Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Mbok," teriakku lebih kencang.
"Ya, Non," sahut Mbok Wati dari dapur.
Bergegas aku berjalan ke dapur. Terlihat Mbok Wati sedang memasak sesuatu.
"Dari tadi dipanggilin kok diem aja," omelku.
"Maaf, Non. Mbok gak denger."
"Oh ya udah. Lagi masak apa nih, Mbok?" tanyaku.
"Ayam Suwir sama Sayur Kol," balasnya sambil mengaduk-aduk masakannya.
"Bapak ke luar kota, Non," lanjutnya.
"Iya, Mbok. Novita juga udah tau."
"Berapa lama bapak pergi, Non?"
"Katanya sih paling cepet tiga hari."
"Mbok, tadi apa yang jatoh?" tanyaku
"Jatoh? Gak ada yang jatoh, Non," balas Mbok Wati sambil memindahkan Sayur Kol ke dalam mangkuk besar.
Padahal aku sangat yakin sekali suara itu arahnya dari sini. Lantas dari mana sumber suara itu? Ah ... sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Yang penting sekarang aku lapar.
"Yuk, Mbok! Kita makan di ruang tengah aja," ucapku sembari membawa mangkuk besar berisi Ayam Suwir ke ruang tengah.
Kunyalakan televisi dengan volume agak kencang. Sambil menunggu Mbok Wati datang membawakan Sayur Kol dan dua piring nasi. Kami pun duduk di lantai dan mulai makan.
"Mbok, abis makan siap-siap ya," ucapku berhenti makan sejenak.
"Siap-siap ke mana, Non?"
"Pergi ke rumah sakit, jenguk bunda. Terus nginep di sana," jelasku.
"Loh? Nanti yang jaga rumah siapa?"
"Gak usah dijagain, Mbok. Kan ada si ...." Aku hampir saja menyebutkan si Perempuan Rambut Panjang itu.
"Si? Siapa, Non?"
"Udah ah, Mbok jangan mancing-mancing. Pokoknya malem ini Novita males tidur di rumah."
"Iya, Non. Nanti Mbok temenin ke rumah sakit."
Aku pun lanjut makan. Begitu pula Mbok Wati. Setelah selesai, Mbok Wati langsung membereskannya. Sementara aku, kembali ke kamar.
*
Aku berdiri di depan pintu kamar. Ada perasaan ragu saat akan membukanya.
"Semoga saja makhluk mengerikan itu tidak ada di dalam," doaku seraya membuka pintu perlahan.
Aman. Cepat-cepat kuambil beberapa helai baju, untuk dibawa ke rumah sakit. Aku tidak bilang pada Mbok Wati, kalau akan menginap di rumah sakit sampai ayah pulang.
Setelah memasukan pakaian ke dalam tas. Aku langsung bergegas mandi. Kali ini tidak bisa berlama-lama. Khawatir si Wanita Berambut Panjang muncul lagi.
Dengan langkah terburu-buru, aku ke luar kamar mandi. Mengecek barang bawaan dan pergi ke ruang tengah. Ternyata Mbok Wati masih belum ada di sana.
"Mbok," panggilku sembari berjalan ke arah kamarnya. Tidak ada balasan.
"Mbok," panggilku lagi. Masih tidak ada balasan.
Kini aku tepat berada di depan pintu kamarnya. Pintunya tertutup. Apa Mbok Wati masih ada di dalam?
Tok!Tok!Tok!
Kuketuk pintu. Saat tangan meraih gagang pintu, tiba-tiba ....
"Non?" Mbok Wati muncul di belakangku.
"Ih, Mbok! Kemana aja," balasku kesal sekaligus kaget.
"Abis cek semua ruangan sama jendela, Non. Udah kekunci apa belum."
"Ooo, ayo berangkat sekarang! Nanti keburu malem. Novita tunggu di ruang tengah." Aku membalikan badan, kembali ke ruang tengah.
Baru berjalan beberapa langkah, aku ingat akan sesuatu. Kuhentikan langkah, menoleh ke Mbok Wati yang mau masuk kamarnya.
"Eh, Mbok. Novita lupa bilang, kalau nginep di rumah sakitnya tiga hari. Bawa bajunya jangan satu ya," ucapku.
"Iya, Non."
*
Tidak terlalu lama aku menunggu di ruang tengah. Mbok Wati sudah menghampiriku, membawa tas jinjing berukuran sedang.
"Yuk!" Aku melangkah menuju pintu depan. Belum sempat kuraih gagang pintu depan.
Bruk!
Terdengar suara benda jatuh yang cukup kencang.
"Apa itu, Non?" Mbok Wati membalikan badan.
"Eh ... mau ke mana, Mbok?" tanyaku saat melihat Mbok Wati mau mengecek sumber suara tersebut.
"Udah, Mbok. Cuekin aja." Kutarik bagian belakang baju Mbok Wati.
Bruk!
"Tuh, ada lagi," ucap Mbok Wati.
