Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARAPAN YANG TAK PERNAH TERPADAM
Seminggu sudah berlalu sejak aku merasakan penolakan lagi dari Bima. Setiap pagi, ketika bangun, rasanya beban di dadaku semakin berat. Meskipun aku mencoba untuk tetap ceria di depan teman-teman, ada satu sudut hatiku yang terus merindukan perhatian Bima. Cinta ini sepertinya makin dalam, meskipun rasanya kayak diombang-ambing.
Pagi itu, saat aku melangkah ke sekolah, hujan sudah reda, tetapi suasana hati ini tetap mendung. Setiap langkahku menuju kelas selalu disertai dengan harapan, meski sedikit. “Mungkin hari ini Bima bakal lebih baik,” gumamku dalam hati. Kemandekan ini terus berlanjut, dan aku tidak mau menyerah begitu saja.
Di kelas, suasana ramai seperti biasa. Teman-teman mulai berkumpul, bercerita tentang tugas dan hobi masing-masing. Tapi bagiku, semuanya terasa hampa tanpa kehadiran Bima yang bisa membuat segalanya lebih ceria. Saat bel masuk berbunyi, aku mengambil tempat dudukku yang selalu di dekatnya, berharap bisa menarik perhatiannya.
Pelajaran dimulai, tetapi fokusku tidak pada materi yang diajarkan. Mataku terus melirik ke arah Bima yang tampak sibuk dengan buku-buku di depannya. “Apa sih yang ada di dalam pikiran dia?” tanyaku dalam hati. Kenapa dia selalu terlihat begitu serius dan tidak pernah mau terlibat dalam obrolan? Apa dia nggak tahu kalau ada cewek yang nunggu-nunggu dia?
Ketika pelajaran matematika dimulai, guru menjelaskan beberapa soal di papan tulis. Aku berusaha untuk memperhatikan, tetapi pikiranku kembali melayang ke Bima. Saat guru menanyakan siapa yang bisa menjawab, Bima mengangkat tangannya dengan percaya diri dan menjawab dengan cepat. “Wow, dia emang pinter!” ujarku dalam hati sambil menatapnya penuh kekaguman.
Namun, saat bel istirahat berbunyi, hatiku kembali berdebar. Sekali lagi, aku harus mencari cara untuk mendekatinya. “C’mon, Megha! Kali ini harus bisa!” bisikku. Ketika semua orang bergegas menuju kantin, aku melangkah pelan ke arah Bima yang masih duduk di kelas.
“Bima!” teriakku, berusaha membuat suaraku terdengar ceria. Dia menoleh, dan untuk sesaat, matanya bertemu mataku. Namun, tatapannya cepat beralih ke buku di depannya. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.
“Aku cuma mau bilang, kalau ada tugas bareng, kita bisa kerjain bareng, kan?” tawariku, berharap ini bisa jadi langkah awal untuk mengubah suasana. Bima hanya mengangguk sambil terus membaca.
“Gimana kalau kita kerja bareng di rumah? Mungkin bisa jadi waktu yang pas untuk lebih kenal,” tawariku lagi, berusaha menambah semangat. Tapi lagi-lagi, dia tidak merespons seperti yang aku harapkan.
“Gue lebih suka sendiri,” jawabnya tanpa menatapku. Rasanya seperti terhempas ke jurang. Kenapa sih dia nggak mau memberi sedikit harapan? Pikiranku terus berputar, mencari alasan untuk tetap optimis. “Mungkin dia cuma butuh waktu,” kataku dalam hati.
Di kantin, Rina sudah menunggu sambil menikmati es cokelatnya. “Eh, Meg! Kok wajahmu murung lagi? Apa Bima lagi?” tanyanya, mengamati ekspresiku yang tidak bisa berbohong. Aku mengangguk pelan.
“Dia lagi-lagi dingin. Aku cuma pengen dia tahu kalau aku ada, tapi dia terus mengabaikanku,” jawabku dengan nada kesal. Rina menggelengkan kepala, mencoba menghiburku. “Coba deh, tunjukkan kalau kamu bisa jadi cewek yang asyik. Mungkin dia bakal lihat kamu dari sisi yang lain.”
Sepanjang hari, aku berusaha untuk tetap ceria. Namun, rasa sakit itu masih menyengat di dalam hati. Saat jam pelajaran berikutnya tiba, aku mencoba untuk tetap fokus. Di saat yang sama, aku juga berpikir tentang apa yang bisa kulakukan untuk menarik perhatian Bima.
Saat pulang sekolah, aku berjalan pulang dengan pikiran melayang. Di jalan, aku melihat sebuah poster tentang festival seni di kampus. “Eh, mungkin ini bisa jadi kesempatan!” pikirku. Festival itu akan diadakan akhir pekan ini, dan aku berencana untuk ikut. Aku bertekad untuk tampil dengan bakatku.
