Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Ngutang Di Warung Bakso
Setelah canda tawa menghilangkan rasa canggung di antara mereka, Blokeng merasa bersemangat. Suasana malam yang cerah semakin menyemarakkan niatnya untuk menjadikan pertemuan ini lebih berkesan. Dia teringat betapa dia sangat menyukai bakso, dan mendadak muncul ide di kepalanya.
“Lina, bagaimana kalau kita makan bakso? Aku tahu tempat yang enak dan murah di dekat sini,” tawar Blokeng dengan senyuman lebar.
Lina, yang masih merasa terhibur oleh kejadian sebelumnya, segera setuju. “Ayo! Aku juga suka bakso!” jawabnya penuh semangat.
Mereka pun berjalan menuju warung bakso yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Aroma kaldu yang menggugah selera menyambut mereka saat memasuki warung yang sederhana itu. Mereka duduk di sebuah meja di sudut dan memesan dua mangkuk bakso besar.
Saat menunggu pesanan, Lina tak henti-hentinya bercerita tentang kehidupannya sebagai pemandu lagu. Blokeng mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa dengan cerita-cerita lucu yang Lina sampaikan.
Setelah beberapa menit, pesanan mereka pun tiba. Bakso yang disajikan panas, lengkap dengan kuah, mie, dan sambal yang menggoda selera. Keduanya segera menyantap makanan itu dengan lahap.
“Hmm, enak banget! Rasanya lebih baik dari yang aku bayangkan,” puji Lina, sambil mengunyah bakso yang lembut.
Blokeng mengangguk setuju. “Iya, ini memang favoritku. Aku sering kesini kalau lagi pengen makan enak dan murah.”
Setelah kenyang menikmati bakso, mereka memanggil pelayan untuk membayar. Namun, saat Blokeng merogoh kantongnya, wajahnya mendadak memucat. “Eh, tunggu… dompetku… ketinggalan!” teriaknya panik.
Lina mengerutkan dahi, merasa bingung. “Maksudmu dompet ketinggalan? Apa kamu nggak bawa uang?”
Blokeng menggelengkan kepala, wajahnya memerah karena malu. “Aku lupa bawa dompet. Tadi aku buru-buru dan tidak cek isi kantong.”
Melihat situasi itu, Lina mulai merasa khawatir. “Lalu, bagaimana? Kita sudah makan, dan pelayannya pasti menunggu bayaran.”
Blokeng menggaruk kepalanya, berpikir cepat. “Tenang, aku akan kembali ke rumah dan ambil uang. Ini semua salahku. Maaf ya, Lina,” ucapnya dengan nada menyesal.
“Jadi, bagaimana? Aku ditinggal sendirian?” Lina merasa sedikit cemas. Dia tidak tahu bagaimana jika harus menunggu sendirian di situ.
Blokeng menatapnya dengan serius. “Aku minta maaf banget. Sebagai jaminan, kamu bisa tinggal disini. Aku janji akan cepat kembali.”
“Jaminan? Kamu yakin ini aman?” Lina tidak yakin dengan ide itu, tetapi melihat Blokeng tampak sangat serius, dia akhirnya setuju.
“Ya, aku janji. Nggak akan lama, aku hanya perlu pulang ke rumah dan ambil uang. Tunggu aku, ya!” kata Blokeng sambil berdiri, kemudian bergegas pergi meninggalkan Lina di warung.
Lina duduk sendiri di meja, merasa sedikit canggung. Dia tidak tahu harus berbuat apa sementara menunggu Blokeng. Namun, saat melihat semangkuk bakso yang masih penuh, dia mengambil sendok dan melanjutkan untuk menyantapnya.
“Semoga Blokeng cepat kembali,” gumamnya dalam hati, sambil berharap momen-momen konyol ini tidak menjadi penghalang untuk mengenal Blokeng lebih jauh. Dia pun tersenyum, memikirkan bagaimana hubungan mereka bisa berlanjut setelah serangkaian kejadian lucu yang tak terduga ini.
Sementara Blokeng bergegas pulang untuk mengambil uang, Lina duduk sendirian di meja. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa suasana warung bakso cukup ramai. Beberapa pengunjung lain tampak menikmati hidangan mereka, sementara pelayan di belakang barisan dapur saling berseliweran.
