Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rehat?
Alvian terpaku.
Dia mencerna semua ucapan Aisha kepadanya, termenung hingga tak menyadari jika Aisha kini sudah tak ada lagi di dalam kamar.
Alvian mundur beberapa langkah kemudian duduk lemas di atas tempat tidur.
Jadi benar. Janji yang dia maksud waktu itu adalah janjinya pada Anita untuk tak menyentuhnya.
Dia kini mengerti semuanya, sebab musabab semua perlakuan Aisha selama ini. Bukan karena Aisha juga terpaksa akan pernikahan ini. Tapi istrinya itu tahu akan janjinya pada wanita lain.
"Tapi dimana dia tahu?"
"Tidak mungkin dia yang mengatakannya," gumamnya dalam hati.
Tengah malam.
Alvian melihat Aisha yang berbaring di atas kasur lantai di bawahnya, berbaring masih mengenakan cadar membelakanginya.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Alvian tiba-tiba.
Tak ada jawaban.
"Aku tahu kamu belum tidur," ucap Alvian lagi.
Aisha yang memang belum tidur tak ingin merespon.
"Jadi tolong jawab pertanyaanku," ucap Alvian lagi.
Aisha tetap terdiam.
"Darimana kamu tahu soal janji itu?"
"Apa Anita yang mengatakannya padamu?"
"Tolong jawab karena aku sangat penasaran." Alvian bangun dari tidurnya, melihat Aisha di bawahnya.
"Dari sekian banyak yang saya katakan pada anda tadi, rupanya hanya hal itu saja yang mengganggu pikiran anda hingga tak bisa tidur," jawab Aisha sambil tersenyum sinis di balik selimut.
"Dari mana saya tahu itu tidak penting," lanjutnya lagi sambil menarik selimut sampai menutupi kepalanya.
Alvian terdiam, entah kenapa lontaran jawaban Aisha selalu membuatnya mati kutu hingga tak bisa berkata apa-apa lagi.
Dia kembali berbaring, menarik selimut dan membalikkan tubuhnya membelakangi Aisha.
'Hanya itu saja?' kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Alvian.
Jika istrinya tahu, sebenarnya bukan hanya masalah 'janji' saja yang menjadi pikirannya, dirinya tidak bodoh hingga bisa melupakan semua perkataan Aisha padanya.
Seandainya Aisha tahu jika sebutan suami dzalim sangat menohok hatinya, walaupun dia tak memungkiri jika semua perkataan Aisha memang benar adanya.
Dia memang masih mencintai dan menjalin hubungan dengan wanita lain sementara dirinya sudah mempunyai istri, memang benar juga jika dirinya tak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan tak menerima Aisha sebagai istrinya.
Alvian menarik napas sambil memejamkan matanya, berusaha untuk tidur walaupun masih banyak hal yang dia pikirkan.
***
Sepanjang perjalanan pulang ke kota, keduanya diam membisu, Alvian fokus menyetir sementara Aisha hanya memandangi jalan lewat jendela di sampingnya.
Sesekali Alvian melirik istrinya, tampak merenung menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Apa kamu memikirkan perkataan orang tuaku tadi saat kita berpamitan?"
"Tidak."
"Lalu apa yang kamu pikirkan?"
"Kenapa anda ingin tahu?" tanya Aisha datar tanpa melihat suaminya.
"Aku hanya takut kamu memikirkan perkataan ayahku yang katanya ingin segera menimang cucu,"
"Saya tak pernah memikirkan itu. Ayah anda pasti bisa menunggu kira-kira dua tahunan lagi untuk bisa menimang anak anda dan dokter itu."
Alvian terdiam. Merasa heran karena istrinya itu selalu saja memiliki jawaban menohok untuknya.
"Soal perceraian nanti. Alasan apa yang akan kita katakan pada kedua orang tua kita?"
"Terserah anda," jawab Aisha cuek masih dengan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Aku tidak tahu. Kamu saja yang mencari alasannya."
"Kalau terserah saya. Saya tidak mau berbohong."
Alvian langsung melihat istrinya.
"Kamu akan bilang kalau aku selingkuh?"
Aisha melihat suaminya.
"Tidak ada kecocokan maksud saya. Tenang saja saya tak akan mengatakan soal perselingkuhan anda. Saya masih mempunyai sedikit hati nurani," jawabnya pelan
Aisha kembali melihat jendela kaca di sampingnya.
