SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-35
Mansion milik Alexa terletak di kawasan terpencil di pedalaman Brasil, jauh dari keramaian kota besar, dikelilingi oleh hutan tropis yang rimbun dan pegunungan yang memukau. Rumah megah ini dibangun dengan arsitektur modern yang berpadu dengan sentuhan tradisional Brasil, menciptakan suasana yang elegan namun tetap alami. Di sekitar mansion, terdapat taman yang luas dengan berbagai tanaman eksotis dan kolam renang yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi yang seakan menjadi pelindung dari dunia luar.
Pemandangan dari balkon kamar pribadi Alexa sangat memukau, menghadap ke lembah hijau yang terbentang luas dengan langit yang seringkali cerah dan biru. Sinar matahari tropis memberi kehangatan pada siang hari, sementara malamnya menawarkan kesunyian yang mendalam, hanya diterangi oleh bintang-bintang yang berkelip terang di langit gelap, menciptakan suasana yang begitu tenang namun juga sepi.
Mansion ini, meskipun penuh dengan kemewahan dan fasilitas modern, sering kali terasa sepi. Keindahan alam di sekitarnya menjadi satu-satunya teman yang selalu ada, namun tak pernah mampu mengisi kekosongan di dalam hati Alexa.
Alexa melangkah pelan memasuki mansion pribadinya yang terletak di kawasan terpencil Brasil. Pintu besar yang terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi terbuka dengan sendirinya, menyambut langkahnya ke dalam dunia yang begitu sepi. Setiap langkahnya bergema di lorong panjang yang sunyi, dinding-dindingnya dipenuhi karya seni modern yang indah, namun terasa hampa, seperti ruang yang tak pernah terisi oleh kehangatan orang lain.
Udara di dalam rumah terasa sejuk, meskipun dengan jendela-jendela besar yang terbuka, memperbolehkan angin tropis masuk menyentuh kulitnya. Alexa berjalan menyusuri ruang tamu yang luas, dengan langit-langit tinggi dan pencahayaan lembut yang memancarkan kemewahan namun tetap terasa dingin. Lantai marmer putih yang mengkilap memantulkan bayangannya, sementara di sudut-sudut ruangan, tanaman hijau tropis yang ditata rapi memberi sedikit kehidupan pada ruangan yang begitu luas dan kosong.
Setiap detail dalam rumah ini mencerminkan kelas dan kekayaan, namun tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang menyelimuti hatinya. Alexa sudah lama terbiasa dengan kesunyian yang datang bersama harta dan kemewahan ini, merasa seperti bagian dari sebuah dunia yang indah namun tak bermakna. Rumah ini—meskipun dipenuhi segala sesuatu yang diinginkannya—tetap terasa seperti sebuah tempat yang tidak memberinya kehangatan, seperti sebuah istana yang terbuat dari dingin dan kaca.
Langkah Alexa semakin mantap, meski hatinya mulai terasa semakin berat. Dalam kesunyian ini, dia tahu bahwa hanya dirinya yang bisa menavigasi hidupnya, berjalan melalui lorong-lorong panjang ini yang tidak pernah menyapa atau memberi tempat bagi perasaan yang ia pendam. Ketika akhirnya ia melangkah menuju kamar pribadinya, pandangannya tetap lurus ke depan, tidak ingin memperlihatkan kepada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri, betapa dalamnya kesepian itu.
Kamar tidurnya adalah ruang yang luas, dihiasi dengan furnitur minimalis yang elegan. Dindingnya dipenuhi dengan warna netral, sementara jendela besar yang menghadap ke luar membuka pemandangan indah akan lembah hijau yang membentang jauh. Angin malam berhembus masuk dengan lembut, menggoyangkan tirai putih yang menggantung di dekat jendela. Namun, meskipun indah, pemandangan itu tak mampu menenangkan kerinduan yang mendalam di dalam dada Alexa.
Alexa melangkah menuju bar kecil yang ada di sudut kamar, mengambil sebotol wine merah yang sudah ia kenal. Dengan gerakan tenang, ia menuangkannya ke dalam gelas kristal dan meneguknya perlahan, merasakan rasa pahit yang mengalir menenangkan bibirnya yang kering. Setiap tegukan seolah membawa sedikit ketenangan, meski sesaat.
Setelah itu, ia berjalan menuju balkon yang menghadap ke luar. Duduk di kursi kayu yang sudah sering menjadi tempat pelariannya, Alexa menatap langit yang kini perlahan gelap, dengan bintang-bintang yang mulai muncul satu per satu. Bulan purnama bersinar terang, memberikan cahaya lembut yang membuat malam terasa begitu sepi, begitu hening. Di bawah langit yang luas ini, Alexa merasa begitu kecil, namun begitu besar kesepiannya. Keheningan malam seakan menjadi saksi bisu dari kerinduan yang mendalam dalam hatinya.
"Andai mereka tahu..." gumamnya, suara serak hampir tak terdengar. "Andai mereka tahu seperti apa aku sekarang. Seperti apa hidupku. Apa yang harus kulalui... dan betapa aku merindukan mereka. Orang tuaku."
