Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Tanpa Jendela
Malam itu, gerimis tak henti-hentinya membasahi tanah. Udara lembap dan dingin merambat masuk ke setiap celah pakaian. Langit seolah-olah menahan tangis yang ingin tumpah. Rara memandang ke arah jalan setapak yang terjal di hadapannya. Jalan itu satu-satunya akses menuju desa kecil yang sudah lama terasing. Namanya Dusun Mawar, sebuah tempat yang begitu sunyi hingga jarang ada orang luar yang datang.
Rara tidak punya pilihan lain. Ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya, penelitian tentang masyarakat terpencil. Beberapa temannya sudah mendengar rumor tentang rumah aneh di desa ini. Rumah tanpa jendela, yang konon katanya dihuni oleh seorang wanita tua yang jarang terlihat. Namun, Rara tidak percaya hal-hal mistis. Ia hanya menganggap rumor itu bumbu dari ketakutan masyarakat terhadap sesuatu yang asing.
Setibanya di dusun, Rara disambut oleh pemandangan rumah-rumah kayu yang sederhana, nyaris rapuh dimakan waktu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ramai, hanya beberapa warga yang sesekali melintas di jalan utama desa dengan wajah penuh curiga. Namun, ada satu rumah yang menarik perhatiannya. Rumah itu berbeda—besar, kokoh, tapi tak memiliki satu pun jendela.
“Ini pasti rumah yang mereka bicarakan,” bisik Rara kepada dirinya sendiri.
Ia berdiri di depan pintu kayu besar yang terlihat tua dan usang. Rara ragu sejenak sebelum mengetuknya. Suara ketukan itu seolah-olah terperangkap dalam keheningan malam, tidak ada yang merespons.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu akhirnya terbuka sedikit. Seorang wanita tua dengan wajah yang tertutup bayangan lampu minyak berdiri di ambang pintu.
“Siapa kamu?” suaranya berat dan serak, membuat bulu kuduk Rara meremang.
“Saya Rara, dari universitas. Saya sedang melakukan penelitian tentang masyarakat di desa ini,” jawab Rara mencoba terdengar ramah.
Wanita itu tidak menjawab. Matanya hanya menatap lurus ke arah Rara, tajam, seolah menembus jiwanya. Lalu tanpa kata, ia membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Rara untuk masuk.
Rara melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. Rumah itu besar, namun atmosfernya terasa sempit dan sesak, mungkin karena tidak ada jendela yang memberi sirkulasi udara. Dinding-dinding kayu yang tebal dan gelap menambah kesan terkurung.
“Kenapa rumah ini tak punya jendela, Bu?” tanya Rara spontan.
Wanita tua itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik, dan tatapannya kini lebih tajam dari sebelumnya.
“Tidak ada yang perlu dilihat dari luar,” jawabnya datar. Lalu ia melanjutkan langkahnya, berjalan ke sudut ruangan yang lebih gelap.
Rara tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang topik. Ada sesuatu yang aneh di rumah ini, tapi ia belum bisa memahaminya. Suara detak jam dinding terdengar berirama, namun ada sesuatu yang lain—suara bisikan samar yang seolah-olah berasal dari dinding itu sendiri. Rara mencoba mengabaikannya.
“Boleh saya mulai wawancaranya?” tanya Rara, berharap bisa segera menyelesaikan tugasnya dan pergi dari rumah itu.
Wanita tua itu tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Rara dengan tatapan kosong, lalu duduk di kursi kayu tua di tengah ruangan.
“Kamu bisa bertanya,” katanya singkat.
Rara membuka buku catatan dan menyiapkan pena. Ia mulai bertanya tentang kehidupan di desa, tentang kebiasaan masyarakat, tetapi setiap kali wanita itu menjawab, jawabannya selalu singkat dan tidak mendalam. Rara merasa frustrasi. Mungkin rumor tentang wanita ini benar, pikirnya. Wanita ini mungkin menyembunyikan sesuatu.
Saat Rara hendak menanyakan hal lain, tiba-tiba lampu minyak di ruangan itu bergetar, seolah angin kencang menerobos masuk, meski tak ada jendela yang terbuka.
