Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Menjalankan Misi
Bagi Ajeng hari ini waktu berjalan begitu cepat, belum apa-apa jam sudah menginjak di angka 10.
Berulang kali dia menelan ludahnya sendiri dengan kasar, begitu gugup mendekati detik-detik dia akan menjalankan misi bersama Sean.
Gadis cantik berambut panjang itu bahkan langsung bangkit dari duduknya ketika dia melihat sang anak asuh adalah yang pertama kali keluar dari dalam kelas dengan berlari.
"Ayo mbak Ajeng, cepat, sebelum om Deri datang," ucap Sean dengan tergesa dan makin membuat Ajeng semakin cemas.
Mereka berlari keluar, Sean keluar lebih dulu dibandingkan teman-temannya. Dia keluar disaat guru sedang mengucapkan salam.
"Stop!" ucap Sean lagi saat dia melihat om Deri sudah tiba di parkiran sekolah.
Jantung Ajeng makin berdegup. Mereka berdua saling menggenggam erat, saling menautkan jemari saat menjalankan misi ini.
"Kita lewat samping mbak, jangan gugup, pokoknya jalan terus."
"Baik Sen," jawab Ajeng patuh, sungguh saat ini Sean jauh lebih mirip yang berperan yang sebagai pengasuh.
Dengan langkah pasti Sean pun memimpin jalan mereka. Lewat pintu samping sekolah yang biasa dipakai keluar masuk petugas kebersihan.
Berhasil keluar dari sana, Sean pun berlari hingga Ajeng mengikuti, mereka menuju jalanan dan langsung mencegat taksi.
Tangan kecil Sean bergerak lincah untuk membuat taksi itu berhenti.
Dan ketika sudah duduk di dalam taksi tersebut, barulah Ajeng bisa bernafas dengan normal.
"Astagfirulahalazim, astagfirulahalazim, astagfirulahalazim," gumam Ajeng, dia mengelus dadanya sendiri dan merasakan jantung yang berdegup kencang.
"Tenang mbak Ajeng, yang penting sekarang kita temui mama dulu, masalah nanti pikir belakangan. Aku janji mbak Ajeng tidak akan dipecat."
"Bukan gitu Sen, mbak Ajeng cuma takut mengecewakan Oma Putri dan yang lainnya."
"Tenang saja, aku yakin mama juga akan membantu kita."
Ajeng coba mempercayai ucapan itu, dia bahkan mengelus puncak kepala Sean dengan penuh kasih sayang.
Semenjak 2 tahun ini sejak perpisahan kedua orang tuanya, Sean mengaku Jika dia tidak pernah bertemu dengan sang ibu.
Papa Reza dan semua keluarga seolah memang sengaja memisahkan mereka berdua.
Ajeng turut bersedih tentang hal itu, apalagi anak seusia Sean pasti membutuhkan lebih banyak kasih sayang dari sang ibu.
Dan setelah menempuh perjalanan beberapa menit akhirnya mereka tiba di salah satu gedung apartemen terbesar di kota Jakarta. Sean membayar taksi itu menggunakan uang tunai yang ada di dalam tasnya.
Uang yang dia punya lebih banyak daripada yang ada di dalam dompet milik Ajeng.
Semalam Sean dan sang mama pun sudah terhubung dalam sambungan telepon, diam-diam bocah genius itu menghubungi mamanya melalui telepon rumah.
Sementara nomor Mamanya sendiri bisa dia dapatkan dengan mudah melalui laptop miliknya, jejaring internet membuatnya mudah mendapatkan semua informasi.
Terlebih mama Mona bukanlah orang biasa, dia adalah seorang desainer ternama. Semua karyanya dikenakan oleh para artis dan kalangan atas di kota ini. Setiap hari butiknya pun tak pernah sepi dari pengunjung, bahkan sudah ada tiga cabang.
Sean terus menggandeng mbak Ajeng saat mereka masuk ke dalam apartemen itu. Penjaga keamanan pun langsung menghentikan mereka berdua.
Dan disinilah peran Ajeng digunakan oleh Sean.
"Aku dan kakak ku mau menemui mama, kami sudah membuat janji temu."
"Siapa nama mu Nak?"
"Sean Aditama."
"Anda?" tanya penjaga itu pada Ajeng.
Namun Ajeng begitu gugup untuk menjawab.
"Ajeng," Sean yang menjawab.
"Boleh tunjukkan kartu identitasnya?"
Ajeng mengangguk cepat, dengan buru-buru mengambil kartu tanda penduduknya di dalam tas.
Petugas itu melihat beberapa saat, lalu mempersilahkan keduanya masuk.
Ajeng tercengang, semakin dia masuk ke dalam apartemen ini semakin indah dia lihat, bangunan megah dengan langit-langit yang begitu tinggi.
Sean menarik Ajeng untuk masuk ke dalam lift.
"Mbak, tekan tombol 5, unit apartemen mama ada di lantai itu."
"Baik!" jawab Ajeng, diantara gugup dan antusias. Bersama Sean dia malah seperti sedang jalan-jalan.
Tiba di unit apartemen 5001, Sean meminta Ajeng untuk menekan Bell.
Tak tak butuh waktu lama, pintu itu pun terbuka ...
Monalisa berdiri disana dengan kedua mata yang berbinar, rindu luar biasa pada sang anak ...
"Sean," panggil Mona dia langsung berjongkok dan merentangkan kedua tangannya lebar, sementara Sean pun langsung berlari memeluk sang ibu.
"Mama!" pekik Sean dengan suara tertahan.
Seperti itu saja sudah berhasil membuat Ajeng menangis.
Ya, tak apa jika akhirnya dia akan dimarah, tapi yang jelas sekarang Sean bertemu dengan ibunya.