Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghilangnya Ghio
Pagi menjelang siang, Rain sudah stand by di motornya. Air mukanya muram. Sejak subuh tadi ia sudah mencari keberadaan Ghio, tapi tidak kunjung menemukan pria itu. Bahkan Rain memanggilnya berkali-kali, tetap saja tidak ada sahutan.
Hari ini, Rain sudah berjanji akan membawa Ghio kepada keluarganya. Rain sudah membayangkan bagaimana reaksi Ghio saat berjumpa dengan mama dan papanya. Namun, semua itu hanya ada dalam angan Rain. Sekarang saja, pria itu masih di bumi atau tidak, Rain tidak tahu.
Hingga matahari tepat diatas kepala Rain, Ghio masih belum menampakkan batang hidungnya. Rain merasa aneh. Kemana sebenarnya pria itu?
Setelah menunggu Ghio dengan pertanyaan penuh di kepala dan perasaan tak menentu, kesabaran Rain akhirnya habis juga.
Dengan perasaan kesal, Rain mengunci pintu dan segera menaiki motornya.
Mungkin, hari ini ia akan pergi sendiri untuk menemui kedua orang tua Ghio. Ghio bisa menyusul kapan-kapan.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan panas, Rain akhirnya sampai di depan rumah keluarga Ghio. Seperti sebelum-sebelumnya, rumah itu terlihat sepi dan suram. Seolah tidak ada penghuninya.
"Eh. Neng yang kemarin, bukan?"
Rain menatap nama di seragam putih pria paruh baya yang kemarin membuka gerbang. Sekarang pria itu kembali membukakan gerbang saat melihat Rain berdiri di luar.
"Iya, pak Deden."
"Nyari nyonya dan Tuan lagi? Maaf, neng. Nyonya sama Tuan jarang di rumah. Mereka di rumah cuma sesekali, pagi subuh, kadang sore atau malam, kadang juga pulang siang sekedar makan siang," jelas satpam itu tanpa diminta.
"Mereka sesibuk itu ya, pak?" kata Rain dengan nada lemas. Ia sudah dua hari di sini, tapi ia sama sekali belum berjumpa mereka.
"Gak sesibuk itu kok, neng. Mereka biasanya jenguk mas Ghio. Maklum, neng. Namanya juga orang tua." Raut pak satpam sendu seketika. "Saya kasihan lihat nyonya dan tuan. Mereka sangat terpukul."
Rain menghela napas. Orang tua seharusnya memang seperti itu. Kehilangan seorang anak adalah hal paling menyakitkan. Apalagi, Ghio itu anak tunggal. Tak ada sakit yang lebih parah dari pada itu. Sembuhnya membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh-puluh tahun.
Rain menunduk lesu.
Melihat itu, pak Deden merasa heran. "Neng teh namanya siapa? Kenapa selalu cari nyonya dan Tuan?"
"Nama saya Rain, pak. Saya teman Ghio. Saya punya urusan penting sama orang tua Ghio," kata Rain.
"Urusan apa kalau boleh tahu, neng? Nanti saya sampaikan langsung sama Tuan dan nyonya."
Rain diam berpikir. Ia tidak punya alasan yang pas. Rain hanya ingin mempertemukan Ghio dan orang tuanya. Tidak mungkin ia bicara seperti itu, kan?
"Ini menyangkut Ghio, pak. Saya mau sampaikan langsung kepada orang tua Ghio."
Satpam mengangguk. "Yowes. Nanti saya coba ngomong sama mereka."
Rain ikut mengangguk.
"Atau gini aja, pak. Kalau misal orang tua Ghio sudah pulang, bapak bisa menghubungi saya?" tanya Rain.
"Boleh, neng. Ya sudah, mana nomor neng?"
"Ini, pak." Rain menyerahkan ponselnya. "Panggil saja Rain, pak."
"Oh, iya neng Rain. Nanti saya kabarkan, tapi, kalau tuan dan nyonya pulang."
Rain tersenyum sambil mengangguk. "Makasih, pak. Kalau gitu, saya pulang."
Lagi dan lagi, Rain harus menelan kekecewaan. Tapi, Rain tak boleh menyerah. Ia akan menunggu sampai bisa bertemu kedua orang tua Ghio.
Setelah sampai di kontrakan, Rain tetap tidak menemukan keberadaan Ghio. Rasa khawatir mulai menggerogoti hati Rain.
Bahkan, sampai tengah malam Rain tetap terjaga menunggu Ghio menampakkan wajahnya. Hasilnya sama saja.
Rain tidur tak nyaman di kasur. Pikirannya terus tertuju kepada Ghio. Rain benar-benar tidak tahu dimana pria itu?
Hingga malam berganti pagi, Rain terbangun dari tidurnya yang singkat. Memikirkan Ghio membuatnya tidak dapat tidur dengan tenang. Bahkan, Rain hanya bisa menutup mata berang sejam saja.
Hari ini, Rain kembali mendapati kontrakan yang kosong melompong. Bahkan Asya sudah pergi dengan meninggalkan pesan chat bahwa ia berangkat subuh.
