Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam
Dina duduk di kursi studio, menunggu dengan sabar sementara rai sedang berlatih suara untuk lagu terbarunya. Setelah sibuk membuat video untuk Instagram rai dan membagikannya ke para fans, Dina akhirnya punya sedikit waktu untuk bersantai. Namun, pikirannya masih terpaku pada sesuatu yang baru saja ia lihat.
Dina membuka ponselnya lagi, menggeser ke foto gadis kecil yang mereka lihat tadi. Ia melihat wajah gadis kecil itu, lalu menoleh ke arah rai yang sedang menyanyi di ruangan sebelah, wajahnya penuh konsentrasi. Dina mengernyitkan dahi, bergumam dalam hati, “Kenapa mereka mirip sekali?”
Dina berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Mungkin ibunya fans berat rai, makanya anaknya mirip dengan rai " gumamnya lagi, mencoba mencari alasan logis. Tapi, meskipun dina mencoba untuk mengabaikan perasaan aneh itu, ada sesuatu yang terus mengganggunya. Nalurinya mengatakan ada yang lebih dari sekadar kebetulan. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan mudah.
Dina kembali melihat foto gadis kecil itu, matanya tak bisa lepas dari senyum manis gadis kecil bergaun merah muda itu. Ada sesuatu di balik wajah mungil itu yang memanggil-manggil hatinya, seolah ada hubungan yang lebih dalam yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Apa yang aneh ?" pikir dina dalam hatinya. Perasaan itu semakin kuat, seolah ada potongan teka-teki yang hilang, dan ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, untuk sekarang, dia hanya bisa menyimpan keraguannya dalam diam, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap misteri ini.
Dina kembali menatap rai, membiarkan pikirannya berkelana sejenak. "Rai tahu nggak ya calon bayinya laki-laki atau perempuan?" tanyanya dalam hati. Ada rasa penasaran yang tak tertahankan, dan ia merasa ada yang janggal. Tak lama setelah itu, Rai menyelesaikan latihannya, dan dina dengan cepat memberikan sebotol air untuknya.
Rai meneguk air itu dengan haus, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. "Terima kasih kak " ucapnya dengan suara yang tenang. Dina mengangguk, namun perhatiannya masih terfokus pada rai. Dalam pikirannya, dia terus mencari jawaban atas rasa ingin tahunya.
" Kak, kamu kenapa?" tanya rai, menangkap tatapan dina yang penuh tanda tanya. Dina tersentak dan menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa ingin tahunya. Ia kemudian mengemas tasnya.
"Sudah selesai? Kita pulang yuk. Kamu butuh istirahat. Besok ada kerjaan lagi " katanya, berusaha terdengar santai. Rai hanya mengangguk setuju, dan mereka melangkah keluar dari studio bersama-sama.
Di dalam mobil, suasana sejenak hening. Namun, Dina merasa dorongan untuk bertanya semakin kuat. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan pertanyaan yang sudah berputar di kepalanya.
"Rai, bolehkah aku bertanya?" tanyanya, nada suaranya lembut. Rai menoleh, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. "Boleh kak " jawabnya.
Dina menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. "Saat bayimu dalam kandungan, kamu tahu nggak bayimu laki-laki atau perempuan?"
Rai, yang awalnya sedang asyik bermain dengan ponselnya, tiba-tiba terhenti. Kenangan masa lalu menyeruak dalam pikirannya, mengingat kembali saat-saat bahagia dan harapannya ketika mengandung.
"Calon bayiku perempuan kak " katanya lirih, suaranya bergetar, seolah mengungkapkan harapan dan kerinduan yang terpendam dalam hatinya.
Dina menatap rai, merasakan kesedihan yang mengalir, seakan sebuah jendela ke masa lalu terbuka di antara mereka.
Rai menatap jauh ke luar jendela mobil, seolah mencoba menjangkau masa lalu yang begitu berharga.
"Aku juga masih ingat nama yang ingin kuberikan untuk anakku, namanya rachelin " ucapnya dengan nada lembut, setiap kata mengalir penuh emosional.
"Rayan, Rachelin, dan Rai. Aku sengaja menamainya Rachelin agar sama dengan namaku dan Rayan, sama-sama berawal dari huruf R."
