Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Kapan Punya Anak?
Sejak percekcokkan kemarin, Rudi menjadi sedikit berubah. Ia selalu pulang ke rumah. Meskipun lembur, paling lambat jam 10 ia sudah ada di rumah. Hal itu membuat perasaan Lina menjadi tenang.
Setiap akhir pekan, Rudi tak lagi sibuk dengan pekerjaan. Ia melakukan tugasnya menjadi suami yang baik membantu istrinya memasak dan membereskan rumah. Hubungan mereka bisa dikatakan membaik. Lina juga percaya jika suaminya kini akhirnya berubah.
"Sayang, sepertinya cuciannya sudah selesai. Tolong bantu dijemur, ya!" pinta Lina yang sedang sibuk dengan masakannya.
"Oke, Sayang!" sahut Rudi. Ia yang baru selesai menyapu langsung bergegas menuju ke tempat laundry untuk mengambil pakaian yang akan dijemur. Saat melewati Lina di dapur, ia menyempatkan diri untuk memberikan ciuman. Sikap romantisnya membuat Lina tampak berbunga-bunga.
Lina semakin bersemangat menyajikan masakannya di atas meja makan. Ia melakukannya sembari bersenandung riang.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja makan. Telepon dari ibunya.
"Halo, Ibu," sapa Lina. Ia menekan mode pengeras suara agar bisa mendengarkan telepon tanpa harus mendekatkan ke telinga.
"Halo, Lina. Kamu sedang apa?" tanya sang ibu dari seberang telepon.
"Aku baru selesai memasak untuk sarapan, Bu," jawab Lina.
"Suamimu mana?" tanya ibu.
Lina menoleh ke arah halaman samping. "Oh, Mas rudi masih menjemur pakaian," jawabnya.
"Oh, begitu. Suamimu baik sekali, perhatian, mau membantu istri. Tidak seperti ayahmu!" puji ibu.
Lina hanya senyum-senyum mendengar ucapan ibunya. Ia memang merasa beruntung bisa menikah dengan lelaki sebaik Rudi.
"Ibu juga mau berterima kasih, transferan dari kamu sudah ibu ambil untuk biaya sekolah adikmu dan juga biaya hidup sehari-hari," kata Ibu.
"Iya, sama-sama, Ibu." jawab Lina.
Lina sangat bahagia mendengar ibunya bisa menggunakan uang pemberiannya. Ia sadar keluarganya memang hanya keluarga yang sangat sederhana. Jika bukan karena Rudi, mungkin sampai saat ini mereka akan kesulitan keuangan.
Rudi tak pernah membatasi transferan yang akan ia berikan kepada keluarganya. Namun, sebagai wanita yang tahu diri, ia menyisihkan sebagian gaji suaminya untuk diberikan kepada ibunya dan ibu mertuanya secara adil. Masing-masing ia berikan rutin 10 juta.
Orang tua Rudi juga sangat baik terhadap Lina. Bahkan mereka tak mengharapkan transferan darinya karena merasa penghasilan dari bisnis konveksi yang dimiliki sudah cukup untuk hidup sehari-hari. Namun, Lina tetap memberikan jatah bulanan kepada keluarga Rudi.
"Ibu doakan kalian selalu sehat dan tambah sukses. Juga bisa segera punya anak," ucap Ibu.
Lina tersenyum getir saat ibunya menyinggung soal anak. "Iya, ibu. Doakan saja yang terbaik untuk kami," jawabnya.
Lina juga merasa heran kenapa dia belum juga hamil. Padahal kebanyakan wanita setelah menikah bisa langsung hamil.
"Jadi, apa sudah ada tanda-tanda kehamilan? Kalian kan sudah satu bulan pindah ke sana," kata Ibu. Ia ingin tahu kondisi anaknya.
"Ah, belum, Bu. Doakan saja," jawab Lina lagi. Ia seakan bingung untuk memberikan jawaban lain.
"Coba kamu konsultasi ke dokter di sana. Ibu khawatir ada masalah denganmu. Bagaimana kalau kamu tidak bisa punya anak?"
Ibu memang selalu begitu, mengkhawatirkan kondisi Lina.
"Jangan bicara seperti itu, Bu. Doakan saja yabg terbaik," pinta Lina.
"Itu sudah pasti, Lina. Ibu selalu mendoakanmu. Tapi, kamu juga harus ada usaha. Semakin cepat tahu penyebabnya, semakin cepat bisa diatasi. Jangan sampai ke depannya jadi masalah. Mungkin sekarang suami dan mertuamu tidak mempermasalahkan. Namun, orang itu bisa berubah, Lina. Berusahalah untuk bisa memiliki anak supaya kamu dianggap sebagai wanita sejati."
Lina menghela napas. Ucapan ibunya justru semakin membebani dirinya. Ia heran kenapa di dunia ini kesuksesan seorang wanita hanya dinilai dari dua hal: menikah dan melahirkan anak. Seolah wanita yang belum menikah adalah sebuah aib besar. Apalagi dirinya menikah hampir di usia akhir 20an. Sementara, teman-temannya menikah di awal 20an.
Setelah menikah, jangan berharap bisa hidup tenang kalau belum bisa melahirkan anak. Wanita yang menikah tapi belum memiliki anak sepertinya dianggap wanita jadi-jadian, bukan wanita seutuhnya. Semua penilaian orang bahkan menambah penderitaan bagi seorang wanita.
"Iya, ibu. Nanti aku akan coba periksa," ucap Lina. Ia merasa lebih baik menurut supaya tidak lebih panjang perdebatan dengan ibunya. Tak ada gunanya ia membantah, orang tuanya hanya akan berhenti jika dia sudah hamil.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu tutup dulu teleponnya. Kamu jaga kesehatan baik-baik," pesan ibu.
"Iya, Ibu juga jaga kesehatan di sana."
Lina mematikan sambungan telepon setelah percakapannya selesai. Ia langsung lemas mengingat tanggung jawabnya untuk bisa melahirkan anak.
"Telepon dari siapa?" tanya Rudi yang baru selesai menjemur pakaian.
"Oh, tadi ibu telepon," jawab Lina.
"Ibu telepon? Ada apa?" tanya Rudi penasaran seraya menarik kursi dan duduk di hadapan Lina.
"Tidak ada apa-apa, Mas. Ibu hanya menyampaikan terima kasih karena transferannya sudah sampai," jawab Lina.
Ia tidak mungkin menyampaikan apa yang sebenarnya dibicarakan dengan ibunya. Ia takut hal itu akan membebani Rudi.
Lina mengambilkan nasi dan lauk untuk suaminya. Setelah itu, mereka sarapan bersama.