Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Item Drop
Setelah berhasil mengalahkan Ogre, Wira kembali merasakan suara lonceng yang terdengar di kepalanya. Kali ini, suara itu bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali, hingga membuatnya meringis kesakitan karena sakit kepala.
"Agh! Ini menyebalkan!" Wira menggerutu, merasa terganggu oleh suara lonceng yang tak jelas asalnya.
Ketiga peliharaannya, yang melihat tuannya mengerang kesakitan, langsung mendekat dengan cemas. Malika, Sumba, dan Kinta terlihat khawatir dengan kondisi Wira. Namun, Wira segera menenangkan mereka dengan senyuman yang dipaksakan.
"Aku tidak apa-apa. Mungkin hanya karena kelelahan," ujarnya, berusaha terlihat baik-baik saja. Wira menghela napas lega setelah suara lonceng itu akhirnya berhenti, dan sakit kepala yang mengganggunya pun menghilang.
Wira berpikir jika bunyi lonceng yang sering dia dengar adalah suara notifikasi sistem seperti yang dia dengar di game Paradox Relm. Tapi dia tidak bisa membuktikannya.
Perhatiannya kini beralih pada mayat Ogre yang perlahan mulai meleleh. Sesuatu yang tersisa dari tubuh Ogre kini terlihat jelas, meninggalkan beberapa item drop. Wira segera memeriksanya.
"Kristal monster, tentu saja. Aku akan sangat marah kalau monster sebesar ini tidak menjatuhkan kristal," gumam Wira sambil mengambil kristal Ogre. Dengan segera, ia menawarkan kristal tersebut pada ketiga peliharaannya.
Malika, macan kumbang bertanduk, menatap kristal itu sekilas dan kemudian menggelengkan kepala. Ia tampaknya lebih tertarik dengan kristal Raja Orc yang ditemukan sebelumnya. Kemudian Wira mencoba menawarkan kristal itu pada Sumba, namun kuda itu hanya memalingkan wajahnya, seolah tidak tertarik.
"Ya, seperti biasa, Sumba memang pemilih untuk urusan evolusi," pikir Wira. Tanpa banyak bicara, ia beralih pada Kinta.
Kinta, anjing besar itu langsung bereaksi dengan semangat. Ia melompat ke arah Wira, menggoyangkan ekornya, dan memeluk tubuh Wira dengan penuh kegirangan. Wira tertawa melihat tingkah lucu Kinta.
"Tenang, Kinta. Kamu boleh memakannya setelah kita selesai dengan Dungeon," kata Wira sambil mengusap kepala anjing itu.
Setelah memastikan bahwa peliharaannya aman, Wira kembali menatap mayat Ogre. Selain kristal, ada beberapa item lain yang tertinggal: tulang Ogre, kulit Ogre yang mengamuk, mata Ogre, dua buku, dan belasan manik-manik merah. Wira mendekati manik-manik tersebut dengan rasa penasaran.
Saat ia memegang salah satu manik-manik, Wira terkejut merasakan tekstur kenyal seperti jeli. Setelah mencium aromanya, ia langsung sadar bahwa itu adalah darah.
Melihat ketiga peliharaannya menatap manik-manik itu dengan mata kelaparan, membuat Wira teringat akan kejadian saat Kinta dan Sumba meminum darah Beruang Tanah sebelumnya. Keinginan untuk melihat mereka mendapatkan energi baru membuat Wira akhirnya memberikan manik darah pada mereka,
"Kalau kalian mau, kalian boleh memakannya."
Tanpa menunggu lama, ketiga hewan mutasi itu berebut manik-manik darah Ogre. Begitu mereka memakannya, sebuah cahaya redup menyinari tubuh mereka sejenak, sebelum semuanya kembali normal. Wira dapat melihat bahwa peliharaannya kini terlihat lebih bugar, seperti baru saja mengisi ulang energi mereka.
Melihat mereka yang menjadi lebih sehat, Wira merasa kelelahan yang ia rasakan setelah pertarungan sengit melawan Ogre juga akan hilang jika memakan maik darah. Ia hampir saja memutuskan untuk memakan satu manik darah yang tersisa, namun rasa jijik terhadap darah membuatnya berubah pikiran.
"Aku akan mengolah ini jadi potion nanti," gumamnya, memutuskan untuk menyimpan manik-manik itu untuk sementara.
Setelah itu, Wira menyingkirkan tulang, mata dan kulit Ogre, karena bahan-bahan tersebut memerlukan pengolahan lebih lanjut untuk bisa digunakan. Sekarang, hanya tersisa dua buku yang belum ia pahami.
