Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 3
Jarak rumah Cia dari sekolahan memang tidak jauh, makanya Sahira, ibunya Cia tidak pernah menjemput anak itu ataupun mengantarkannya. Anak itu benar-benar dididik untuk mandiri sejak dini.
Sahira selalu berkata kepada putrinya jika hidup itu sangatlah kejam, jangan cengeng. Karena anak cengeng hanya akan dapat kesedihan dalam hidupnya.
Setiap pagi Sahira akan jualan nasi uduk di depan kontrakan kumuhnya, hanya jualan sedikit karena modalnya tak ada. Selesai jualan nasi uduk., dia akan langsung membuat kue untuk dijual keliling.
"Maaf ya, Nak. Ibu tak bisa mengantarkan atau menjemput kamu sekolah, ibu harus menjemput rezeki."
Selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut Sahira, Cia yang memang sudah paham tak pernah banyak bicara. Sahira yakin jika ibunya sangat mencintainya, Sahira mencari uang untuk menghidupi dirinya.
"Kenapa Cia belum pulang?"
Sudah hampir satu jam Cia tak sampai di rumah, padahal anak itu selalu tiba sepuluh menit setelah waktu pulang sekolah selesai.
"Duh! Apa Cia sakit dan masih dia sekolah ya?"
Sahira terlihat begitu khawatir sekali, wanita itu baru saja selesai membuat kue. Dia tak menata kue itu di atas wadah, tetapi dia malah merapikan penampilannya dan bersiap untuk pergi.
Dia ingin pergi ke sekolahan putrinya, tetapi saat dia baru membuka pintu kontraknya, Sahira dikagetkan dengan kedatangan dari Hanzel dan juga Cia.
"Cia? Kenapa pulang telat? Kenapa pulangnya dianterin orang lain? Apa kamu sakit?"
Hanzel baru saja menurunkan Cia dari motornya, pria itu lalu ikut turun dan menggendong Cia. Dia menghampiri Sahira yang kini menatap putrinya dengan wajah cemasnya.
"Maaf karena aku tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Mbak, tadi kaki Cia terluka. Sepatunya bolong, jadi aku belikan sepatu baru."
Sahira menolehkan wajahnya ke arah Hanzel, tentu saja dia masih ingat dengan wajah pria itu. Wajah pria yang sudah memberikan dirinya uang untuk membayar sekolah bulanan Cia.
"Kamu bukannya kemarin yang kasih duit buat Cia sekolah ya? Kenapa bisa ketemu Cia?"
"Anu, Mbak. Tadi saya lagi nganter kue, terus ketemu Cia. Jadinya sekalian bawa dia ke toko sepatu, sama beli beberapa baju."
Sahira kembali diam sambil menatap penampilan Hanzel yang nampak biasa saja, tak lama kemudian dia menatap motor milik anak buah ibunya Hanzel.
"Ya ampun! Kerjaan kamu pengirim kue?"
"Aku, aku---"
Belum sempat Hanzel menyelesaikan ucapannya, Sahira sudah terlebih dahulu memangkas ucapan dari pria itu. Hal itu dia lakukan karena dia mengira kalau Hanzel merupakan pria biasa yang begitu bekerja keras.
Pria itu dikira hanya pelayan toko yang selalu mengantarkan kue ke pelanggan, penghasilannya pasti tidak seberapa. Kalau dipakai untuk membelikan baju dan juga sepatu putrinya, pasti uang gaji pria itu langsung habis dalam sehari.
"Duit gaji kamu pasti abis buat beli sepatu dan baju Cia, maaf. Aku akan berusaha untuk menggantinya," ujar Sahira tak enak hati.
"Tak apa, Mbak. Santai, aku masih ada uang."
"Kamu itu terlalu mementingkan orang lain, nanti bagaimana kamu makan dalam setiap harinya kalau duitnya dipake keperluan Cia?"
"Santai, Mbak. Aku masih ada duit, oiya. Aku juga beli beberapa baju buat Mbak, dipake ya."
Hanzel memberikan plastik berisikan baju untuk Sahira, wanita itu semakin tak enak hati. Baru kali ini ada orang yang tak mengenalinya tetapi begitu baik kepadanya.
"Aku tak bisa menerima ini," ujar lesu.
"Terima aja, Mbak. Aku ikhlas, jangan nolak rezeki."
"Tapi, aku---"
"Bu, Cia yang pilih bajunya. Pasti ibu cantik pake baju itu, jangan khawatir. Nanti kalau Cia udah gede, uang bajunya Cia ganti. Cia mau kerja keras, biar bisa kasih ibu banyak uang."
Sahira langsung menangis mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya, sedih sekali berada di titik rendah seperti itu. Padahal, dulu dia terlahir dari keluarga kaya. dia hidup dalam bergelimang harta.
