Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: "Jejak Luka yang Tertinggal"
Meski Leonel merasakan kebahagiaan baru dalam hidupnya, bayangan masa lalu masih kerap menghantui saat ia teringat rumah. Ia masih mengingat wajah-wajah dingin keluarganya, terutama Julian, yang selama ini ia kira adalah satu-satunya orang di rumah yang mungkin bisa mengerti dirinya. Namun, tamparan itu, serta canda tawa yang terus mengabaikannya, membuat Leonel sadar bahwa dirinya hanyalah bayangan yang tak pernah dianggap ada.
Malam itu, ketika duduk sendiri di taman pusat komunitas, Leonel memandang bintang-bintang yang berkelap-kelip di atas langit malam. Tanpa ia sadari, air matanya mengalir perlahan, menandakan luka yang selama ini ia tahan. Sekarang, jauh dari rumah, ia akhirnya bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini tersembunyi.
“Nel?” suara lembut Ravi membuyarkan lamunannya. Ravi dan Sinta yang baru selesai latihan menulis, datang menghampirinya. Melihat wajah Leonel yang murung, mereka duduk di sampingnya tanpa berkata-kata. Hanya dengan duduk bersama, mereka memberi ruang bagi Leonel untuk bicara.
Leonel mengusap wajahnya, menenangkan diri sejenak. “Kadang aku masih teringat sama mereka… keluargaku. Terutama Julian. Selama ini aku merasa dia mungkin mengerti aku, tapi ternyata salah. Aku hanya seperti beban bagi mereka, sesuatu yang tidak pernah mereka harapkan.”
Sinta mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia mendengarkan sepenuh hati. “Mungkin rasa sakit itu masih akan terasa, Nel, tapi itu bukan berarti kamu harus terus hidup dalam bayangannya,” ujarnya dengan lembut. “Setiap langkah yang kamu ambil sekarang adalah untuk dirimu sendiri. Kamu berhak bahagia, dan tidak ada yang bisa merenggut itu darimu.”
Ravi menambahkan, “Kadang, menemukan diri sendiri memang harus melalui jalan yang berliku. Mungkin ada masa lalu yang menyakitkan, tapi kamu bisa memilih untuk membentuk masa depanmu sendiri. Kita semua punya luka, tapi luka itu tidak harus menentukan siapa kita selamanya.”
Kata-kata Ravi dan Sinta menguatkan Leonel. Ia menyadari bahwa meskipun keluarganya tidak peduli padanya, dia memiliki teman-teman yang tulus, yang menerima dia apa adanya. Ini pertama kalinya Leonel merasa memiliki keluarga, meskipun bukan dari darah yang sama.
Beberapa hari kemudian, Leonel kembali ke kafe tempat ia biasa menulis. Hari itu adalah hari spesial—kafe itu mengadakan pameran kecil bagi para penulis yang ingin membagikan karya mereka. Leonel memberanikan diri untuk membaca esainya tentang kebebasan dan harapan di depan orang banyak.
Saat Leonel selesai membacakan esainya, ia mendapat tepuk tangan dari penonton. Di antara mereka, ia melihat sosok yang tak terduga—Julian, berdiri di dekat pintu masuk dengan wajah penuh perasaan yang sulit diartikan.
Perasaan campur aduk memenuhi diri Leonel. Ia tidak mengerti mengapa Julian datang ke sini. Mereka tidak pernah saling bicara sejak ia pergi dari rumah, dan tidak ada pesan ataupun tanda bahwa Julian peduli padanya. Tapi sekarang, Julian ada di sini, mendengarkan kata-kata yang selama ini terpendam dalam hati Leonel.
Setelah acara selesai, Julian menghampiri Leonel dengan langkah pelan. “Nel… boleh kita bicara sebentar?” tanyanya dengan nada yang terdengar sedikit ragu.
Leonel mengangguk perlahan. Mereka keluar dari kafe, berjalan berdua di sepanjang trotoar yang sepi. Untuk beberapa saat, tak ada yang berani bicara, hanya terdengar derap langkah kaki mereka di jalanan malam yang hening.
Akhirnya, Julian membuka suara. “Aku dengar tentang pameran ini dari teman, dan aku penasaran… apa yang kamu tulis. Aku… aku nggak tahu kalau kamu merasa seberat itu tinggal di rumah.”
Leonel tertawa kecil, meskipun tak ada humor di matanya. “Bagaimana bisa kamu tahu, Julian? Kalian tidak pernah melihat aku… seolah-olah aku hanya bayangan yang tak ada harganya.”
Julian tampak terkejut mendengar kata-kata itu, dan untuk pertama kalinya, ada ketulusan dalam ekspresinya. “Maafkan aku, Nel. Aku benar-benar tidak menyadari perasaanmu selama ini. Mungkin aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, dengan harapan orang tua… dan aku gagal melihat kamu, adikku sendiri.”
Leonel merasakan ada kehangatan yang menjalar dalam hatinya, meskipun kecil. Ia ingin memaafkan Julian, tapi luka yang dalam tidak mudah hilang begitu saja. Ia menatap Julian, mencoba membaca niatnya yang sesungguhnya.
“Aku butuh waktu, Julian,” kata Leonel akhirnya. “Aku tidak bisa begitu saja kembali dan pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi… terima kasih sudah datang malam ini. Itu berarti buat aku.”
Julian mengangguk, tampak mengerti. “Aku akan menunggu, Nel. Apapun yang kamu butuhkan, aku akan ada di sini.”
Malam itu, meskipun tidak ada jaminan bahwa segalanya akan membaik seketika, Leonel merasa ada awal baru yang terbuka baginya. Ia memiliki teman-teman yang selalu mendukung, dan kini, bahkan keluarganya mulai menunjukkan tanda-tanda pengertian.
Hari-hari berikutnya, Leonel terus menulis dan berkarya, merangkai setiap perasaannya ke dalam kata-kata yang kini memberinya kekuatan. Rasa sakit dan luka yang dulu mengikatnya kini menjadi bahan bakar untuk menciptakan sesuatu yang indah. Meskipun hubungannya dengan Julian dan keluarganya masih dalam proses penyembuhan, Leonel tahu bahwa ia sudah berada di jalan yang benar.
Ia tidak lagi hanya menjadi bayangan dalam hidupnya sendiri. Kini, ia adalah sosok yang berdiri kokoh, siap melangkah ke masa depan dengan penuh keyakinan. Dan meskipun ada banyak tantangan yang menanti, Leonel yakin ia bisa menghadapinya dengan ketenangan yang telah ia temukan—bersama orang-orang yang ia anggap sebagai keluarga baru.
Dengan hati yang lebih tenang, Leonel mulai merangkai kisahnya yang baru, yang bukan lagi berisi luka, tetapi tentang kebebasan, kekuatan, dan cinta yang tulus.