SEQUEL BURN WITH YOU
Declan Antony Zinov dituduh membunuh keluarga angkatnya yang kaya raya demi sebuah warisan. Tapi semua itu tidak terbukti sehingga pria itu menjalankan bisnis keluarganya dan menjadikan Declan pria kaya raya dan juga ditakuti karena sikapnya yang kejam.
Lucyanna Queen Nikolai merupakan cucu seorang mafia yang sudah lama menaruh hati pada Declan karena telah menyelamatkan nyawanya saat kecil. Ia sering mencari tahu berita tentang pria pujaannya itu dan berniat melamar kerja di perusahaan milik Declan.
Setelah bertahun-tahun lamanya, Declan dipertemukan kembali dengan gadis yang pernah ia selamatkan. Tapi melihat bagaimana wanita itu terang-terangan menyukainya membuat Declan bersikap kasar agar Lucy tidak lagi mendekatinya.
Tapi, ketika Lucy tertembak karena berusaha melindunginya. Barulah Declan menyadari betapa berartinya Lucy di kehidupannya selama ini.
#Cerita ini lanjutan dari cerita Burn With You dimana masa kecil mereka ada di Bab akhir. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athaya Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Declan melepas ciumannya setelah mengetahui Lucy mulai kehabisan nafas seperti dirinya. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh bibir Lucy yang terlihat membengkak dan juga seksi itu. Mereka pernah berciuman sebelumnya dan rasanya masih sama. Manis dan membuatnya candu.
Lucy menatap dada Declan yang kancing kemejanya sudah terbuka sebagian dan memperlihatkan dada atletisnya. Ada kesan kekuatan dan juga daya tarik pada tubuh pria itu, dan membuat Lucy tidak bisa memikirkan pria lain selain Declan. Dan memang sejak dulu hanya pria inilah yang ia sukai.
Declan mulai mengancingkan kembali kemeja Lucy yang ia lepaskan dengan paksa saat mereka berciuman, dan membiarkan aliran hasrat mengalir di sekujur tubuhnya ketika jemarinya menyentuh kulit lembut wanita itu.
''Tubuhmu terlihat sangat bugar dibandingkan dulu'' komentar Lucy setelah berhasil mengatur nafasnya dan ikut mengancingkan kemeja pria itu. ''Apakah kau menghabiskan waktumu dengan banyak berolahraga?''
''Ucapanmu sangat kasar, Lucy'' Declan berkata pelan kemudian mundur perlahan dan kembali memakai dasi dan juga jasnya.
Ia memperhatikan wanita itu memperbaiki rambutnya yang acak-acakan dan menggelungnya keatas karena tidak menemukan jepitan rambutnya.
''Kurasa aku akan bersikap baik jika kau tidak menarikku kesini dan menciumku dengan paksa'' Lucy menatap berkeliling mencari dapur untuk mengambil air minum.
"Kau yang memulainya. Apa kau akan membuat salah satu dari kita terbunuh? Karena kau dengan berani datang menemuiku?" Sahut Declan yang berdiri menyandarkan tubuhnya dilemari pendingin yang berada tak jauh dari Lucy.
Declan menatap Lucy ketika wanita itu meneguk minumannya hingga tak tersisa. Leher jenjang wanita itu selalu membuat ia tidak mampu untuk berpikir dengan baik. Ketertarikan yang dirasakan pada wanita itu semakin bertambah jika ia terus-menerus melihatnya. Mereka benar-benar tak boleh bertemu dan itu lebih baik untuk keduanya.
"Jangan pernah datang lagi kemari" Declan berkata sembari menyentuh leher wanita itu dengan jemarinya naik turun.
"Declan..." Lucy menjaga agar suaranya terdengar biasa saja ketika jemari pria itu masih bermain disepanjang lehernya.
"Aku sudah mengatakan berulangkali kita tidak akan pernah bisa memulai hubungan apapun. Dan kau sangat tahu alasannya, Lucy." Declan memberitahu wanita itu lagi seperti yang pernah ia katakan lima tahun lalu.
"Kau bahkan tidak bisa menjauhkan tanganmu dari tubuhku." Ucap Lucy dengan kilatan matanya yang mendadak emosi.
Declan tahu wanita itu sangat keras kepala, ia menahan nafas dan menjaga jarak. "Untuk itu kita tidak boleh bertemu lagi. Aku sudah berusaha dan lima tahun ini semua terkendali. Jangan membuatku bersikap kasar padamu."
"Lima menit lagi kau akan rapat. Aku akan menyiapkan semua yang kau butuhkan." Lucy berkata sembari berjalan masuk kedalam lift dan menutupnya. "Ia tidak akan menyerah kali ini." batin Lucy begitu pintu lift terbuka lagi dan pria itu masuk bersamanya.
"Jangan memaksaku bertindak tidak masuk akal" gumam Declan ketika lift mulai berjalan turun.