Mengatakan yang sebenarnya hanya akan membuat mertuanya kecewa dan marah, belum lagi kedua orang tuanya, karena itu biarlah dirinya sendiri saja memendam rasa itu.
***
Sesampainya di apartemen, Aisha langsung masuk ke dalam kamarnya. Sementara Alvian bersiap untuk pergi ke Rumah Sakit.
Di Rumah Sakit.
Alvian berjalan melewati koridor, sedikit tergesa-gesa karena ada operasi yang harus dilakukannya.
"Al ..." Suara Anita memanggilnya.
Alvian langsung menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya melihat Anita yang berjalan menghampirinya.
"Kamu sudah pulang?"
"Iya. Baru saja," jawab Alvian sambil melihat jam tangannya.
"Al. Mengenai waktu itu, aku minta maaf. Aku terbawa emosi."
Alvian kembali melihat jam tangannya.
"Aku buru-buru. Aku ada operasi. Aku pergi dulu ya. Nanti kita bicara lagi." Alvian berjalan meninggalkan Anita.
Anita bengong. Merasa jika Alvian menghindarinya.
"Apakah dia masih marah karena kejadian waktu itu?" Anita bertanya-tanya dalam hatinya.
Anita merasa menyesal, seharusnya dia bisa mengendalikan diri, tidak terbawa emosi dan menempatkan Alvian pada posisi serba salah waktu itu.
Kekesalannya pada Aisha yang membuatnya hilang kendali, mengingat itu, Anita kembali merasa kesal.
Rasa iba yang dulu dia rasakan pada Aisha kini berganti menjadi rasa marah dan benci, pikirannya tentang Aisha yang juga terpaksa menikah dan tidak menginginkan Alvian dirasa salah karena menurutnya Aisha justru ingin mempertahankan Alvian dan rumah tangganya.
Anita yakin jika perceraian setelah menikah setahun hanya trik Aisha saja.
***
"Maafkan aku. Aku tahu jika seharusnya aku bersabar menunggu beberapa bulan lagi hingga kamu dan Aisha bercerai." Anita memegang tangan Alvian.
Alvian segera melepaskan tangan Anita yang tentu saja membuat kekasihnya itu kaget.
"Al ...?" tanya Anita heran.
"Maafkan aku Nit. Tapi bisakah sebelum aku berpisah dengan istriku kita rehat dulu sebentar."
Anita mengerutkan keningnya.
"Rehat? Apa maksudnya?"
"Nit. Aku dan dia pasti berpisah. Setelah setahun menikah kami akan bercerai. Tapi sebelum aku bercerai dengannya secara sah. Biarkan aku menjadi suami yang baik untuknya."
"Aku tak mengerti." Anita menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tak ingin menjalin hubungan dengan wanita lain sementara aku masih berstatus sebagai seorang suami. Jadi lebih baik kalau kita putus dulu," jawab Alvian hati-hati.
"Apa?" Anita berkaca-kaca.
"Iya Nit. Setelah itu. Setelah aku bercerai dengannya. Mari kita lanjutkan kembali hubungan kita. Ini akan lebih baik, untukmu dan untukku."
"Jika kita seperti ini terus. Hubungan kita dibayangi dengan dosa dan rasa bersalah. Aku mengkhianati istriku, dan kamu? Cap buruk akan kamu dapatkan jika orang tahu kalau aku sudah menikah."
"Kenapa kamu baru memikirkannya sekarang?" tanya Anita berderai air mata.
"Disaat aku sudah merelakanmu menikahi wanita lain waktu itu, sehari setelah kamu menikah, kamu datang padaku dan memohon agar aku tak meninggalkanmu."
"Kenapa waktu itu kamu tidak berpikir tentang dosa dan rasa bersalah juga berpikir untuk 'menjadi suami yang baik' hah?"
"Kenapa juga kamu tidak berpikir tentang image yang akan aku dapatkan karena memacari suami orang?"
"Kenapa baru sekarang kamu berpikir seperti itu?" tanya Anita sambil terisak.
"Semuanya karena Aisha. Dia mengajariku banyak hal."
"Kalau begitu kenapa harus bercerai dengannya jika kamu bisa belajar banyak darinya?" tanya Anita dengan sangat marah.
Alvian tertegun.