Di meja sebelah, dua orang pelayan sedang berbincang, terlihat cukup akrab. Satu dari mereka, seorang wanita berambut pendek, menggelengkan kepala sambil tertawa. “Uhh, dasar ada-ada aja ya, cakep-cakep dompetnya ketinggalan! Hahaha!” ejeknya.
Pelayan yang satunya, pria bertubuh tegap, ikut tertawa. “Ya, siapa yang mau pacaran sama cowok yang tidak bawa uang? Sialan!” Dia mengangkat gelas dan memandang ke arah Lina dengan pandangan menyelidik.
Lina, yang mendengar percakapan itu, merasa tersinggung meskipun dia mencoba untuk tetap tenang. “Eh, apa maksudnya kalian?” Dia merasa wajahnya memanas, tetapi tidak ingin menunjukkan rasa marahnya.
“Eh, maaf! Kami tidak bermaksud menyinggung,” kata pelayan wanita dengan senyum canggung. “Tapi siapa yang menyangka cowok seperti itu bisa kelupaan dompet? Mungkin dia berharap kamu yang bayar,” tambahnya sambil tertawa.
Lina mencoba tersenyum, tetapi hatinya sedikit terbakar. “Tidak mungkin aku yang bayar. Aku bukan orang yang suka menanggung beban orang lain,” jawabnya tegas.
Pria itu mengangkat bahu. “Ya, kamu bisa sabar menunggu. Toh, banyak cowok di luar sana yang lebih baik dari dia,” ujarnya sambil mengedipkan mata.
Lina mengalihkan pandangannya dari mereka, merasa jengah dengan komentar mereka. Dia berusaha tidak peduli, tetapi percakapan mereka terus berputar di pikirannya. Apakah Blokeng memang tipe yang seperti itu? Mungkinkah dia memang tidak bertanggung jawab?
Sambil menunggu, Lina memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan mengecek ponselnya. Dia melihat pesan masuk dari teman-temannya yang menanyakan kabar. Dalam chat, dia bercerita tentang pengalaman konyolnya hari ini.
Di tengah kesibukan warung, Lina tidak menyadari bahwa dia sudah duduk terlalu lama. Setengah jam berlalu, dan Blokeng belum kembali. Dia mulai merasa gelisah, khawatir apakah Blokeng benar-benar akan kembali.
Ketika suasana mulai tenang, pelayan wanita itu kembali menghampirinya. “Kamu tidak mau pesan apa-apa lagi? Mungkin kita bisa membawakan minuman segar untuk menunggu,” tawarnya dengan ramah.
“Tidak usah, terima kasih. Aku hanya berharap temanku segera kembali,” jawab Lina sambil melirik pintu keluar, menanti kedatangan Blokeng.
“Kalau begitu, semoga dia cepat kembali. Kasihan kalau kamu ditinggal sendirian di sini,” katanya, berusaha menghibur.
Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat lagi, Lina mendengar suara pintu berderak terbuka. Blokeng muncul dengan napas terengah-engah, dan matanya terlihat penuh ketegangan.
“Maaf! Maaf! Aku terlambat!” serunya sambil berlari ke arah meja. “Aku tidak menemukan dompetku, jadi aku ambil uang di tempat yang lain.”
“Tidak apa-apa. Aku hanya khawatir kamu tidak kembali,” jawab Lina, merasa lega.
Blokeng tersenyum lebar. “Beruntungnya, aku tidak jadi utang! Mari kita bayar dan nikmati bakso ini!”
Mereka pun melanjutkan makan bakso, dan meskipun ada rasa jengkel dari insiden itu, Lina merasakan hubungan di antara mereka semakin dekat. Dengan semua kejadian yang terjadi, dia menyadari bahwa pertemuan ini mungkin tidak seburuk yang dia kira.
Setelah Blokeng duduk kembali di meja, mereka berdua kembali menikmati bakso yang tersisa. Makanan yang awalnya menggugah selera kini terasa lebih nikmat dengan canda tawa yang mengisi suasana.
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya Blokeng sambil menyendok bakso ke dalam mulutnya.
“Aku mungkin akan pulang setelah ini. Besok ada pekerjaan lagi sebagai pemandu lagu,” jawab Lina, sambil menatap ke arah pintu keluar. “Tapi kalau ada waktu, aku suka pergi karaokean juga, sih.”