“Kenapa rumah ini tidak punya jendela?” tanya Rara lagi, kali ini dengan nada lebih menekan. Ia merasakan dorongan aneh untuk mengetahui alasan sebenarnya.
Wanita tua itu menatapnya tajam. "Karena apa yang di luar, tidak boleh masuk ke sini."
Jawaban itu membuat bulu kuduk Rara berdiri. Suara wanita tua itu begitu dingin dan penuh peringatan. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, terdengar bunyi dentingan kecil dari lantai di bawah mereka. Bunyi itu berulang, semakin keras dan semakin dekat. Rara memandang ke sekeliling, mencari sumber suara, tetapi wanita tua itu hanya diam, seolah tak terganggu oleh suara tersebut.
“Ada apa di bawah rumah ini?” Rara bertanya dengan suara bergetar.
Wanita tua itu tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak memberikan ketenangan. "Mereka. Mereka yang ingin keluar."
Rara menelan ludah. Ia merasa darahnya mendidih. “Siapa… siapa mereka?”
Wanita tua itu berdiri perlahan. "Sudah saatnya kamu pergi."
Tetapi Rara terlalu penasaran untuk mundur. Ia menatap lantai di bawah kakinya, dan suara itu—bunyi dentingan seperti sesuatu yang merangkak—terdengar semakin keras.
“Saya harus tahu. Apa yang ada di bawah rumah ini?” Rara mendesak.
Tanpa peringatan, wanita tua itu meraih tangan Rara dengan cengkraman yang kuat. Matanya berubah, dari kosong menjadi penuh teror.
“Mereka yang terperangkap di sini. Jiwa-jiwa yang tak pernah bisa keluar. Karena rumah ini… adalah penjara bagi mereka.”
Tiba-tiba, bunyi dentingan itu berubah menjadi suara gedoran keras dari bawah lantai kayu. Sesuatu, atau seseorang, sedang mencoba keluar dari dalam tanah di bawah rumah ini. Rara terperanjat mundur, melepaskan tangannya dari cengkraman wanita tua itu.
“Pergi dari sini sebelum terlambat!” seru wanita tua itu dengan suara yang kini berubah menjadi penuh kepanikan.
Namun Rara tidak bisa bergerak. Ketakutannya telah melumpuhkannya. Ia hanya bisa berdiri di sana, menatap lantai di bawahnya yang terus bergetar. Sesuatu sedang mendekat.
Tiba-tiba, lantai kayu itu retak. Sebuah tangan pucat, penuh luka, menjulur keluar dari celah tersebut. Tangan itu menggeliat seperti ular, berusaha mencari sesuatu untuk digenggam. Lalu sebuah kepala muncul—wajah hampa tanpa mata, dengan mulut yang terus menganga, mengeluarkan suara erangan pelan.
Rara terjatuh ke belakang, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa berpikir jernih. Semua kejadian ini terasa seperti mimpi buruk yang nyata.
Wanita tua itu menangis. "Aku tidak bisa menghentikan mereka... Aku sudah mencoba bertahun-tahun, tapi rumah ini... rumah ini milik mereka sekarang."
Rara berusaha berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas. Tangannya meraba-raba lantai, mencari penyangga. Sementara itu, makhluk-makhluk itu terus merangkak keluar dari bawah rumah, satu demi satu, dengan wajah yang sama kosong dan mengerikan. Rumah tanpa jendela ini ternyata adalah penjara bagi roh-roh yang terperangkap, entah oleh kutukan atau dosa masa lalu.
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, Rara berhasil bangkit dan berlari keluar. Wanita tua itu hanya berdiri di ambang pintu, menatapnya pergi dengan tatapan putus asa. Di belakangnya, suara-suara makhluk yang terperangkap di dalam rumah semakin nyaring, seolah-olah mereka semua berteriak meminta kebebasan.
Rara terus berlari, meninggalkan dusun yang terasa semakin asing dan jauh. Di benaknya, rumah tanpa jendela itu tetap membayang, dengan segala misteri yang belum terjawab.