Dina mendengarkan dengan seksama, hatinya bergetar mendengar nama itu, seolah nama tersebut mengandung semua harapan dan cinta yang belum sempat terwujud. Rai melanjutkan,
"Kakak tahu, setiap hari aku mengajak calon bayiku bicara saat dia masih dalam perutku. Dia bergerak di perutku, masih kuingat sampai sekarang. Setiap pagi, ayahnya selalu mengajakku jalan-jalan pagi. Ayahnya sangat menyayangi kami, tapi sekarang mereka berdua meninggalkan aku."
Saat Rai mengucapkan kata-kata terakhir, suara Rai mulai bergetar, dan mata dina tak dapat menahan air mata yang mengalir. Dia menatap Rai, merasakan kesedihan yang mendalam dari kisah yang diungkapkan.
Air mata dina mengalir tanpa bisa ditahan, karena tak sanggup mendengar betapa dalamnya rasa kehilangan yang dialami rai. Dalam kesunyian mobil yang hangat itu, ada jalinan rasa simpati yang kuat, seolah kedua sosok itu berbagi beban yang sama.Rai menggenggam erat ponselnya di pangkuannya, seolah itu bisa memberinya kekuatan. Setiap kata yang diucapkannya terasa berat, seolah memanggil kembali kenangan yang tersimpan dalam relung hatinya.
"Aku pernah cerita sama ayahnya anakku kak " ucapnya dengan suara bergetar. "Kalau putri kami lahir, aku ingin jalan-jalan sama mereka, biar ada kenangan, biar pas putri kami sudah besar, aku ada cerita untuknya."
Ia terhenti sejenak, menatap jalanan di depan yang penuh kesibukan, sementara pikirannya melayang ke masa-masa bahagia yang tak pernah terwujud.
"Eh, ternyata malah nggak kesampaian. Aku udah bayangin pasti bahagia jadi ibu, tapi ternyata itu semua nggak sampai. Ternyata tuhan lebih sayang mereka daripada aku."
Air mata mulai mengalir di pipinya, menambah kesedihan di antara kata-kata yang keluar dari mulutnya. Rasanya seperti ada lubang besar di hatinya, dan setiap kalimat yang diucapkan hanya menambah berat beban yang ditanggungnya. Rai menunduk, berusaha menahan isak tangis, sementara dina menggenggam tangannya, memberikan dukungan tanpa kata. Dalam keheningan yang mendalam, mereka berdua berbagi rasa sakit yang tak terungkapkan, saling memahami betapa sulitnya kehilangan sesuatu yang sangat dicintai.
Rai menatap lurus ke depan, matanya menerawang seolah mencari jawaban yang tak pernah datang. Suasana di dalam mobil terasa berat, penuh dengan emosi yang tertahan. Tiba-tiba, Rai berkata dengan suara yang hampir berbisik, "Tapi cuma kamu yang benar-benar mengerti perasaanku kak."
Dina terdiam, terkejut dengan kejujuran yang baru saja didengarnya. Dia menatap rai, mencari kata-kata yang tepat, tetapi sebelum bisa berbicara, Rai melanjutkan, menghembuskan napas panjang seolah ingin melepaskan beban yang selama ini tertahan.
"Aku tahu, ibuku tak pernah benar-benar memahami perasaanku. Entah kenapa dia begitu. Dia terus menyuruhku fokus pada karirku, seakan-akan duka ku tidak penting untuknya. Padahal dia juga pernah kehilangan, kehilangan suaminya, papaku."
Suara rai semakin pelan, namun penuh dengan rasa sakit yang tertahan.
"Dia hanya kehilangan peran sebagai istri, sedangkan aku... aku kehilangan dua peran. Aku kehilangan peran sebagai ibu dan istri. Rasanya aku ingin berteriak, tapi sepertinya itu tidak mungkin."
Dina tetap diam, membiarkan rai meluapkan emosinya. Rai menatap kosong, air matanya kembali menggenang di mata.
"Tapi meskipun begitu, aku tetap menyayangi mama. Aku tahu dia juga menyayangiku. Dulu dia tidak menyukai aku menikah dengan rayan, tapi pada akhirnya dia menerima suamiku. Aneh kan?"
Rai menghela napas, suaranya terdengar semakin lirih. "Tapi sekarang dia tetap saja memaksaku fokus pada karirku, seolah-olah aku tidak sedang berduka. Ibu mana yang begitu mudah melupakan anaknya yang telah tiada kak? Istri mana yang bisa begitu cepat melupakan suaminya yang sangat dia cintai? Rasanya tidak ada."
