Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.
Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Debi Andriansah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
awal yang tak terduga
Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.
Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.
Namun, entah kenapa, setiap kali ia pulang ke desa, ada perasaan yang sulit dijelaskan, perasaan yang tumbuh sejak ia mulai mengenal Ovil beberapa tahun lalu. Ovil, teman lama yang dulu selalu bersamanya, kini sudah bersekolah di Muara Air Dua. Meskipun mereka masih berhubungan melalui pesan singkat dan obrolan lewat telepon, pertemuan mereka menjadi semakin jarang.
Pandangannya teralihkan saat melihat beberapa teman lama sedang bermain bola di lapangan dekat rumah. Mereka tertawa riang, bebas dari beban yang sering menghantui orang-orang kota. Debi tersenyum tipis, namun hatinya masih merasa kosong. Ia tak ingin ikut bergabung, meski begitu, ada satu tempat yang selalu membuatnya merasa ada yang hilang—rumah Ovil.
Tiba-tiba, suara seorang anak laki-laki memanggil namanya. “Debi!”
Debi menoleh dan melihat Redi, teman masa kecil yang kini selalu menemaninya setiap kali pulang kampung. Redi berlari mendekat dengan senyuman lebar, dan Debi merasa sedikit lega melihat wajah yang sudah dikenal.
“Pulang juga akhirnya, Debi?” Redi bertanya, masih dengan senyum lebar. “Kamu nggak tahu, Ovil udah lama nungguin kamu di sini. Dia sering lewat rumah kamu.”
Debi terkejut mendengar nama Ovil disebut. Perasaan aneh itu kembali muncul di dadanya, dan untuk sesaat, ia merasa bingung. “Ovil? Kenapa dia ada di sini? Apa yang dia cari?” tanya Debi, berusaha menunjukkan kesan santai meskipun hatinya mulai berdebar.
“Dia... dia sering banget lewat rumah kamu. Katanya, dia kangen sama kamu, mungkin ingin ngobrol,” jawab Redi, matanya berbinar. “Kamu nggak tau, ya? Dia suka banget nanyain kamu, sejak kamu di Sarolangun, dia merasa ada yang hilang.”
Debi merasa tenggorokannya tercekat. Sejak mereka berpisah, ia merasa hubungan mereka berdua sedikit berubah. Dulu, saat mereka masih sering berkomunikasi, ia merasa nyaman dan dekat dengan Ovil. Namun, setelah Ovil bersekolah di Muara Air Dua, hubungan mereka mulai terasa lebih jauh. Debi tidak tahu apakah Ovil merasakan hal yang sama atau tidak. Namun, ketika Redi mengatakan bahwa Ovil kangen, hatinya merasa sedikit lebih lega.
“Mungkin aku akan mampir ke rumahnya nanti,” kata Debi dengan suara pelan, mencoba menutupi kegugupannya. Meskipun sudah berbulan-bulan tidak bertemu, ia merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba muncul. Ada yang mengganjal di dalam hati, perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
Redi mengangguk. “Kalau begitu, jangan lama-lama ya. Ovil pasti menunggu.”
Debi melanjutkan langkahnya menuju rumah. Semakin dekat ia menuju rumah, semakin besar rasa cemas yang ia rasakan. Ia berusaha menenangkan diri, tapi perasaan itu seolah tidak bisa disembunyikan. Seiring dengan langkahnya, ia mulai memikirkan kembali bagaimana hubungan mereka berdua berawal. Ovil bukan hanya teman dekat, tetapi seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Mereka sering berbagi cerita, canda, dan tawa. Namun, seiring waktu, perasaan itu mulai berubah.
Saat sampai di depan rumah, Debi berhenti sejenak dan menatap rumah Ovil dari kejauhan. Pintu rumah itu terbuka, dan ia melihat Ovil sedang duduk di depan rumahnya, terlihat sibuk dengan ponsel di tangan. Debi menelan ludahnya. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, lalu berdiri beberapa meter di depannya. Tak lama, Ovil mengangkat kepalanya dan melihat Debi.
"Debi," Ovil menyapanya dengan senyum yang hangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”
Debi tersenyum canggung. "Iya, akhirnya bisa pulang. Lama nggak ketemu."
Ovil bangkit dari tempat duduknya dan mendekat. "Aku... aku kangen kamu, Debi," katanya, suara Ovil terdengar sedikit ragu namun penuh kejujuran.
Debi terkejut mendengar kata-kata itu. Rasa hangat memenuhi dada Debi. “Aku... aku juga kangen,” jawab Debi pelan, hatinya berdebar kencang. Tidak tahu harus berkata apa lagi, ia hanya diam sejenak, menatap Ovil yang kini berdiri di hadapannya.
Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang aneh, masing-masing seperti menyimpan perasaan yang belum terungkapkan. Dan di sinilah, sebuah awal yang tak terduga dimulai—perasaan yang selama ini disembunyikan, mulai muncul kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
---