Blokeng
Di pinggir pusat kota Banjarnegara, alun-alun yang ramai menjadi saksi kehidupan sehari-hari warga. Lina merasakan perutnya melilit, dan saat itu juga, dia menyadari bahwa dia kebelet pipis. Dia melihat sekeliling, mencari-cari papan petunjuk, tetapi tidak menemukan tanda WC terdekat. Dalam keadaan panik, dia melihat seorang cowok bertubuh besar berdiri di pinggir jalan. Blokeng, namanya. Dengan tatapan garang dan gaya berpakaian sok kaya, dia tampak seperti sosok yang bisa diandalkan—meski terlihat agak preman.
“Mas, WC mana ya?” tanya Lina, berusaha terdengar tenang meski rasa ingin pipisnya semakin mendesak.
Blokeng, yang sebelumnya tampak cuek, langsung mengalihkan perhatiannya. Dia mengernyitkan dahi, lalu menunjuk ke arah sebuah gedung tua di ujung alun-alun. “Di sana, ada WC umum, tapi harus antre,” ujarnya dengan nada datar.
“Makasi, Mas,” jawab Lina, berjalan cepat ke arah yang ditunjuk. Dalam hatinya, dia sedikit terkesan dengan ketulusan Blokeng yang tidak segan membantu, meski penampilannya terkesan garang.
Setelah beberapa menit, Lina akhirnya mencapai WC umum itu. Dengan lega, dia memasuki ruang sempit yang berbau tidak sedap. Dalam pikirannya, semua itu adalah hal sepele yang harus dilewati. Namun, saat dia mulai melepaskan rasa penasarannya, dia merasakan ada sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba, dia melihat bayangan bergerak di sudut matanya. Tanpa disadari, Blokeng telah memanjat atap gedung sebelah, dan dengan keterampilan akrobatiknya, dia mencoba mengintip ke dalam. Blokeng ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang baru ditemuinya. Namun, rencana itu berubah menjadi bencana ketika Lina menoleh dan melihat bayangan gelap di atas.
“Oi! Apa yang kamu lakukan?!” teriak Lina, suaranya melengking penuh kemarahan. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa ilfil yang tiba-tiba muncul.
Blokeng terkejut dan hampir terjatuh. “Aduh, maaf! Aku... aku cuma penasaran,” jawabnya, wajahnya memerah. Dia segera melompat turun dengan kecepatan tinggi, berusaha meredakan situasi.
“Penasaran? Lalu kamu mengintipku dari atap?!” Lina menggertak, kesal. Rasa ilfil semakin dalam ketika dia menyadari bahwa sosok yang dia tanya ternyata seorang pengintip.
Blokeng yang terlihat santai, sekarang gugup dan tidak tahu harus berkata apa. “Ya... maaf, aku tidak sengaja. Sumpah, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin tahu siapa yang bisa bikin cowok sepertiku... eh, maksudku, aku cuma penasaran saja,” jelasnya, berusaha tersenyum meskipun situasi semakin canggung.
Lina menggelengkan kepala, berusaha menahan tawa meski rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang. “Jadi, kamu sok kaya dan bertindak seolah-olah kamu keren, ya?” ujarnya sambil melirik pakaian Blokeng yang terlalu mencolok dan tidak sesuai dengan penampilannya yang sebenarnya.
“Eh, bukan sok kaya! Ini fashion, paham?!” jawab Blokeng, seolah ingin mempertahankan martabatnya. Namun, dia bisa merasakan bahwa usaha tersebut tidak cukup untuk menghapus kesan buruk yang telah dia buat.
“Ya sudah, aku pergi saja,” Lina berbalik, tetapi ada rasa penasaran yang mengganjal di hatinya. Meskipun Blokeng terlihat preman dan ilfil, ada sesuatu yang menarik perhatian Lina.
Blokeng memanggilnya, “Tunggu! Maaf, kalau mau, kita bisa makan bareng setelah ini. Aku akan bayar!” Dia berusaha memperbaiki kesalahan pertama mereka, meskipun dia tahu bahwa tidak ada jaminan Lina akan menerimanya.
Lina menoleh, mempertimbangkan tawaran itu. “Hmm, kamu mau mengundang gadis yang baru kamu intip untuk makan bareng? Berani sekali,” jawabnya, tersenyum sinis.
“Ya, anggap saja ini permintaan maafku,” Blokeng menjawab, berusaha terlihat meyakinkan.
Mendengar tawaran itu, Lina berpikir sejenak. Meski merasa ilfil, rasa penasaran dan ketertarikan pada sosok Blokeng yang berani itu muncul lagi. Dia akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi ingat, ini hanya permintaan maaf, bukan kencan.”
“Deal!” Blokeng menjawab dengan semangat, senyum lebar mengembang di wajahnya. Dalam hatinya, dia merasa sedikit lega, meskipun tahu bahwa langkah selanjutnya tidak akan mudah.