Namun, karena diceraikan oleh suaminya di malam pertamanya Sahira langsung diusir oleh keluarganya sendiri. Dia tidak dipercaya oleh keluarganya dan keluarga dari pihak suaminya.
Sahira saat itu benar-benar dianggap hina karena di malam pertamanya Sahira dinyatakan hamil, setelah capek mengadakan resepsi pernikahan, wanita itu pingsan.
Saat diperiksa ke dokter, ternyata wanita itu hamil. Suaminya langsung menceraikannya di malam pertamanya, pria itu beralasan tidak mau memiliki istri yang sudah tidak suci lagi.
Padahal, 1 bulan yang sebelum mereka menikah, saat mereka melaksanakan pra wedding dia dan juga kekasih tercintanya melakukan hubungan enak itu sebelum mereka menikah. Keduanya melakukannya dengan penuh semangat.
Sahira memberikan kesuciannya kepada pria itu sebelum mereka menikah, dia rela melakukannya karena begitu mencintai pria itu.
"Mas, padahal kita nikahnya bentar lagi loh. Seharusnya kita tidak melakukannya," ujar Sahira setelah mereka melakukan olah raga enak itu.
"Santai saja, Sayang. Toh kita akan menikah, aku pasti akan bertanggung jawab."
Itulah kata-kata pria yang dianggap sebagai lelaki sejati oleh Sahira, tetapi nyatanya pria itu adalah pria yang begitu menyakiti dirinya. Setelah peristiwa itu, dia keluar dari keluarganya.
Dia hidup dalam kehinaan, maka dari itu dia sengaja hidup di tempat yang kumuh. Selain karena tidak memiliki uang untuk menyewa tempat yang lebih baik, dia juga tak ingin berhubungan dengan keluarganya yang memang orang terpandang itu.
Pernah satu kali dia datang untuk minta dikasihani ke kediaman orang tuanya, tetapi dia malah diusir dan dihina-hina.
Sahira juga sempat mencari tahu kenapa suaminya dengan teganya menceraikan dirinya di malam pertamanya, bahkan dengan teganya pria itu mengatakan kalau wanita itu adalah wanita murahan. Wanita yang dengan tak segan menjajakan tubuhnya kepada pria lain.
Setelah beberapa waktu, ternyata Sahira paham kalau perusahaan pria itu sedang ada di bawah. Pria itu sengaja menceraikannya dan menikahi wanita kaya, agar perusahaannya terselamatkan.
Sahira sadar kalau ayahnya bukanlah pria yang gampang diporotin uangnya, makanya pria yang dia cintai itu dengan teganya menuduh dia yang macam-macam dan memilih wanita lain untuk dijadikan istri sekaligus penyelamat perusahaannya.
"Baiklah, bajunya aku terima. Tapi lain kali jangan membelikan aku dan Cia baju lagi, aku tak enak hati."
"Oke, kalau begitu aku pamit," ujar Hanzel yang merasa tak perlu berlama-lama lagi di sana.
"Oke! Makasih, Om baik!"
"Sama-sama, Sayang." Hanzel mengusap puncak kepala anak itu dengan penuh perhatian.
Terlihat sekali jika dia begitu senang, Sahira jadi semakin sedih karena anak itu tidak pernah sekalipun merasakan kasih sayang dari ayahnya. Sahira tempat memperhatikan logo kotak kue yang ada di belakang motor pria itu, Sahira tahu jika logo kue itu sudah terkenal di pusat kota.
Toko kue Callista, toko kue milik Najma. Nenek dari Hanzel, tokoh itu dulu dikelola oleh Najma. Sekarang dikembangkan oleh Khadijah, putri keduanya.
"Maafkan, Ibu ya, Nak. Karena ayah kamu tak pernah datang untuk memberikan kasih sayang untuk kita," ujar Sahira setelah Hanzel pergi.
"Bu, aku udah gede. Sekarang tolong bilang, apakah ayah ninggalin kita karena kita miskin atau bagaimana?"
Sahira tak ingin mengajarkan kebencian kepada anak itu, dia tersenyum penuh kasih lalu mengusap kedua pipit putrinya dengan begitu lembut.
"Ayah kamu menjadi pekerja di luar negeri, Sayang. Mungkin dia belum dapat uang banyak untuk membahagiakan kita, jadi belum pulang."
"Hem! Padahal kerja di sini juga bisa, kalau kerja di luar negeri terus, pasti susah dapet uang untuk ongkos pulangnya," ujar Cia dengan pemikirannya yang masih anak-anak.
Sahira tak menimpali ucapan anaknya, dia sungguh merasa sedih dan sampai menangis. Dia bahkan dengan cepat memeluk putrinya yang terlihat sekali ingin mendapatkan kasih sayang seorang ayah.