Hari festival tiba, dan aku sudah menyiapkan segalanya. Aku berlatih nyanyi di rumah, berharap bisa memukau Bima dengan penampilanku. Jika dia melihatku di panggung, mungkin dia bakal mulai memperhatikan. Kenapa tidak? Bukankah aku harus berusaha?
Di lokasi festival, suasana ramai dan penuh warna. Semua orang tampak bahagia, berdesakan di antara stand makanan dan panggung seni. Ketika saatnya tiba untuk tampil, aku melangkah ke panggung dengan rasa percaya diri yang baru. “Genggam tangan ku, jangan pergi,” nyanyiku dengan penuh emosi. Saat aku menyanyikan lagu itu, aku merasakan setiap lirik yang keluar dari hati.
Dan di antara kerumunan, aku melihat Bima berdiri di dekat panggung, menatapku. Untuk pertama kalinya, dia tampak terkesan. Hatiku berdegup kencang saat aku melihat ekspresinya yang mulai lembut. “Ini dia, Megha! Ini kesempatanmu!” teriakku dalam hati.
Usai penampilan, orang-orang bertepuk tangan dan memberi sorakan. Aku merasa senang, tapi tidak ada yang lebih berarti daripada tatapan Bima. Dia mendekat, dan mataku tidak bisa berpaling darinya. “Bagus banget, Megha! Gue nggak nyangka kamu bisa sebaik itu,” puji Bima.
“Serius? Terima kasih, Bima!” balasku, berusaha menjaga senyuman di wajahku. Dalam hatiku, ada harapan yang tumbuh. “Mungkin, ini awal yang baik.”
Setelah festival selesai, aku dan Rina berbincang. “Kamu lihat Bima, kan? Dia beneran kelihatan terkesan!” Rina bersorak. “Kamu harus terus berusaha, Meg! Ini langkah yang bagus!”
Hari-hari selanjutnya, aku merasa lebih optimis. Setiap kali aku berusaha mendekati Bima, aku melihat sedikit perubahan dalam sikapnya. Dia mulai berbicara lebih banyak, meskipun kadang tetap saja dengan nada datar.
Suatu hari, saat jam istirahat, aku berani mendekatinya lagi. “Bima, ada acara di cafe dekat sini, mau ikut?” tanyaku, berusaha untuk menunjukkan bahwa aku tidak ingin memberi tekanan. “Mungkin seru kalau kita bisa ngobrol lebih santai.”
“Gue nggak tahu,” jawabnya dengan nada ragu. Namun, aku tidak mau menyerah. “Ayo, ini kesempatan buat kita kenalan lebih dekat. Cuma kita berdua!” desakku.
Dia terdiam sejenak, mungkin mempertimbangkan. “Oke, kalau itu cuma sekali,” jawabnya akhirnya. Hatiku melompat kegirangan. “Yes! Makasih, Bima!”
Ketika kami sampai di cafe, suasana hangat dan ramah. Kami memilih tempat di pojok yang tenang, dan aku merasa lebih rileks. Saat kami mulai berbincang, aku berusaha untuk membuatnya lebih terbuka. Meskipun masih ada sedikit ketegangan, aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.
“Jadi, Bima, kamu suka hobi apa?” tanyaku, mencoba menggali lebih dalam. Dia mulai bercerita tentang hobinya yang suka menggambar. “Gue suka menggambar pemandangan,” ujarnya, dengan nada yang sedikit lebih hangat. “Tapi nggak banyak yang tahu.”
“Wow, itu keren! Kenapa nggak pernah tunjukkan ke orang-orang?” tanyaku, merasa terinspirasi. “Bisa jadi kamu punya bakat yang orang lain nggak tahu!”
Mendengar pujian itu, wajahnya sedikit merona. “Gue nggak yakin, sih. Gue hanya suka,” jawabnya pelan. Di saat itu, aku merasakan ada sedikit kehangatan dalam percakapan kami.
Kita berbincang lebih lama dan merasakan suasana semakin akrab. Meski dia masih terlihat cool, aku bisa merasakan sedikit dinding di antara kami mulai runtuh. Malam itu, ketika kami kembali pulang, aku tidak bisa menyembunyikan senyuman. “Akhirnya, dia mulai terbuka,” pikirku.
Setelah pertemuan itu, harapanku semakin menyala. Setiap langkahku menuju Bima terasa lebih ringan. Kini aku tahu bahwa cinta ini tidak akan padam meski ada penolakan. Dalam hatiku, aku percaya bahwa suatu saat, dia pasti akan mengerti apa yang aku rasakan.