Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oh, My Teacher!
Amira terdiam dengan perasaan sesak dalam dada. Mudah sekali Tristan bicara begitu. Amira tidak setuju dengan keputusannya. Apa Tristan tidak sadar kalau Amira masih duduk di kelas 12. Jika dia hamil mau bagaimana? Tristan bicara tidak pakai otak alias ngawur!
"Kenapa masih berbaring? Ambil tisunya. Apa mau lagi?" godanya sambil menaikan sebelah alisnya.
Amira berdesis sebal sambil merampas tisu dari tangan Tristan. Dia beranjak duduk dan merapikan penampilannya. Ingin segera pergi, malas meladeni orang yang tidak sepemikiran. Namun, lupa sesuatu, Amira harus memanfaatkan situasi dengan sebaik mungkin.
"Aku anggap kali ini tidak sengaja, jangan sampai ada lain kali!" ancamnya sambil melotot.
"Iya, iya, saya lupa bawa kond'om barusan." Tristan kembali mendekati Amira. "Ngomong-ngomong ada apa dengan suasana hatimu hari ini, hm? Apa yang mengganggumu?"
"Ah, itu ...." Amira terdiam sejenak sambil memutar bola matanya. "Ibu masuk rumah sakit lagi. Aku butuh biaya banyak," jawabnya sambil cemberut manja dan membuat lingkaran di dada Tristan.
"Lagi? Sudah keberapa kalinya ibumu masuk rumah sakit sejak kita menikah, Amirah. Kita belum setahun menikah, ibumu sudah berkali-kali jatuh sakit. Kamu tidak mau memberitahu saya mengenai penyakitnya?" tuntut Tristan dengan nada memaksa.
"Bukannya tidak mau memberitahu, tapi ibuku memang penyakitan dan sudah sering keluar masuk rumah sakit. Kata Dokter, Ibu terlahir dengan fisik yang lemah."
"Pertemukan saya dengan ibumu, lalu kita bawa ibumu berobat ke luar negeri."
Amira langsung bungkam seketika. Dia meremas ujung roknya, menunjukkan keraguan. "Aku ... aku tidak bisa."
"Kenapa? Setiap kali saya ingin bertemu dengan ibumu, kamu selalu bilang tidak," tanya Tristan tak habis pikir.
"Memangnya apa yang mau kamu katakan jika bertemu dengan ibuku? Kamu mau bilang kamu suamiku, begitu? Atau menikah kontrak denganku? Tidak, Tan. Itu tidak boleh. Ibuku tidak boleh tahu mengenai pernikahan kita. Dia tahunya aku ke Ibu Kota untuk bekerja," ucap Amira sambil menatapnya getir.
"Dari awal kamu telah salah mengambil keputusan. Tidak seharusnya kamu menyembunyikan pernikahan kita dari ibumu. Ketika rahasia ini terbongkar dari mulut orang lain, ibumu akan sangat kecewa."
"Kamu pikir jika aku memberitahu ibuku, dia akan mengizinkan aku menikah denganmu? Tan, kita menikah hanya karena saling menguntungkan. Kamu butuh istri dan aku butuh uang. Itu saja! Sekarang kamu sudah melewati batas. Aku tidak suka kamu mencampuri urusanku apalagi terus-menerus ingin tahu tentang Ibu. Aku juga tidak pernah ingin tahu tentangmu selama ini. Jadi, simpan saja rasa penasaranmu. Ibuku biar aku yang urus." Amira bicara dengan penuh penekanan. Sorot matanya sangat tajam dan dalam. Membuat Tristan tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti keputusannya.
"Tamam (Baik), saya minta maaf. Berapa yang kamu butuhkan?" tanya Tristan mengalah. Dia tidak mau ambil pusing. Jika Amira bilang tidak boleh, ya sudah tidak boleh. Cukup hargai privasinya saja. Toh mereka bukan suami-istri sungguhan seperti pada umumnya. Ada banyak batasan dan ketentuan diantara mereka.
Tristan mengambil cek dan siap menulis nominal.
