Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan balas dendam
Walau belum resmi membalas perasaan San, Nanda perlahan menunjukkan bahwa dirinya tertarik pada pria itu. Perhatiannya terlihat dari hal-hal kecil yang ia lakukan. Seperti saat San sakit, ia datang membawa makanan dan obat-obatan, memastikan San mendapatkan perawatan yang layak.
Setiap kali San mengajak bicara atau bercanda, senyuman Nanda selalu hadir, meski terkadang disertai rasa malu yang tak bisa ia sembunyikan. Pandangannya sering kali tertuju pada San saat pria itu sibuk bekerja atau sekadar duduk membaca. Ada rasa nyaman yang tumbuh di dalam hatinya, meskipun ia belum berani mengakuinya.
San pun menyadari perubahan itu. Ia merasakan kehangatan yang perlahan-lahan mengisi hubungannya dengan Nanda. Tidak ada tuntutan atau paksaan, hanya perhatian tulus yang membuatnya semakin yakin untuk tetap berada di sisi Nanda, mendukung dan melindunginya tanpa syarat.
Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di teras rumah, San memberanikan diri untuk menggenggam tangan Nanda dengan lembut. "Aku senang kamu di sini," ucapnya lirih namun penuh makna.
Nanda hanya tersenyum kecil, tidak melepaskan genggaman itu. Meski tak ada kata-kata cinta yang terucap, keheningan yang tercipta justru penuh arti. Dalam diam, hati mereka perlahan saling merajut, membangun sebuah cerita baru yang tak lagi dibayang-bayangi oleh luka masa lalu.
Di luar area rumah San, sebuah mobil sedan hitam terparkir di sisi jalan yang agak tersembunyi di balik pepohonan. Lampu mobil itu dimatikan, membuatnya sulit terlihat dalam gelap malam. Dari dalam mobil, sepasang mata tajam mengamati Nanda dan San yang tengah berbincang di teras rumah.
Asap rokok tipis mengepul dari tangan seseorang di kursi pengemudi. Ia menyandarkan tubuhnya dengan santai, tapi sorot matanya menunjukkan sebaliknya — penuh kewaspadaan dan rencana yang tersimpan rapat. Setiap gerakan kecil Nanda dan San tak luput dari pengamatannya.
"Jadi ini tempatnya," gumamnya lirih, suaranya berat dan dingin. "Sepertinya kamu terlalu cepat melupakan masa lalu, Nanda."
Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan mengetik pesan singkat: "Sudah kutemukan mereka. Tunggu instruksi selanjutnya." Pesan terkirim, lalu ia kembali memperhatikan keduanya dengan senyum tipis penuh arti.
Sementara itu, di teras rumah, Nanda dan San tak menyadari bahwa mereka sedang diawasi. Percakapan hangat mereka terus berlanjut, sementara bahaya perlahan merayap, menunggu waktu yang tepat untuk muncul dari balik kegelapan.
San akhirnya mengantarkan Nanda pulang, namun di tengah jalan mobilnya di hadang, beberapa orang yang mengenakan sepeda motor melempar kaca mobil dengan batu, tidak terima San mencoba membela diri. Sedangkan pria mengenakan topeng lainnya menarik Nanda keluar dari mobil.
San tersentak ketika melihat salah satu pria bertopeng menyeret Nanda keluar dari mobilnya. "Nanda!" teriaknya panik, berusaha melepaskan diri dari pria-pria yang mengepungnya.
Nanda meronta sekuat tenaga, tetapi genggaman pria itu terlalu kuat. "Lepaskan aku!" teriaknya sambil mencoba menendang kakinya. Tubuhnya digiring dengan kasar menuju sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana.
San mengayunkan tinjunya ke wajah salah satu pria yang mencoba menahannya, membuat lawannya jatuh tersungkur. Dengan nafas terengah-engah, ia berlari ke arah Nanda, namun sebuah pukulan keras mendarat di punggungnya, membuatnya terhuyung ke depan.
"Ayo cepat! Bawa dia masuk!" perintah salah satu pria dengan suara serak, membuka pintu mobil hitam itu.
Melihat situasi semakin genting, San kembali bangkit meski tubuhnya penuh luka. Matanya memancarkan tekad yang kuat. “Kalian tidak akan bisa membawanya pergi!” desisnya dengan nada tajam.
Dengan gerakan penuh keberanian, ia menerjang pria yang memegang Nanda, berhasil memisahkan mereka untuk sesaat. "Lari, Nanda!" teriak San dengan putus asa, berharap Nanda bisa meloloskan diri sebelum mereka berdua terperangkap dalam bahaya yang lebih besar.
