar pembicaraannya.
Arion tersenyum kecil, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya. "Kau tidak perlu terlalu khawatir tentang apa yang mereka katakan, Teresa. Mereka mungkin ragu sekarang, tapi cepat atau lambat, mereka akan tahu bahwa kau jauh lebih dari sekadar peri."
Rere terdiam, matanya bertemu dengan tatapan lembut Arion yang kali ini penuh ketulusan. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat dadanya bergetar. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, Arion benar-benar memperhatikannya bukan hanya sebagai bagian dari perjanjian mereka, tetapi lebih dari itu. Dengan lembut, Arion mengulurkan tangan, menyentuh bahu Rere. "Aku di sini. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun meremehkanmu."
Rere hanya bisa menatapnya, tak mampu berkata-kata. Arion, dengan caranya yang tenang dan dingin, membuat hatinya berdebar. Mungkin, meski hubungan mereka dimulai sebagai sebuah kontrak, ada sesuatu yang lebih besar yang mulai tumbuh di antara mereka.
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?