"Emm ... mu-mungkin sekitar 80-jutaan," ucap Amira malu-malu sambil mengusap tengkuk lehernya. Dia merasa tidak enak hati mengucapkan nominal yang besar setelah marah-marah.
Dengan santai dan damai sentosanya Tristan menulis angka 80 juta, lalu menyobek cek tersebut dan memberikannya pada Amira secara cuma-cuma.
Amira tak langsung mengambilnya. "Kamu ... yakin?" tanyanya dengan binar di mata. Pupilnya mendadak berubah jadi warna hijau.
Tristan menaikan dagunya sambil duduk bak seorang raja di singgasananya. "Hanya secarik kertas dengan beberapa angka saja, apa yang perlu diragukan?" ujarnya sombong.
"Jika kamu mencium saya, mungkin nominalnya bisa bertambah," goda Tristan sambil memutar kursi kerjanya.
"Serius?"
Tidak ada yang bisa menahan godaan uang. Amira langsung lompat dari meja dan ternyata kakinya tidak sekuat itu sampai dia hampir terjatuh. Untung saja Tristan dengan sigap menangkapnya dan meraihnya ke dalam pelukan.
Amira pun tak tanggung-tanggung menciumnya bertubi-tubi. Dari kening, hidung, pipi, dagu sampai bibir, semuanya dapat bagian.
"Muach, muach, muach, muach! Maaf ya, tadi sempat marah-marah hehe, makasih ...."
"Dikasih uang baru nyengir," sindir Tristan sambil geleng-geleng kepala. Uang memang dapat merubah perilaku seseorang dengan cepat. Lebih besar nominalnya, lebih baik pula perilakunya. Amira contohnya.
°°°
Amira ke luar dari ruangan Tristan sambil menyeret kaki dengan memasukan cek tersebut ke dalam saku seragamnya. Dia menoleh ke samping, Guru BK ternyata masih siaga di sana.
Melihat keadaan kaki Amira dengan langkah terpincang-pincang, Damar menyeringai bagai kuda sambil menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kalau dia akan tutup mulut seperti biasa.
Mempunyai rekan biadab seperti Tristan membuatnya malu sendiri pada Amira.
Dari kejauhan Uci dan Sofi langsung datang menghampiri sambil membawa beberapa botol es boba di tangan mereka. Uci memberikan salah satu es boba untuk Amira dengan rasa penasaran.
"Diapain kamu sama Pak Tristan nyampe encok gitu?" tanya Uci cemas.
"Muka kamu juga nyampe pucet lho, Ra. Keringetan banyak gini. Kamu gapapa, kan?" tutur Sofi sambil memapah Amira.
"Huhuu ... aku disuruh ngerangkum 1 bab penuh, terus tadi pas udah beres, Pak Tristan nyuruh aku squat jump 50 kali coba. Gila gak tuh? Nyampe bengkak nih kaki. Duduk dulu ah, bisa pingsan aku," dusta Amira, merengek dipelukan Sofi dengan wajah memelas sambil menyeruput es boba karena memang sangat haus. Tenggorokannya kering bak gurun pasir.
"Squat jump 50 kali?!"
"Seriusan?"
"Duarius! Malah tadinya dia nyuruh 100 kali, stres emang."
"Kok Pak Tristan jahat banget, sih?! Jadi ilang resfect, deh!"
"Lagian kalian segitunya nyembah-nyembah Pak Tristan. Udah tau kan sekarang orangnya kayak gimana, gak berperasaan! Tadi di dalem ruangan dia, aku dipelototin terus sama lubang hidungnya yang gede. Hih, serem! Ci, cariin tukang urut. Harus diurut ini mah, kayaknya ada yang salah urat," kicau Amira merembet ke mana-mana demi membuat teman-temannya percaya.
Di dalam ruangan, Tristan mendadak bersin-bersin.
Haccu, haccuu...!
"Uh, siapa yang lagi ngomongin saya?" gumamnya sambil mengusap hidung mancungnya.
...
'Gak ada yang sok jaim ya di sini. Kalau suka kasih komentar aja. Kamu normal berarti, hwehehe! Inget, cerita ini cuma hiburan!'
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor