Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RASA YANG BARU
Annisa tersenyum tipis sambil bergumam pelan, “Ternyata Mas Damian lucu juga.” Ia tak bisa menahan tawa kecil ketika mengingat tingkah Damian yang tiba-tiba menariknya ke tangga darurat hanya untuk memastikan ia baik-baik saja. Sisi perhatian dan canggung yang jarang terlihat dari pria itu membuat Annisa tersipu.
Namun, baru saja Annisa hendak menuju mejanya, Gina mendekat dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Eh, Nis, kok senyum-senyum sendiri? Ada yang lucu, ya?”
Annisa tersentak sedikit, lalu cepat-cepat menormalkan ekspresinya. “Oh… nggak, cuma kepikiran sesuatu aja.”
Gina mengangkat alis, menatap Annisa penuh selidik. “Pasti ada sesuatu, deh. Kamu biasanya nggak senyum-senyum sendiri gitu. Atau ini tentang CEO baru kita, ya?”
Annisa tertawa kecil, berusaha terlihat santai. “Aduh, kamu suka banget gosip. Nggak ada apa-apa, Gina. Aku cuma lagi mikir soal pekerjaan aja, kok.”
Gina masih tampak penasaran. “Hmm… kalau soal pekerjaan, kenapa sampai tersenyum begitu? Wah, jangan-jangan ada kisah cinta rahasia di sini!” katanya sambil tertawa menggoda.
Annisa menepuk bahu Gina pelan, tertawa untuk mengalihkan topik. “Jangan asal nebak, ah. Kita fokus kerja lagi aja, ya?”
Gina masih tersenyum jahil, tapi ia akhirnya menyerah dan kembali ke mejanya. Annisa menghela napas lega, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. Meski dalam hati, ia terus mengingat momen canggung dengan Damian di tangga darurat tadi.
Tak lama setelah kembali ke mejanya, ponsel Annisa bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Ia membuka pesan tersebut dan menemukan pesan dari Damian.
“Annisa, nanti pulang sama aku, ya. Aku akan jemput di lobby kantor.”
Annisa tertegun sejenak membaca pesan itu, merasa sedikit gugup sekaligus senang. Damian jarang sekali menawarinya hal seperti ini. Selama ini, mereka lebih banyak menjalani kehidupan masing-masing, bahkan sekadar pulang bersama jarang mereka lakukan.
Annisa mengetik balasan singkat, “Apa ini aman, Mas? Kalau sampai ada yang tahu…”
Tak lama, balasan dari Damian muncul, “Nggak usah khawatir. Aku akan jaga supaya nggak ada yang curiga. Anggap saja ini sebagai langkah kecil untuk kita.”
Annisa tersenyum, merasa ada sedikit kehangatan dalam pesan Damian. Tak biasanya pria itu perhatian seperti ini, apalagi setelah begitu lama hubungan mereka terasa hambar. Ia hanya bisa berharap perubahan Damian ini bukan hanya sesaat.
Saat hari kerja berakhir, Annisa mulai merasa canggung ketika waktu pulang semakin dekat. Beberapa rekan di sekitarnya masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dan ia berusaha untuk keluar dari kantor tanpa menarik perhatian. Setibanya di lobby, ia melihat Damian sudah menunggunya di dekat pintu.
Damian melambaikan tangan, dan Annisa menghampirinya dengan langkah hati-hati, menjaga jarak agar terlihat seperti pertemuan biasa. "Mas Damian... kita pulang sekarang?"
Damian tersenyum, lalu berbisik, “Iya, mari kita pulang.” Ia membukakan pintu untuk Annisa, dan keduanya pun melangkah menuju mobil Damian yang terparkir di depan kantor.
Di dalam mobil, mereka berdua sempat terdiam. Damian yang memecah kesunyian, berkata dengan nada tenang, “Aku tahu ini mendadak, tapi… aku ingin kita mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama. Mungkin kecil, seperti ini.”
Annisa menatap Damian sekilas, lalu tersenyum kecil. “Iya, Mas… aku mengerti. Terima kasih sudah mau mencoba.”
Damian mengangguk, lalu melajukan mobil perlahan menuju rumah mereka. Hari itu, Annisa merasakan ada harapan baru dalam hubungan mereka, dan untuk pertama kalinya, ia berharap bisa melewati lebih banyak waktu dengan Damian tanpa harus menyembunyikan perasaan.
Perjalanan pulang terasa tenang, dengan suasana hening yang berbeda—bukan lagi hening yang canggung, tapi lebih seperti kehangatan yang baru tumbuh di antara mereka. Damian sesekali melirik Annisa yang terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri.
Setelah beberapa menit, Damian akhirnya berbicara, "Nis, maaf kalau selama ini aku belum bisa ada buat kamu. Aku sadar... ada banyak hal yang mungkin kamu rasakan, yang nggak pernah aku tahu."
Annisa menoleh, sedikit terkejut mendengar Damian membahas hal itu. "Nggak apa-apa, Mas. Aku juga mengerti kalau kita berdua memang butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Kita... kita ada dalam situasi yang nggak mudah."