Nanda berlari sekuat tenaga di tengah gelapnya malam, napasnya tersengal dan tubuhnya gemetar. Jalanan sepi, hanya terdengar suara langkahnya yang berpacu dengan detak jantungnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan para pengejarnya tidak memburunya.
Di sisi lain, San berusaha mati-matian melawan orang-orang bayaran yang terus menyerangnya tanpa henti. Pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya, namun ia tetap berdiri tegak, matanya penuh amarah dan tekad untuk melindungi Nanda. “Kalian tidak akan menyentuhnya!” bentaknya sambil meninju wajah salah satu pria yang mendekat.
Nanda akhirnya melihat sebuah rumah dengan lampu teras menyala. Dengan harapan yang tersisa, ia berlari ke pintu dan mengetuknya dengan keras. "Tolong! Tolong saya!" suaranya bergetar di antara isakan dan napas yang memburu.
Pintu terbuka perlahan, seorang pria paruh baya muncul dengan wajah terkejut. "Apa yang terjadi, Nak?" tanyanya cemas.
“Saya... saya diserang... tolong hubungi polisi!” pinta Nanda dengan suara memohon. Pria itu segera mengangguk dan bergegas mengambil ponselnya.
Sementara itu, San sudah terpojok, tubuhnya lebam dan darah mengalir dari sudut bibirnya. Tapi ia masih berdiri, siap menerima serangan berikutnya, hingga suara sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan, membuat para penyerangnya saling pandang dan melarikan diri dalam sekejap.
San terhuyung, matanya mencari-cari Nanda dengan putus asa. "Nanda..." gumamnya sebelum tubuhnya ambruk ke tanah, kehilangan kesadaran.
***
Di rumah sakit, Nanda duduk di ruang tunggu dengan wajah penuh kecemasan. Matanya sembab akibat tangis yang tak henti-hentinya sejak San dibawa masuk ke ruang gawat darurat. Bayangan San yang tergeletak tak berdaya dengan tubuh penuh luka terus terlintas di pikirannya.
Seorang perawat keluar dari ruang operasi, membuat Nanda segera berdiri dengan harapan mendengar kabar baik. "Bagaimana keadaannya, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Operasi berjalan lancar. Tuan San mengalami beberapa luka dalam akibat pukulan benda tumpul, tapi kondisinya mulai stabil. Dia butuh istirahat total," jawab perawat dengan nada menenangkan.
Nanda menghela napas lega, meski air mata masih mengalir. “Boleh saya menemuinya?”
“Silakan, tapi jangan terlalu lama,” pesan perawat sebelum meninggalkannya.
Dengan langkah berat namun penuh kerinduan, Nanda memasuki kamar rawat San. Ia melihat pria itu terbaring lemah, wajahnya penuh memar, dan lengan kirinya diperban. Hatinya mencelos melihat penderitaan yang dialami San demi melindunginya.
Dengan lembut, Nanda duduk di samping tempat tidur San dan menggenggam tangannya. “Kamu bodoh... Kenapa harus melindungiku seperti ini?” bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika terjadi sesuatu padamu..."
Seolah mendengar suara familiar itu, jari San bergerak pelan. Matanya perlahan terbuka, meski masih tampak lemah. “Nan… kamu… baik-baik saja?” lirih San, suaranya parau.
Nanda mengangguk sambil menangis, menempelkan tangannya di pipi San dengan penuh kasih. "Kamu yang harusnya aku khawatirkan... Jangan tinggalkan aku lagi, San..."
San mencoba tersenyum meski rasa sakit masih menguasai tubuhnya. "Aku... tidak akan pernah... meninggalkanmu," janjinya dengan suara lemah tapi penuh ketulusan.
***
Dimas menampar keras pria bertopeng itu hingga terhuyung ke belakang. Napasnya memburu penuh amarah. "Kalian pikir bisa main-main denganku?! Siapa yang menyuruh kalian?!" bentaknya dengan suara menggelegar.
Pria bertopeng itu hanya terdiam, menunduk dalam ketakutan. Beberapa pria lainnya yang sebelumnya melawan San kini juga tak berkutik di hadapan Dimas. Mereka tahu, berhadapan dengan Dimas bukanlah permainan yang bisa dimenangkan dengan mudah.
"Jawab aku, atau aku pastikan kalian tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup!" ancam Dimas sambil menarik kerah salah satu pria itu dengan kasar.
Pria itu akhirnya gemetar dan berkata, “Kami hanya disuruh… kami tidak tahu siapa dalangnya… ada seseorang yang memberi kami uang untuk menculik wanita itu…”
Mata Dimas menyipit penuh kemarahan. "Beraninya kalian menyentuh Nanda!" geramnya sebelum menampar pria itu ke tanah dengan kasar.