"Ini pasti buku skill!" pikir Wira, namun setelah mencoba membuka halaman buku itu, ia tidak merasakan apapun. Berbeda dengan di dunia Paradox Realm yang biasanya sistem akan memberikan informasi secara otomatis. Namun buku-buku ini tampaknya tidak bekerja seperti itu di dunia nyata.
"Apakah aku harus membacanya?" gumam Wira, bingung melihat tulisan yang tidak bisa ia pahami. Meskipun begitu, ia memutuskan untuk menyimpan kedua buku tersebut untuk nanti.
Wira kemudian mengalihkan perhatian, menatap satu item terakhir yang tersisa untuk menaklukkan dongeng ini. Itu adalah sebuah bola kristal merah muda yang terletak di altar kecil di pojok ruangan. Bola itu bersinar lembut.
"Dungeon Core," ujarnya dengan tatapan tajam, "Kau akan membayar karena berani membuat Dungeon di goa milikku."
***
Wira mendekati altar tempat Dungeon Core berada dengan penuh kewaspadaan. Dalam ingatannya tentang permainan Paradox Relm, Dungeon Core sering memberikan perlawanan terakhir, baik dengan memanggil monster kuat atau meluncurkan serangan mematikan.
Namun, saat ia sampai di depan kristal berwarna merah muda itu, tidak ada tanda-tanda perlawanan. Situasinya begitu sunyi, hanya suara napasnya yang terdengar. Wira menyipitkan mata, lalu tersenyum lebar penuh kemenangan.
"Sepertinya ada yang sudah bangkrut," ucapnya dengan nada mengejek.
Ia menyimpulkan bahwa Dungeon Core kehabisan energi setelah memanggil Ogre Bimoruk, dan kini tak punya poin tersisa untuk membela diri.
Dengan percaya diri, Wira menjulurkan tangan ke arah kristal yang bersinar redup. "Kemarilah, anak nakal. Berani-beraninya kau mendirikan Dungeon ilegal di tanahku."
Tetapi begitu jarinya menyentuh permukaan krista...
BZZZZZT!
"GYAAAA!!!"
Wira menjerit keras ketika sengatan listrik menjalari tubuhnya. Tubuhnya kejang-kejang, dan ia hampir menjatuhkan Dungeon Core dari genggamannya. Ketiga peliharaannya langsung panik; Kinta menyalak, Malika menggeram, dan Sumba meringkik dengan gelisah.
Namun, di tengah situasi itu, Wira mendongak dengan wajah meringis, tetapi senyum jahil tergambar jelas. "Uwaaa… Tidak! Aku tersetrum! Tolooong…" Suaranya bergetar dramatis, namun nada bercandanya terlihat jelas.
Ketiga peliharaannya terdiam sejenak, saling memandang hingga akhirnya menyadari mereka baru saja dikerjai. Tatapan panik mereka berubah menjadi tatapan kesal yang menyala-nyala.
"Ahahaha! Kalian pasti sangat ketakutan, kan? Ahahaha—BUGOEK!"
Tawa Wira terhenti diganti ratapan penyesalan. Sumba, dengan wajah dingin, menendangnya menggunakan kaki belakang. Wira terjerembab ke lantai dengan mulut penuh debu.
"Baik, baik! Aku meminta maaf, yang tadi hanya bercanda!" serunya sambil mengangkat tangan tanda menyerah. Dia panik saat melihat Kinta sudah bersiap menggigit kakinya, dan Malika mengangkat cakar seakan siap mencabik wajahnya. Wira hanya bisa menghela napas pasrah.
Ia bangkit perlahan sambil mengusap wajahnya, lalu menatap Dungeon Core yang kini berada dalam genggamannya. Sengatan listrik tadi memang nyata, tetapi intensitasnya lemah, hanya cukup untuk membuat tubuhnya geli.
Namun tiba-tiba...
Ding!
Suara lonceng yang terdengar familiar bergema di kepalanya, kali ini dengan nada yang berbeda.
[Selamat, Anda kini terhubung ke dalam Sistem.]
Mata Wira membelalak. Suara itu tidak asing, suara notifikasi yang biasa terdengar saat ia bermain Paradox Relm. Kebingungan meliputi pikirannya. "Apa-apaan ini?" gumamnya, suaranya nyaris bergetar.
Sebelum sempat memproses apa yang terjadi, sebuah layar hologram muncul di hadapannya. Layar itu melayang di udara, memancarkan cahaya kebiruan yang familiar namun terasa asing di dunia nyata ini.
"Tidak mungkin..." Wira merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Layar Status di dunia nyata! Apa besok akan terjadi kiamat?." Pemuda itu menjadi overreacting.
mohon berikan dukungannya