Ana, istri yang ditinggal merantau oleh suaminya. Namun, baru beberapa bulan ditinggal, Ana mendapatkan kabar jika suaminya hilang tanpa jejak.
Hingga hampir delapan belas tahun, Ana tidak sengaja bertemu kembali suaminya.
Bagaimana reaksi suaminya dan juga Ana?
Yuk, ikuti kisahnya dalam novel berjudul AKU YANG DITINGGALKAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wasiat Fatimah
Suami Rima langsung pulang ke rumah, tak lupa dia mengubungi tetangganya untuk memberitahukan kabar duka. Juga meminta tolong, agar mereka membersihkan area rumahnya.
Begitu juga dengan Raksa yang membawa sepeda motor Ana, Arkan sendiri berboncengan dengan Kayla, dan langsung menuju ke rumah duka.
Ana dan Rima menunggu segala sesuatu selesai diurus oleh pihak rumah sakit. Keduanya memilih untuk pulang sembari menemani Fatimah di ambulans.
Beberapa saat kemudian, Fatimah siap untuk diantar pulang. Ana dan Fatimah pun, sudah berada di dalam mobil ambulan.
Baru saja mobil ambulan keluar dari gerbang, tidak sengaja mata Ana menatap sosok yang sangat di rindukannya.
"Bang Sahil ..." lirih Ana menatap seorang lelaki yang berjalan tergesa-gesa menuju suatu tempat yang berada di area rumah sakit.
Deg ... lelaki yang dipanggil Sahil memegangi dadanya, serta menatap ambulan yang semakin menjauh. Tentu saja itu semua tidak luput dari pandangan Ana.
"Kenapa?" tanya Rima, karena menatap Ana yang masih saja memandang ke arah luar.
"Aku lihat bang Sahil mbak, aku melihatnya ..." ujar Ana menjatuhkan air matanya.
Perasaannya berkecamuk, dia bahagia, sedih juga kecewa.
"Ana, aku tahu kita baru kehilangan ibu, tapi itu mungkin hayalan mu, dan jika benar Sahil ada disini, dia gak mungkin tidak mengunjugi ibu, apalagi kamu." terang Rima mencoba memberi pengertian pada Ana, yang terus saja memandang ke luar.
"Mbak benar, mungkin itu hanya hayalan, akibat aku terlalu rindu." ujar Ana lirih.
Ya, lelaki itu adalah Sahil. Sahil, membawa darah untuk ke laboratorium.
"Kenapa dadaku sakit sekali?" batin Sahil masih memegang dadanya yang terasa nyeri.
"Pak, tunggu di igd aja ya, nanti hasilnya biar kami yang bawakan." ujar seorang petugas laboratorium menerima darah dari Sahil.
Sahil mengangguk kepalanya dan keluar dari laboratorium, matanya awas menatap jalanan, masih seperti ada seseorang yang menunggunya dengan penuh rindu.
"Bang ..." lirih seorang wanita dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tenang aja ya, semoga anak kita tidak apa-apa." ujar Sahil gamang, karena sesungguhnya dia pun takut.
Sahil dan wanita bernama Kinan menatap sendu ke arah anak mereka yang terbaring lemah di ranjang igd.
Anak mereka yang berumur sekitaran sepuluh tahun memiliki penyakit bawaan, yaitu gagal ginjal.
"Kita sudah kehilangan banyak uang bang, tapi anak tidak belum juga sembuh." isak Kinan dan Sahil memeluk istrinya.
Mereka baru pulang merantau sekitaran satu tahun lalu, karena usaha yang mereka buka habis total untuk mengobati putri semata wayangnya.
Dan di kampung, Sahil hanya bisa menjadi buruh harian lepas. Bahkan istrinya tidak bisa kerja apa-apa, dikarenakan fisik anaknya yang lemah, jadi menyebabkan Kiran atau Sahil urung meninggalkannya terlalu lama.
Kembali ke rumah duka, semua keluarga sudah ada disana, kecuali Dian. Dia masih saja enggan untuk pulang, padahal anak Fatimah seorang lagi sudah tiba beberapa saat yang lalu.
"Ini bagaimana? Apa sang mayit sudah bisa kita kuburkan?" tanya ustadz.
"Sudah ustadz." sahut Rima lirih.
"Jadi, tidak menunggu kepulangan Dian? Kasihan dia, tidak bisa menemui ibunya untuk terakhir kali." tanya seorang tetangga.
"Dian yang menyuruhnya, karena disana dia juga lagi musibah." bohong Rima.
Akhirnya mereka semua membawa jenazah pada tempat istirahat terakhir. Semuanya ikut mengantarkan. Akan tetapi Rima masih saja merasa jengkel terhadap Dian, dia bahkan tega tidak melihat ibunya, bahkan untuk terakhir kalinya.
Ana masih saja gamang, dia yakin jika apa yang dilihatnya benaran Sahil, bukan hayalan seperti yang Rima katakan. Namun, untuk kembali ke rumah sakit, rasanya tidak mungkin, mengingat keadaan sedang berduka.
"Jika itu benaran bang Sahil, semoga aku bisa bertemu dengannya." monolog Ana.
Hari-hari telah berlalu, Ana sudah mulai ke sawah lagi. Namun, bukan untuk menanam padi. Melainkan membersihkan rumput-rumputan yang berada di antara padi-padi yang baru saja di tanam.