Damian mengangguk, tampak berpikir. "Aku ingin kita mulai mengubah itu, Nis. Aku sadar kalau aku selama ini banyak menuntut, tapi tidak pernah benar-benar berusaha mendekat ke dunia kamu." Ia menarik napas, lalu melanjutkan dengan hati-hati, “Makanya aku juga ambil keputusan soal kantor kamu. Supaya aku bisa lebih dekat, bisa tahu apa yang kamu lakukan setiap hari.”
Annisa mendengar perkataan Damian dengan campuran emosi. Awalnya ia ragu dengan keputusannya yang tiba-tiba membeli perusahaan tempatnya bekerja, tetapi sekarang ia sedikit memahami alasan di baliknya. "Aku sempat merasa aneh waktu kamu bilang mau beli perusahaan itu, Mas. Tapi kalau memang tujuannya seperti ini, mungkin aku harus belajar menerimanya."
Damian tersenyum kecil. “Aku nggak akan ganggu ruang kerja kamu, kok. Tapi aku ingin kita sama-sama belajar buat saling memahami lebih baik lagi. Mungkin ini langkah kecil, tapi aku yakin kita bisa bangun hubungan yang lebih baik kalau kita mulai dari sini.”
Mereka tiba di rumah tak lama kemudian. Sebelum keluar dari mobil, Damian menatap Annisa dengan ekspresi serius. “Nis, terima kasih sudah mau memberikan kesempatan ini. Aku tahu, mungkin butuh waktu… tapi aku akan berusaha.”
Annisa menatap Damian, merasa hangat dan nyaman. “Aku juga akan berusaha, Mas. Terima kasih sudah mau mencoba.”
Setelah keluar dari mobil, Damian dan Annisa berjalan menuju rumah dengan langkah tenang, menikmati keheningan malam yang terasa damai. Begitu masuk ke dalam, mereka disambut oleh Clara yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
“Daddy! Tante!” seru Clara riang sambil berlari menghampiri mereka. Senyumannya yang lebar membuat Annisa tak bisa menahan rasa hangat di dadanya.
Damian berjongkok, memeluk Clara erat. "Dad dan Tante baru pulang, kamu nggak tidur terlalu malam, kan, sayang?"
Clara menggeleng sambil terkikik. “Aku nunggu Daddy sama Tante pulang dulu. Aku kangen!” katanya sambil menatap Annisa.
Annisa tersenyum, lalu berjongkok untuk menyamai pandangan Clara dan menyentuh lembut pipinya. "Kita juga kangen kamu, Clara."
Clara tersenyum semakin lebar, lalu tiba-tiba bertanya, “Daddy sama Tante kenapa pulangnya bareng sekarang? Biasanya Tante pulang sendiri.”
Damian dan Annisa saling pandang, sedikit canggung dengan pertanyaan spontan Clara. Damian akhirnya menjawab sambil tertawa kecil, “Daddy dan Tante sekarang mau mulai lebih sering pulang bareng, supaya bisa lebih banyak waktu sama kamu.”
Clara tampak senang mendengar itu. “Asyik! Jadi kita bisa main lebih lama!”
Annisa tersenyum, merasa damai melihat kehangatan yang mulai terjalin antara dirinya, Damian, dan Clara. Setelah beberapa lama berbincang dan mendengarkan cerita-cerita Clara, Damian mengantarkan putrinya ke kamar, membantu Clara bersiap untuk tidur.
Saat Damian keluar dari kamar Clara, Annisa sudah menunggunya di ruang keluarga, duduk dengan segelas teh hangat di tangannya. Damian menghampiri dan duduk di sampingnya, menghela napas dalam. "Rasanya menyenangkan bisa pulang dan kumpul begini," katanya pelan.
Annisa tersenyum. "Aku juga merasakannya, Mas. Rasanya… kita seperti keluarga seutuhnya."
Damian menatap Annisa dengan ekspresi lembut. “Terima kasih karena kamu sudah bertahan selama ini, Nis. Aku tahu, mungkin nggak mudah buat kamu menerima semua ini. Tapi aku benar-benar ingin berusaha jadi suami yang lebih baik untuk kamu… dan jadi ayah yang lebih baik buat Clara.”
Annisa terdiam sejenak, terharu mendengar pengakuan Damian. “Aku juga ingin jadi istri yang lebih baik, Mas. Dan mungkin, kalau kita berdua sama-sama mencoba, kita bisa buat Clara tumbuh di lingkungan yang penuh cinta.”
Damian mengangguk, matanya menyiratkan kehangatan yang Annisa jarang lihat sebelumnya. Mereka berbincang hingga larut malam, membicarakan hal-hal ringan hingga mimpi-mimpi masa depan yang tak pernah sempat mereka bicarakan sebelumnya. Malam itu, Annisa merasakan harapan baru yang nyata. Sesuatu yang awalnya hanya sebuah pernikahan karena kewajiban, kini perlahan berubah menjadi sebuah ikatan yang lebih dalam.
“Rum, aku tidak akan mencoba untuk melupakan cinta kita. Tetapi kamu memilih Annisa untuk berada disamping ku. Maaf karena selama ini aku sudah banyak membuat adikmu menangis. Aku mencintaimu...”
Damian menipiskan bibir seraya menarik nafas panjang. Matanya terpejam sesaat, dan wajah Annisa yang tersenyum langsung menyambutnya saat matanya terbuka.