Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lanjutan cerita dari Rea 2
"Tidak usah takut. Aku sudah tak ada hati lagi padanya."
Kalimat itu sekaligus menegaskan kepadaku. Bahwa akulah lelakinya saat ini. Akulah yang dia cintai.
"Beberapa mantan kekasih akan kembali mencarimu saat dia tersakiti, atau saat dia tak menemukan orang yang rela dia sakiti. Rea menatap mataku. "Aku tidak ingin lagi disakitinya. Aku ingin denganmu."
Hari itu, tanpa pernah menyatakan perasaan. Tanpa pernah mengikrarkan kami sebagai sepasang kekasih. Kami sudah menjadi sepasang kekasih.
Aku senang, Rea juga bisa dekat dengan ibu. Dan, beruntunglah ibuku juga menyukai Rea.
"Kalian mirip," ucap ibuku.
"Kalau mirip, berarti kami memang jodoh, Bu. Rea tersenyum menggoda, lalu memeluk ibuku.
Sejak beberapa bulan belakangan, Rea memang sering datang ke rumah. Bertemu dengan ibuku. Kadang dia membantu ibu memasak. Tak jarang mereka malah masak makanan berdua. Ah, dia memang perempuan yang pintar mengambil hati ibuku.
Tuhan memang baik kepadaku. Bertemu dengan Rea malam itu. Dan, seperti disengaja, Ia membuat Rea patah hati. Meski kisah ayah kami berbeda. Justru itu yang membuat kami menjadi semakin dekat. Perbedaan kadang memang adalah salah satu penyatu yang paling kuat.
Malam ini, aku berbicara kepada ibu sebagai anak lelaki dewasa. Ibu menatapku dengan senyuman yang berbeda. Bukan senyum senang saat melihat aku bahagia mendapatkan hadiah yang aku suka. Itu adalah senyuman seorang ibu melihat anak lelakinya yang sudah tumbuh dewasa.
"Bu, aku ingin meminang Rea. Pinangkanlah dia untukku."
Ibuku memelukku, dan berbisik, "Jangan kecewakan perempuan yang kamu cintai. Sepahit apa pun hidup, jangan pernah meninggalkannya nanti. Kau harus tahu, hati perempuan tak mudah dibuka, sekali dia terbuka untukmu. Kau akan selamanya ada di sana."
Rencana itu sudah bulat. Aku sudah menyiapkan segalanya. Aku benar-benar ingin belajar kepada Ayah
Rea, bagaimana menjadi dirinya. Lelaki yang dikagumi Rea. Lelaki yang selalu dia banggakan.
Hari itu, aku dan ibu berangkat menuju rumah Rea. Dengan niat baik. Dengan harapan semuanya berjalan dengan baik. Aku melihat ada ketenangan dari mata ibu. Namun, cemas di mataku. Entah kenapa, aku merasa tidak keruan. Mungkin ini efek grogi. Atau mungkin memang begini hal yang dirasakan setiap lelaki yang ingin meminang perempuan yang dia cintai.
Kami sampai di depan rumah Rea. Butuh beberapa
jam untuk sampai ke rumah orangtuanya, salah satu
alasan mengapa aku belum pernah bertemu ayahnya.
Aku hanya mendengar cerita-cerita Rea perihal
hebatnya lelaki itu. Hari itu Rea menunggu di rumahnya.
la sengaja minta cuti bekerja untuk menunggu aku
dan ibuku di rumahnya. Semua memang sudah kami
rencanakan sebaik mungkin. Aku tidak ingin ada
kesalahan sekecil apa Aku ingin semua ini berjalan
sesuai dengan apa yang aku rencanakan.
Rea terlihat cantik. Dia menyambut ibuku dengan santun. Di ruang tengah ada perempuan yang sedang duduk di kursi.
"Itu ibuku. Ibu tidak bisa melihat sejak gadis." Rea segera mendekat pada ibunya. "Bu, Randi dan ibunya sudah datang." Perempuan yang duduk di kursi itu menyapa kami. Tersenyum meski tidak bisa melihat kami.
Aku paham, kenapa selama ini Rea begitu mengagumi ayahnya. Dan, saat yang sama semakin tidak mengerti kenapa ayahku dulu meninggalkan kami, padahal ibuku baik-baik saja. Hal yang berbeda jauh dengan ayah Rea. Lelaki itu bahkan setia menemani perempuan yang dicintainya, meski perempuan itu tidak lagi mampu melihatnya.
"Ayahmu mana?" Aku dari tadi belum melihat lelaki yang selalu dibanggakannya.
"Sebentar ya, Ayah sedang membeli sesuatu ke luar. Lima menit lagi juga sampai. Aku hanya tersenyum. Aku sungguh tidak sabar. Ibu menyentuh bahuku. Mengerti kegelisahanku.
Dan, waktu yang ditunggu itu datang juga. Lelaki yang dibanggakan Rea itu pulang. Aku menyalaminya. Memberi hormat kepada lelaki yang merawat dan mendidik perempuan yang ingin kupinang hari itu. Namun, ada yang berbeda dengan ibu. Ibuku berdiri kaku tanpa bergerak. Bibirnya bergetar melihat ayah Rea. Tiba-tiba matanya basah. Aku belum pernah melihat wajah ibuku segusar ini. Dan, semua impianku seketika hancur.
"Randi, dia ayahmu," bisik ibu dengan tubuhnya yang masih kaku.