Dengan langkah yang masih sedikit canggung, Lina dan Blokeng berjalan menyusuri trotoar alun-alun. Suasana sore itu mulai terasa dingin seiring dengan datangnya malam. Lampu-lampu mulai menyala, menerangi jalanan dengan cahaya kuning lembut. Keduanya mencari tempat makan yang nyaman, sambil sesekali mencuri pandang satu sama lain.
“Jadi, kamu baru pindah ke sini?” tanya Blokeng, berusaha menciptakan suasana yang lebih santai.
“Ya, baru beberapa hari. Kebetulan ada pekerjaan di sini,” jawab Lina sambil tersenyum. “Kamu sendiri? Kerja di mana?”
“Ah, aku... ya, seperti yang kamu lihat,” Blokeng menjawab sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri, “Sok kaya dan berkarisma,” dia menambahkan dengan nada bercanda.
Lina menggeleng sambil tertawa. “Jangan bercanda. Sebenarnya kamu ada kerjaan lain?”
“Kerja? Ya, macam-macam lah. Terkadang membantu teman di toko, kadang juga ngelakuin pekerjaan sambilan. Eh, kamu sendiri? Kerja di mana?” Blokeng balas bertanya, dengan rasa penasaran yang semakin menggebu.
Lina mengambil napas, dan seolah merasa perlu jujur. “Aku sebenarnya Pemandu Lagu (PL) di sebuah tempat karaoke,” katanya dengan nada santai.
Blokeng terkejut. “Oh, jadi kamu PL? Keren! Berarti bisa nyanyi dong?” dia menanggapi, meskipun di dalam hatinya rasa ilfil itu kembali muncul. Dia tidak menyangka gadis secerah Lina bekerja di tempat yang sering diasosiasikan dengan kehidupan malam.
“Ya, sedikit-sedikit. Kadang sih jadi DJ juga, untuk nambah-nambahin pendapatan,” jawab Lina sambil tersenyum.
“Jadi, kamu menyanyi di karaokean? Menarik juga,” Blokeng mencoba meredakan rasa ilfilnya. “Berarti banyak cowok yang suka sama kamu dong?”
Lina tertawa. “Iya, banyak yang suka, tapi aku tidak tertarik. Mereka hanya datang untuk bersenang-senang. Lagipula, itu hanya pekerjaan, bukan cinta.”
Blokeng merasa sedikit aneh, mendengar Lina berbicara tentang pekerjaannya dengan begitu santai. “Eh, jadi kamu nggak ada pacar?”
“Enggak, aku lebih fokus sama kerjaan. Lagipula, cowok-cowok yang sering datang ke karaokean kebanyakan hanya mau cari kesenangan,” Lina menjelaskan, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Blokeng penasaran lebih jauh.
Saat mereka tiba di sebuah warung makan sederhana, Blokeng mengarahkan Lina untuk duduk. Dia merasa sedikit lebih nyaman. Mereka memesan makanan sambil bercerita lebih banyak tentang diri masing-masing.
“Jadi, kamu mau jadi PL selamanya?” tanya Blokeng, dengan sedikit rasa cemas.
“Enggak sih, aku pengen bisa punya usaha sendiri. Mungkin buka kafe atau tempat karaoke yang lebih bagus. Tapi ya, semua butuh waktu,” Lina menjawab dengan penuh semangat.
“Wow, impian yang bagus! Aku bisa bantu kamu, lho, kalau mau,” Blokeng menawarkan, meskipun dia tidak yakin apa yang bisa dia lakukan.
“Bantu? Dengan cara apa?” Lina penasaran.
“Ya, aku bisa jadi partner, atau promo di lingkungan sekitar. Kamu ajarin aku nyanyi, nanti kita bisa duet!” Blokeng menjawab dengan berani, berusaha mengubah suasana canggung menjadi lebih akrab.
Lina tertawa terbahak-bahak. “Kamu? Nyanyi? Baiklah, tapi kamu harus janji tidak akan sok kaya lagi saat nyanyi!”
“Tentu! Sumpah, aku akan nyanyi dengan tulus,” Blokeng berjanji, merasa senang karena bisa membuat Lina tertawa.
Semakin lama, keduanya mulai merasa lebih nyaman. Ketegangan dari pertemuan yang ilfil itu perlahan-lahan mulai menghilang, tergantikan dengan tawa dan cerita-cerita ringan. Meskipun Lina masih meragukan sifat Blokeng yang terkesan sok kaya, dia merasakan ada sisi lain dari dirinya yang menarik.
Namun, di benak Blokeng, rasa ingin tahu akan Lina semakin membara. Dia ingin mengetahui lebih dalam tentang gadis yang menarik perhatiannya meskipun dengan cara yang tidak biasa. Rasa ilfil yang awalnya menyelimuti kini berganti menjadi ketertarikan yang tak terduga.
Ketika mereka selesai makan dan berjalan kembali ke alun-alun, Blokeng merasa bahwa pertemuan ini bukan sekadar kebetulan. Mungkin, di balik semua kesan pertama yang aneh dan penuh ilfil, ada cerita menarik yang menunggu untuk dijalin di antara mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments