Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggalau
Sudah sebulan berlalu sejak Stella meninggalkan Kian. Dalam sebulan itu pula, hidup Kian berubah drastis. Ia seolah hanya menjalani hari-hari tanpa jiwa, seperti mayat hidup yang berjalan tanpa arah. Keheningan yang menemaninya menciptakan kekhawatiran mendalam bagi orang-orang di sekitarnya, terutama kakek, nenek, dan adik bungsunya, Tasya.
Hari ini pun tidak jauh berbeda. Kian duduk di tepi kolam besar di halaman belakang rumah, memandangi air tanpa fokus. Pikirannya melayang entah ke mana, sementara tubuhnya diterpa matahari yang begitu terik. Keringat membasahi wajahnya, tapi ia menghiraukannya. Kehilangan Stella telah mencuri semangat hidupnya.
Dari balik jendela, Grace mengamati cucunya yang tampak rapuh. Hatinya mencelos melihat Kian seperti itu. Dulu, Kian adalah sosok yang ceria, penuh tawa dan kehangatan. Namun kini, ia seperti bayangan dirinya sendiri. Grace menghela napas berat sebelum melirik ke arah suaminya, Devin, yang duduk di sebelahnya.
"Mas... Aku nggak tega lihat Kian kayak gini. Kerjaannya melamun terus," ucap Grace dengan suara pelan, tapi penuh kesedihan. Matanya tetap tertuju pada sosok cucu yang sangat ia sayangi itu.
Tasya yang duduk di sofa, sambil memeluk boneka kesayangannya, ikut angkat bicara. "Iya, Kek... Aku kangen sama Abang yang dulu. Yang baik, ramah, hangat. Sekarang dia dingin banget, kayak nggak peduli sama apa-apa lagi," ucapnya dengan nada lirih, matanya juga menatap ke arah Kian dengan raut khawatir.
Devin mengangguk pelan, menyadari bahwa sesuatu harus dilakukan. Perasaan galau dan patah hati Kian sudah mulai memengaruhi kesehariannya. Devin tahu, luka itu dalam, tapi ia tidak bisa membiarkan cucunya tenggelam dalam kesedihan terus-menerus.
"Mungkin Mas bisa coba ajak dia bicara. Tanya bagaimana keadaannya. Aku khawatir psikisnya terganggu lagi, seperti waktu kematian Gema dan kedua orang tuanya dulu," usul Grace, matanya penuh kekhawatiran yang mendalam.
Devin termenung sejenak, mengingat betapa hancurnya Kian saat kehilangan orang-orang yang ia cintai. Kesedihan yang menghantam Kian dulu hampir membuatnya terjebak dalam trauma yang dalam. Sekarang, kehilangan Stella tampaknya menggali kembali luka-luka lama itu.
"Yaudah, aku coba ajak dia ngobrol," ucap Devin sambil berdiri, lalu melangkah pelan menghampiri cucunya yang masih duduk diam di tepi kolam.
“Halo, Ian,” sapa Devin dengan nada lembut sembari duduk di samping Kian, menatap air kolam yang tenang.
“Eh, Kek,” balas Kian, lamunan yang tadinya menghanyutkannya seketika buyar. Namun, suaranya terdengar lesu, jauh dari semangat.
Devin menatap cucunya dengan penuh perhatian. "Kenapa dari kemaren lu cuma ngelamun aja? Cerita sama gua, Ian. Gak ada gunanya lu pendem sendiri," ucapnya, mencoba mencairkan suasana dengan pendekatan yang santai. Ia tahu, Kian bukan tipe orang yang mudah terbuka, tapi Devin selalu berusaha menjadi teman yang bisa Kian ajak bicara.
Kian terdiam, menundukkan kepalanya. Matanya tampak kosong, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
"Ian, kalo ada masalah, jangan sungkan cerita sama kita. Kasian Nenek sama Tasya. Mereka khawatir liat lu kayak gini. Kita nggak mau lu terpuruk lagi, cukup sekali aja dulu lu didiagnosis depresi karena lu milih diam," ucap Devin, suaranya penuh kasih sayang tapi tegas. Ia mengingatkan Kian tentang masa lalu yang pahit, saat Kian sempat mengalami depresi karena memendam semua luka dan kesedihannya sendirian.
Kian menghela napas panjang, akhirnya ia berbicara. “Kek... aku boleh ke Inggris nggak?” tanyanya, suaranya pelan tapi sarat dengan keinginan yang kuat.
Devin menoleh, menatap Kian dengan alis sedikit terangkat. “Mau ngapain ke sana?” tanyanya, meskipun sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
“Mau mastiin sesuatu,” jawab Kian singkat, namun nada suaranya penuh ketegangan yang tertahan.
“Masalah Stella?” tanya Devin dengan nada yang lebih lembut. Ia sudah bisa menebak arah pikiran cucunya.
Kian mengangguk pelan. "Iya, Kek. Dua minggu pertama setelah dia pergi, kita masih sering ngobrol. Tapi begitu masuk minggu ketiga, dia mulai ngilang, gak ada kabar. Aku cuma mau pastiin sendiri..." Kian terdiam sejenak, menguatkan dirinya untuk melanjutkan. “Dan... kata Deren, Stella diem-diem tunangan sama orang lain. Awalnya aku gak percaya, tapi aku dikasih video pertunangan mereka,”
Devin mendengarkan dengan seksama, memahami beban yang dipikul oleh cucunya. Ia mengangguk perlahan, mencoba mencerna situasinya. Setelah beberapa saat, Devin mengeluarkan ponselnya dan dengan tenang menelepon seseorang.
“Halo, Anton? Tolong beliin tiket pesawat ke Inggris buat si Kian. Ya, secepatnya,” ucap Devin dengan nada serius di telepon.
Setelah menutup telepon, Devin menatap Kian dengan serius, tapi penuh kasih sayang. “Ian, inget satu hal! Mau itu beneran Stella udah tunangan atau nggak, lu jangan emosi dan apalagi sampai ngerusak hubungan mereka. Gimanapun juga, lu harus siap dengan segala kemungkinan,” nasihat Devin tegas, namun hangat.
Kian mengangguk perlahan, meskipun rasa tak menentu masih menggantung di dadanya. "Iya, Kek. Tenang aja, aku bakal tanam itu di kepala. Aku cuma mau pastiin semuanya sendiri," jawabnya, suaranya lebih tenang meski dalam hati masih ada riak kekhawatiran.
Devin tersenyum tipis, lalu merangkul Kian erat. “Nah, ini baru cucu Kakek! Pewaris Daryand Group harus punya kontrol emosi yang kuat. Gua kasih lu tiga hari buat ngurus urusan di sana. Inget, jangan lama-lama,” ucapnya sambil menepuk bahu Kian dengan penuh kebanggaan.
“Iya, tiga hari cukup kok,” sahut Kian mantap. Setelah percakapan singkat namun penuh makna itu, mereka berdua berjalan kembali ke dalam rumah, melewati teras yang mulai sejuk karena matahari perlahan bersembunyi di balik awan.
......................
Beralih ke Mansion Keluarga Firdausi...
Di sebuah kamar mewah di mansion keluarga Firdausi, Keira sedang sibuk memasukkan beberapa setel pakaian ke dalam koper besar. Wendy, ibunya, berdiri di sebelahnya, memperhatikan dengan cermat setiap pakaian yang dimasukkan. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran, meskipun dia berusaha untuk tidak memperlihatkannya terlalu jelas.
“Ingat ya, Kak. Jangan kebanyakan makan junk food di sana. Tetap harus rajin olahraga,” ucap Wendy sambil menatap anaknya dengan penuh perhatian. Suaranya sarat dengan peringatan yang sudah diulang berulang kali.
“Iya, Ma, aku tahu. Mama udah bilang itu berapa kali sih hari ini? Seribu? Dua ribu kali?” sahut Keira sambil tersenyum lelah, menutup kopernya setelah memastikan semuanya sudah masuk.
“Kamu itu, harus diingetin dulu baru nurut. Nanti kalau nggak diomelin dan diingetin, ada masalah, baru ngeluh,” balas Wendy dengan nada bercanda, meski tetap terkesan khawatir.
Keira tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Ma, aku udah gede. Udah bisa jaga diri sendiri,” katanya sembari memeluk ibunya sebentar, mencoba menenangkan kegelisahan yang tersirat di wajah Wendy.
“Justru karena kamu udah gede, kamu harus lebih perhatian sama kesehatanmu. Mama kan nggak bisa selalu ada di sampingmu buat ingetin. Apalagi di Inggris nanti, kamu bakal sibuk,” ucap Wendy, nada suaranya melembut. Ia sadar betul bahwa waktu-waktu bersama anaknya akan semakin jarang.
Keira menatap ibunya dengan senyum lembut. “Iya, Ma. Aku ngerti kok. Jangan khawatir, aku bakal baik-baik aja. Aku nggak akan lupa olahraga, apalagi kalau ingat Mama udah kasih peringatan ribuan kali ini,” balasnya dengan senyum bercampur haru.
Wendy terdiam sejenak, memandangi wajah putrinya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Hari ini, Keira harus berangkat ke Inggris untuk mengurus anak perusahaan Keinan Group di sana yang sedang tidak stabil selama beberapa hari.
“Yaudah, mama percaya sama kamu,” ucap Wendy pelan, sebenarnya ia tidak mau melepaskan anaknya itu. Namun, setelah dibujuk puluhan kali oleh suami dan Keira, Wendy akhirnya luluh.
Keira tersenyum, kemudian merapikan koper-kopernya. Meskipun ia siap dengan tantangan baru di Inggris, ada perasaan berat di hatinya saat meninggalkan rumah dan keluarganya.