Keheningan kembali menyelimuti mobil. Dina merasa dadanya sesak mendengar semua itu, tapi dia tidak tahu apa yang bisa dia katakan untuk meringankan beban rai. Rai menundukkan kepala, seolah kehilangan kata-kata, tenggelam dalam kesedihan yang tak terucap.
Rai menarik napas dalam, suaranya semakin lirih, seolah kekuatan yang tersisa hanya cukup untuk menyampaikan kalimat-kalimat terakhirnya.
"Aku hanya bisa berdoa untuk mereka kak. Semoga mereka hadir di dalam mimpiku. Setidaknya dengan itu, rinduku sedikit terobati. Cintaku sudah habis untuk mereka. Aku tidak bisa memberikan cintaku kepada orang lain lagi."
Dina menatap rai dengan penuh empati, tak ada kata yang mampu menggantikan rasa kehilangan itu. Rai melanjutkan dengan suara yang penuh kepastian, "Jika suatu hari aku kembali berjodoh, aku tidak ingin berjodoh lagi. Yang kuharapkan jadi jodohku hanya suamiku sendiri. Yang kuharapkan jadi anakku, hanya anakku sendiri."
Mendengar itu, Dina tak sanggup berkata apa-apa. Dia hanya bisa mengulurkan tangannya, mengusap bahu rai dengan lembut, memberi dukungan tanpa kata. Rai menunduk, air mata jatuh perlahan, namun tak ada suara tangis. Hanya keheningan yang penuh dengan rasa cinta dan kerinduan yang tak terjawab.
Setelah momen itu, keduanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dina menyalakan mesin mobil dan mereka pun bergerak pulang. Sepanjang perjalanan, meskipun tak ada kata-kata yang terucap, kehadiran dina di sisi rai sudah cukup memberi ketenangan. Mereka tahu, tak semua luka butuh kata untuk sembuh, terkadang cukup dengan kehadiran yang tulus.
Setelah pengunjung itu pergi, Rayan langsung menelepon rahma untuk menceritakan tawaran yang baru saja dia terima. Suaranya terdengar gelisah di telepon, "Bagaimana kak? Haruskah aku terima tawaran itu?"
Rahma di seberang sana terdiam sejenak, berpikir sebelum menjawab, "Terima saja tawaran itu " katanya tenang. Namun, Rayan masih merasa ragu, "Aku takut Kak" ucapnya pelan.
Rahma menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan rayan, "Kau tak perlu takut. Kita bisa atur semuanya nanti. Kau tak harus menemani zeline ke Kota Kencana. Di toko ada Rani dan Sania kan? Suruh saja mereka menemani zeline. Atau kalau perlu, aku akan bicarakan dengan tio. Pokoknya, jangan risau. Ini kesempatan yang bagus jangan disia-siakan."
Rayan terdiam sejenak, memikirkan saran Rahma. Ada rasa takut yang masih menggelayuti hatinya, tapi dia tahu Rahma selalu memberikan nasihat yang bijaksana. Akhirnya, dia mengangguk meski rahma tak bisa melihatnya di telepon.
"Baiklah kak. Aku akan coba " katanya, suaranya terdengar lebih mantap meskipun kegelisahan itu belum sepenuhnya hilang.
"Baiklah, hubungi orang yang memberi tawaran padamu itu dan atur jadwalnya. Nanti, saat mereka sudah sampai di kencana, hubungi aku. Aku akan datang ke lokasi untuk melihat mereka " kata rahma dengan penuh keyakinan di ujung telepon.
Rayan mengangguk, meskipun tahu rahma tak bisa melihatnya. "Baik kak. Aku akan lakukan itu. Terima kasih atas bantuannya " jawab rayan dengan suara yang lebih lega.
"Sama-sama rayan " sahut Rahma dengan nada lembut, memberikan dukungan terakhir sebelum percakapan mereka berakhir.
Rayan menutup telepon, merasakan beban yang sedikit berkurang di dadanya. Meski masih ada kekhawatiran yang mengintip di sudut hatinya, dia merasa siap untuk mengambil langkah berikutnya. Dengan penuh tekad, dia menatap ke arah zeline yang sedang asyik bermain, tersenyum lembut. Ini bukan hanya soal tawaran modeling, tapi juga soal keberanian menghadapi masa lalu.