Blokeng langsung bersinar mendengar hal itu. “Karaoke? Wah, aku suka itu! Mungkin kita bisa karaoke bareng suatu saat. Pasti seru!”
Lina tersenyum, sedikit lebih terbuka. “Kamu bisa nyanyi?”
Blokeng mengangguk dengan percaya diri. “Tentu saja! Suaraku lumayan, meski kadang bisa fals. Tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?”
Lina tertawa, merasa lebih nyaman. “Kalau kamu mau, kita bisa nyanyi duet. Tapi jangan salahkan aku kalau suaramu tidak sesuai harapan!”
Setelah beberapa saat, mereka selesai makan, dan Blokeng meminta tagihan kepada pelayan. Ketika tagihan datang, Blokeng membuka dompetnya dan menghitung uang yang dibawanya. Dia terlihat sedikit gelisah, dan Lina mulai meragukan apakah uang yang dia miliki cukup.
“Semoga uangku cukup,” gumamnya, menyipitkan mata pada tagihan. Namun, wajahnya terlihat lega ketika akhirnya dia menyelesaikan pembayaran.
“Syukurlah! Aku tidak mau menjadi utang seumur hidup karena dompet ketinggalan!” Blokeng bercanda sambil melangkah keluar dari warung.
Saat mereka melangkah keluar, suasana malam semakin terasa menyenangkan. Lampu-lampu kota berkilau di sekeliling mereka, menambah keindahan malam yang hangat itu. Lina merasa sedikit berdebar melihat Blokeng berjalan di sampingnya. Dia tidak tahu apa yang membuatnya merasa nyaman, tetapi ada sesuatu dalam diri Blokeng yang membuatnya tertarik.
“Blokeng, terima kasih sudah mentraktir. Meski ada kejadian konyol tadi, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu,” ucap Lina tulus.
“Ah, itu bukan masalah. Senang bisa mengenalmu. Tapi lain kali, aku janji akan lebih hati-hati bawa dompet!” jawab Blokeng, kemudian mereka berdua tertawa.
Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju alun-alun. Saat tiba, Lina melihat suasana sekitar yang ramai dengan orang-orang yang sedang bercengkrama, anak-anak bermain, dan beberapa pedagang yang menjajakan makanan ringan.
“Aku penasaran, di sini biasanya ada acara apa ya?” tanya Lina, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang masih tersisa.
“Kadang-kadang ada pertunjukan musik atau acara lokal. Tapi malam ini tampaknya sepi,” jawab Blokeng. “Mau kemana lagi? Masih ada waktu sebelum pulang.”
Lina berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita cari tempat duduk yang nyaman dan ngobrol lebih lama?”
“Setuju! Ayo!” Blokeng bersemangat. Mereka pun mencari tempat di pinggir alun-alun, menemukan bangku kayu yang nyaman untuk duduk.
Saat duduk, mereka melanjutkan obrolan tentang kehidupan masing-masing, bercanda dan berbagi cerita lucu. Waktu berlalu begitu cepat, dan keduanya merasa semakin dekat.
Namun, Lina tidak bisa mengabaikan aroma yang menyengat dari Blokeng. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menyebutkan hal itu, tetapi ketika dia melihat Blokeng menyentuh hidungnya, dia tidak bisa menahan tawa.
“Eh, kamu tidak merasakannya? Sepertinya ada yang kurang dari mulutmu,” goda Lina sambil tertawa kecil.
Blokeng melongo, kemudian menyadari. “Astaga, jangan bilang aku masih bau jengkol! Maaf ya, Lina. Nggak ada waktu untuk sikat gigi,” jawabnya sambil tertawa lebar.
Lina tertawa terbahak-bahak, “Ya ampun, Blokeng! Kamu benar-benar bikin aku ketawa. Mungkin lain kali sebelum bertemu aku harus kasih kamu permen mint!”
Mereka terus tertawa, dan di tengah candaan itu, Lina merasa perasaan dalam hatinya semakin hangat. Meskipun pertemuan ini dimulai dengan kejadian yang bikin ilfil, kini semua terasa lebih menyenangkan.
Di antara senyuman dan tawa, mereka merasakan ada benang merah yang menghubungkan mereka. Keduanya tidak menyadari bahwa malam ini bisa jadi awal dari sebuah cerita yang lebih menarik di antara mereka.