Tentu saja, dia melakukannya di sawah orang lain. Dan dengan begitu, dia akan mendapatkan uang tujuh puluh ribu, dalam setengah hari.
Hari ini, Ana pergi hanya bersama dua orang tetangganya, itupun atas permintaan pemilik sawah. Dia pergi pagi dan tentu saja setelah memastikan Kayla bangun terlebih dahulu.
"Padahal, rumput di haji Ali banyak sekali, kenapa dia hanya menyuruh kita bertiga ya? Seharusnya lima atau enam orang baru selesai." keluh teman Ana.
"Ya, namanya juga orang kaya pelit." kekeh lainnya.
"Gak apa, syukuri aja. Jika nanti sawahnya belum habis kita bersihkan, berarti kita akan digunakan esoknya lagi." sahut Ana.
"Benar juga ya, lagian cuma kita wanita-wanita yang menyedihkan. Ana ditinggal suami, aku suami pemalas tapi banyak anak, dan Yani, suaminya sakit-sakitan." kekeh teman Ana.
"Makanya ganti suami ..." kekeh Yani menertawakan temannya.
Ana hanya tersenyum simpul. Benar, dia ditinggalkan suami. Dan tanpa ada kejelasan sampai sekarang.
Selesai azan zuhur mereka bertiga, bangkit untuk pulang. Begitu juga dengan orang lain yang melakukan hal yang sama di sawah lainnya.
Baru aja sampai rumah, Ana mendapatkan pesan dari Rima untuk segera datang ke rumah. Rima juga berpesan agar Ana membawakan Arkan dan Kayla.
Malamnya, Ana mengajak kedua anaknya ke rumah mendiang mertuanya. Disana, sudah ada Rima juga kedua adiknya. Termasuk Dian.
Ya, Dian pulang, saat Rima mengabarkan akan membagikan warisan dari ibunya.
"Sebelumnya, aku sebagai tetua dan anak yang dipercayai ibu akan menyampaikan amanah dari ibu kita." ujar Rima membuka suara.
"Langsung ke intinya aja mbak." seru Dian tidak sabar.
Rima menghela napas. "Ana, kamu mendapatkan kalung emas dari ibu, dan juga salah satu cincin yang biasa ibu pakai. Dan ibu berpesan agar emas-emas itu digunakan untukmu buka usaha, ataupun untuk kepentingan kedua anakmu ini." ujar Rima menatap adik iparnya.
"Dan aku sendiri, mendapatkan rumah ini. Dian mendapatkan kalung dan gelang. Dan Rita, mendapatkan dua cincin dan juga gelang. Dan jika dijumlahkan, punya Dian dan Rita sama harganya." terang Rima.
Rita langsung mengangguk menerima keputusan ibunya.
"Terus, bagaimana dengan milik Ana?" tanya Dian menatap sinis kearah Ana.
"Jumlahnya, memang sedikit lebih banyak dari kalian. Dan itu semua, sudah ibu pertimbangkan." ungkap Rima.
"Aku gak terima mbak. Oke, jika kamu mendapatkan rumah. Itu karena kamu telah merawat ibu. Tapi dia? Dia bukan anak ibu, dia hanya seorang menantu. Mungkin, karena inilah, dia gak mau nikah lagi sampai sekarang. Dia mengharapkan harta ibu mbak." tuduh Dian menunjuk ke arah Ana.
"Dian ..." teriak Rima.
Para lelaki yang berada di ruang yang berbeda terkejut. Iya, baik suami Rima, Dian dan Rita mereka berada di ruang tamu. Sedangkan para perempuan, dan cucu-cucu yang dewasa berada di ruang yang sama dengan Rima. Itupun hanya Raksa, Arkan, dan satu anak Dian.
"Mbak, aku ..."
"Diam lah, Ana ... Ini amanah ibu, bukan kehendak dariku. Masing-masing dari kami mendapatkan jumlah yang sama. Karena apa? Ibu dulu pernah memberikan uang pada Dian dan Rita, untuk mereka bangunkan rumah. Cuma Dian aja yang seolah menutup mata." jelas Rima.
Dan Ana baru tahu tentang hal itu, karena bukan ranahnya untuk ikut campur.
"Tapi kamu juga makan dari hasil uang ibu kan mbak?" kembali Dian menuduh.
"Dian, mbak tidak pernah sekali pun memakan uang pemberian ibu. Karena apa? Semua keperluan dapur suamiku yang belikan. Mungkin, sesekali ibu memang membeli buah. Iya aku makan, namun itu tidak perlu dihitung kan, bukan?" tutur Rima.
"Mbak, udah ... Gak baik kita bertengkar. Kalo ibu masih ada, pasti ibu sedih dan terluka." ujar Rita mencoba menengahi. "Lagipula, apa yang ibu wasiatkan, itulah yang terbaik mbak Dian. Dan itu semua atas pertimbangan ibu. Mungkin jika Ana mendapat lebih banyak dari kita, karena itu sebagai istri dari adik kita. Dan seharusnya, kita sebagai anak-anaknya harus mendukung keputusan ibu. Bukan malah bercerai berai seperti ini." kata Rita.
"Aku lebih senang, ibu tidak meninggalkan warisan, jika memang bisa membuat hubungan kita baik-baik aja, sama seperti saat kita anak-anak dulu." lanjut Rita kemudian melenggang pergi.
ana yg tersakiti,Kinan yg menikmati
dan si Jefri dan firman perlu di ruqyah 😁😁