Saat itu kami kompak mengarahkan pandangan ke arah koridor menuju kamar leon dan Kevin.
"Ayo, Mbok!" Mbok Wati menurut. Kami pun ke luar rumah.
Ah sial, saking terburu-burunya, aku lupa memesan taksi. Kupesan taksi, lalu menunggu di luar pagar rumah. Aku tidak mau menunggu di teras. Suara benda terjatuh itu masih terus terdengar, bahkan setelah kukunci pintu depan.
Tak lama, taksi datang dan membawa kami ke rumah sakit.
"Tadi bukan maling kan, Non?" tanya Mbok Wati.
"Bukan."
"Terus apa? Kan ...."
"Jangan dibahas, Mbok!" selaku.
"Iya, Non."
Mobil melaju cukup cepat. Melewati jembatan tempat leon kecelakaan.
"Di sini, Den leon kecelakaan," ucap Mbok Wati.
"Ya, aku tau," balasku seraya menatap ke luar jendela. Aku bisa melihat dengan jelas, besi pembatas jembatan yang bengkok di beberapa bagian. Mungkin di sanalah mobil leon kecelakaan.
Sekitar 20 menit kemudian, kami pun sampai di rumah sakit. Kedatangan kami, sempat membuat suster heran. Karena membawa dua tas yang cukup besar.
Setelah meminta izin ke dokter yang menjaga bunda. Kami pun diperbolehkan menginap di ruang perawatan bunda selama beberapa hari. Setidaknya untuk sekarang ini, rumah sakit jauh lebih aman dibandingkan rumah.
*
Selama dua hari menginap di rumah sakit, aku lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Saat malam hari, sama sekali tidak berani ke luar kamar. Aku sangat takut ketika harus melewati koridor dan selasar yang cukup gelap.
Di rumah sakit, aku bisa tidur lebih pulas, walaupun hanya tidur di sofa. Sedangkan Mbok Wati memilih tidur di lantai, dengan beralaskan kain yang tebal.
"Non, besok Bapak pulang?" tanya Mbok Wati.
"Iya."
"Besok pagi, Mbok pulang ke rumah ya. Mau beres-beres."
"Oke, Mbok bisa pulang sendiri?"
"Bisa."
"Ada uangnya?"
"Ada."
"Ini aku tambahin." Aku mengambil dua lembar uang 50 000 rupiah dari dompet.
"Banyak banget."
"Takutnya Mbok mau belanja juga."
Menjelang malam, aku dan Mbok Wati pergi ke luar rumah sakit. Membeli makanan untuk makan malam. Setelah itu kembali ke kamar.
"Dua minggu lagi, Novita mau balik ke Jerman. Tapi bunda masih belum bangun," ucapku sambil menyantap makanan.
"Doain aja terus, Non. Semoga bunda cepat sadar sebelum Non Novita pulang."
"Iya, Mbok. Setiap sebelum tidur selalu berdoa. Semoga pas Novita bangun, bunda udah nyambut sambil tersenyum."
"Amin."
Malam semakin larut, mata pun sudah mulai berat. Aku mulai membaringkan tubuhku di sofa. Tidur.
*
Mimpi aneh kembali muncul. Kini aku berdiri di tengah jalan. Sebuah jalan yang sepertinya aku kenal. Ya, ini jalan dekat rumahku.
Dari kejauhan kulihat seseorang berdiri di tengah jalan, menghadap ke arahku. Aku berjalan mendekat. Sementara itu, dia masih berdiri mematung.
Kuhentikan langkah, saat menyadari kalau seseorang di depanku itu adalah si Wanita Berkebaya Hitam alias Wanita Ular. Dia tersenyum lebar, seperti menyambut kedatanganku. Lalu, berjalan masuk ke dalam rumah. Rumahku!
Mataku terus teruju pada pergerakannya. Wanita itu berhenti di depan pintu rumahku. Kemudian ... seseorang membukakan pintu. Mbok Wati.
Huh!
Aku terbangun dari mimpi buruk itu. Kemudian mencari keberadaan Mbok Wati, tapi tidak ada. Sepertinya dia sudah pulang ke rumah.
Bergegas aku ke kamar mandi, mencuci muka. Lalu, pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, aku terus teringat dengan mimpi itu. Apa maksudnya? Apa Wanita Ular itu mengincar Mbok Wati?
Sesampainya di depan rumah, aku langsung berlari ke pintu depan.
Krek!
Pintu tidak terkunci. Aku pun masuk ke dalam.
"Mbok," panggilku sambil berjalan ke ruang tengah.
Tercium wewangian.
"Mbok!"
Aku berjalan ke kamar Mbok Wati. Semakin dekat, wewangian itu semakin menyengat.
"Non Novita." Mbok Wati terkejut melihat kehadiranku.
"Itu apa, Mbok?" tanyaku bingung, ketika melihat Mbok Wati membawa wadah kecil dari tanah liat. Di dalamnya ada arang yang masih menyala dan mengeluarkan asap yang sangat wangi.