Alexa menundukkan kepala, menatap gelas wine yang kini kosong. Air mata mulai menggenang, namun ia segera mengusirnya. Tidak, ia tidak boleh menangis. Hatinya sudah dibentuk untuk kuat, untuk tidak mudah terjatuh. Meskipun sering kali perasaan itu datang, meskipun terkadang ia merindukan kasih sayang yang tak pernah ia rasakan sejak kepergian orang tuanya, Alexa tahu bahwa ia harus terus bertahan.
"Jika mereka masih ada... jika mereka tahu bagaimana aku hidup..." pikirnya dalam hati. "Namun mereka tak pernah tahu, tak pernah bisa tahu, karena aku yang harus bertahan. Tidak ada lagi yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri."
Keheningan malam semakin menebal, dan Alexa semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia merindukan orang tuanya, merindukan kasih sayang yang tulus. Namun, dengan tekad yang kuat, Alexa tahu ia tak bisa membiarkan kerinduan itu menghancurkannya. Dia telah belajar untuk menjadi pribadi yang lebih keras. Pribadi yang tidak kenal kata menyerah, yang siap menghadapi segala tantangan hidup. Tidak peduli seberapa beratnya hidup ini, dia tidak akan pernah membiarkan dirinya runtuh hanya karena perasaan yang datang dan pergi.
Balkon yang sepi, angin malam yang dingin, bintang-bintang yang berkelip, dan bulan yang bersinar terang—semua itu adalah saksi dari perjalanan hidup Alexa yang tak mudah. Namun di balik semua itu, ia tahu satu hal pasti: dia akan terus bertahan. Dan suatu hari nanti, dia akan membuktikan pada dunia, bahwa dirinya lebih dari cukup.
➰➰➰➰
Pagi itu, Alexa terbangun dengan rasa yang sama seperti hari-hari sebelumnya—sepi dan hampa. Matahari Brasil mulai menyinari lembah hijau yang terbentang luas di luar jendela kamar, menyapa dunia dengan cahaya keemasan yang lembut. Alexa membuka matanya perlahan, menatap langit biru yang mulai terlihat di balik tirai kamar tidur. Meskipun pemandangan itu indah, itu tidak cukup untuk mengusir kekosongan yang ada di dalam dirinya. Seperti biasa, pagi datang dengan rutinitas yang sudah dikenal, namun tanpa kehangatan yang diinginkan.
Dia duduk di tempat tidur, menarik napas dalam-dalam, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru yang tak lebih baik dari kemarin. Kamar tidur yang luas ini terasa begitu sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan. Tanpa berkata apa-apa pada dirinya sendiri, Alexa beranjak dan berjalan ke kamar mandi, mencuci muka dengan air dingin yang menyegarkan, meskipun tak bisa menghilangkan rasa lelah di matanya.
Sesaat kemudian, ia keluar dari kamar dan menuju ke ruang makan yang luas, di mana sarapan sudah disiapkan. Pembantu rumah tangga yang setia mengurus segala kebutuhan rumah tangga selama ini telah menyiapkan hidangan pagi yang sederhana, tetapi Alexa hanya mengambil secangkir americano dingin, yang rasanya hampir menjadi teman setianya dalam kesendirian.
Sambil meneguk kopi, pikirannya melayang kembali pada percakapan dengan Kenneth malam sebelumnya. Kata-kata yang dia dengar masih bergema di telinganya—kata-kata yang begitu sederhana, namun terasa berbeda dari biasanya. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," ujar Kenneth dengan tulus.
Bukan sekadar kata-kata basa-basi, ada kepedulian dalam suaranya yang membuat Alexa terperangah. Meski dia tak ingin mengakui itu, ada sesuatu yang menggetarkan hatinya, sesuatu yang sulit dia pahami. Kepedulian yang jarang ia temui dalam hidupnya. Sesuatu yang seolah meruntuhkan dinding yang selama ini ia bangun, meskipun hanya sedikit.
Namun, dengan cepat Alexa menepis perasaan itu. Tidak, dia tidak boleh terhanyut dalam perasaan tersebut. Ia harus tetap kuat. Selama ini, dia telah belajar untuk tidak bergantung pada siapa pun. Dunia ini tidak menawarkan kasih sayang yang tulus, hanya permainan kekuasaan dan ketertarikan yang sementara. Hanya dirinya yang bisa diandalkan. Hanya dirinya yang tahu betapa kerasnya hidup yang harus ia jalani.
Dengan secangkir kopi di tangan, Alexa melangkah keluar menuju halaman belakang tempat yang sering menjadi pelariannya saat dunia terasa begitu berat. Angin pagi menyapa wajahnya, dan dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Di bawahnya, lembah hijau dan hutan tropis yang mengelilingi mansionnya terlihat begitu damai, namun hatinya tetap tidak terisi. Meskipun keindahan alam ini mengagumkan, hanya dirinya yang tahu betapa kosongnya perasaan itu.
Saat Alexa berdiri di sana, menatap alam sekitar, ia harus melanjutkan hidup, menjalani hari demi hari dengan kekuatan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Dunia ini tidak peduli dengan apa yang ia rasakan, dan itulah kenyataan yang harus diterima.
Tidak ada lagi ruang untuk keraguan atau kelemahan. Ini adalah hidupnya, dan dia harus menghadapinya, apapun yang terjadi.