"Apakah aku akan digiring keluar oleh para penjagamu?" Balas Lucy lagi tanpa takut sedikitpun.
Declan melirik wanita yang tingginya sangat pas dengan tubuhnya itu kemudian menghembuskan nafas perlahan. "Kau sangat tahu seperti apa watak dan sikapku sejak dulu."
"Kau juga tahu aku keturunan dari siapa? Dan kami tidak pernah takut akan siapapun" Balas Lucy kemudian keluar dengan langkahnya yang sengaja dipertegas.
...****************...
Selama rapat berlangsung, Declan memperhatikan bagaimana Lucy dengan cepat bisa membaur bersama rekan-rekan bisnisnya yang beberapa merupakan wanita cerdas dan berkelas. Beberapa dari mereka mengenalinya sebagai penulis terkenal yang karyanya sempat booming dan mendapatkan penghargaan.
Declan bisa mendengar tawa wanita itu menggema diseberang ruangan dan juga sangat sensual di telinganya. Wanita yang cantik dan unik itu selalu bisa membuat pikirannya tidak fokus dan itu yang membuat ia harus menjauhinya sejauh-jauhnya.
"Sekretaris barumu sangat cantik dan juga cerdas, ia berhasil membuat kami menandatangani proyek ini. Jika kau merasa ingin menggantinya, kau bisa mengatakannya padaku, Dec. Aku akan merekrutnya." Ucap salah satu rekan bisnisnya.
"Dia bukan sekretarisku, dan kau tidak bisa mengatasinya. Wanita itu sangat kejam dan juga keras kepala." Ujar Declan malas dan memandang berkeliling mencari sosok Lucy.
"Siapa yang kau maksud?" Tanya Lucy yang sudah berada di sisi Declan.
"Bisakah kau tidak mengendap-endap seperti itu?" Sahut Declan yang terkejut dengan keberadaan wanita itu disampingnya.
Lucy tersenyum dan duduk disalah satu kursi disamping Declan. "Bukankah kau mencariku?"
"Antarlah semua rekan bisnisku, saat mereka berpamitan. Aku lelah." Ucap Declan kemudian tanpa menjawab pertanyaan Lucy.
"Tentu saja. Aku akan menjadi nyonya rumah yang baik untuk tamu-tamumu" Lucy berkata sembari membaur bersama rekan-rekan bisnis Declan.
"Mira salah satu rekan bisnismu mengadakan pesta makan malam dan mengundangmu untuk datang bersama pasangan." Ucap Lucy beberapa saat kemudian di ruang kerja Declan. "Aku bisa menemanimu."
Declan yang sedang duduk sembari memejamkan matanya tersenyum kecil. "Aku akan datang dengan wanita lembut dan berbudi halus bersamaku. Perlu kau ingat, kita bukan pasangan."
"Tidak masalah. Kita bisa bertemu disana. Dia juga mengundangku sama resminya dan memaksaku untuk datang. Perlu kau ingat, aku datang sendiri." Balas Lucy tidak ingin kalah.
Lucy meletakkan undangan milik Declan dimejanya dan keluar perlahan membiarkan pria itu melanjutkan istirahatnya. Declan terlihat lelah, andai saja pria itu mengijinkan. Lucy ingin memijat pundak dan juga kepalanya.
"Bawakan makan siang untukku, Lucy." Sahut Declan yang masih menutup matanya.
"Tentu."
Setelah kembali di ruang kerjanya sendiri. Lucy mengambil ponselnya dan memesan makan siang di restoran langganan tempat ia dan Declan sering makan dulu. Ia kemudian memesan makanan kesukaan pria itu.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua tampak menikmati Makan siang bersama-sama. Declan terlihat tidak peduli lagi dengan Lucy yang dengan santainya ikut makan diruang kerjanya.
"Aku sudah lama tidak makan makanan di restoran ini," Ujar Lucy dengan mulut penuh makanan.
Declan mengambil tisu dan memberikan kepada wanita itu, ketika melihat saos menempel didagunya. Lucy sendiri menyodorkan wajahnya ke dekat pria itu agar dirinya bisa membersihkannya.
"Bagaimanapun juga tak ada yang ingin kembali ketempat itu sendirian" Sambung Lucy lagi dengan wajah cemberut.
Lucy tersenyum ketika mengetahui pria itu masih sama seperti dulu, dengan jemarinya yang besar itu Declan dengan terampil mengupas kulit udang yang merupakan kesukaan Lucy dan meletakkan diatas piringnya.
"Aku akan membiarkanmu hari ini. Besok jangan datang dan menemuiku lagi, Lucy. Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku." Declan berkata tegas dan kembali dingin.
"Declan,"
"Cukup" Declan berhasil mengucapkan kalimat itu dengan tajam. "Kita harus berhenti, Lucy. Kau sangat tahu alasan kita tidak bisa bersama dan aku tetap tidak ingin mencobanya."
"Baiklah."