Rain menghela napas lelah. Tanda hitam melingkar di sekeliling matanya. Gadis itu terlihat seperti mayat hidup.
"Dia dimana, sih?" monolog Rain. Dia terlihat seperti orang bodoh.
Rain berjalan ke dapur. Di meja makan sudah tersedia makanan. Ia memandang makanan itu dengan tak selera. Seharusnya, Ghio sudah duduk manis disana. Tapi, sampai sekarang, sosok itu masih tidak terlihat.
"Ghio! Kamu dimana?" panggil Rain sambil keluar ke belakang rumah.
"Ghio!"
Kemarin, pria itu tak muncul. Sekarang pun sama. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan pria itu?
Rain tidak ingin berpikir terlalu jauh. Mungkin saja Ghio punya urusan penting. Tapi, memangnya hantu itu punya urusan? Urusan apa? Rapat dengan hantu-hantu lain?
Rain menggeleng. Otaknya sedikit bermasalah karena kurang tidur.
Rain merebahkan kepalanya di atas meja makan.
"Dimana sih anak ini?" gumamnya kesal.
Satu hari yang lalu, pria itu tampak senang dan antusias saat tahu Rain menemukan keluarganya. Bahkan pria itu terlihat sangat ingin menemui keluarganya. Lalu, kenapa tiba-tiba ia tidak nampak?
Apa Rain melakukan kesalahan? Sepertinya tidak. Kemarin-kemarin, pria itu bahkan memeluknya. Lalu setelah memeluknya, raut wajah Ghio langsung berubah, dan pria itu segera menghilang.
Rain ingat. Ghio tiba-tiba bersikap aneh setelah memeluknya. Setelah ia menghilang dari hadapan Rain, Ghio tidak lagi menampakkan wajahnya. Rain pikir, Ghio malu karena tiba-tiba memeluknya.
Tapi, apakah rasa malu bisa membuatnya sampai menjauh seperti ini? Tidak menampakkan diri sama sekali?
Rain rasa, Ghio bukannya merasa malu. Apa yang terjadi dengan pria itu?
Prasangka-prasangka buruk mulai menghantui pikiran Rain. Pikirannya penuh dengan kemungkinan Ghio meninggalkannya karena sudah berhasil menemukan keluarganya. Atau, Ghio meninggalkannya karena memang tidak ada di dunia lagi?
Rain memegang kepalanya dengan kedua tangan sambil menggeleng kuat.
Hal itu tidak mungkin.
Ghio pasti hanya pergi sebentar. Sebentar lagi, pria itu akan kembali dan muncul dihadapan Rain. Dia akan mengeluarkan raut memelas-nya dan meminta Rain memberinya makan.
Rain mulai meyakinkan diri dengan hal itu, dan mencoba menjauhkan dugaan-dugaan buruk.
Suara nontifikasi membuyarkan Rain dari segala pikirannya. Ia membuka satu pesan dari nomor baru.
Tiba-tiba saja air muka Rain berubah drastis. Matanya berbinar dan senyum mengembang.
Pesan itu berasal dari pak Deden, satpam kediaman Ghio.
Dengan semangat 45, Rain segera berlari ke kamar. Ia kembali dengan pakaian di tangannya. Ia masuk kamar mandi, dan mandi dengan cepat.
Tak butuh beberapa menit, Rain sudah keluar dengan pakaian berbeda.
Rain bersiap-siap, dan keluar rumah, setelah itu tancap gas. Ia akan ke rumah Ghio. Pak Deden mengabarinya bahwa mama Ghio menunggu Rain di rumahnya.
Rain tidak sadar bahwa tujuannya adalah membawa Ghio kepada orang tuanya. Rain seolah lupa segala kegundahan hatinya selama hampir dua hari ini.
***
Rain duduk dengan tegang. Perasaanya tak karuan. Ia menatap wanita yang juga sedang menatapnya.
Bibir Rain berkerut.
Wanita itu berbeda dengan di foto. Yang ada di hadapannya adalah wanita dengan wajah pucat, pipi tirus dan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Tubuhnya nampak lebih kurus jika dibandingkan dengan yang ada di foto. Tapi, tetap saja, alis dan tatapan matanya tidak menghilangkan kemiripannya dengan Ghio.
"Pak Deden bilang, kamu selama dua hari ini terus mencari saya," kata wanita itu.
"Iya, Tante. Nama saya Rain," kata Rain memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.
Wanita itu menerima uluran tangan Rain. "Saya Gelora, biasa di panggil Lora. Jadi, kamu teman Ghio?"
Rain mengangguk. "Iya, Tante. Saya teman Ghio..."
Lora menatap tidak percaya. "Kamu teman satu kuliahnya? Tapi kamu tidak terlihat seumuran dengan Ghio."
Rain menggeleng. "Bukan, Tan. Aa... Saya beda universitas dengan Ghio, dan Tante benar, umur saya mungkin beberapa tahun di bawah Ghio."
Lora semakin tak percaya. "Ghio tidak pernah berteman dengan perempuan di bawah umurnya. Setahu saya, Ghio hanya berteman dengan Reno dan teman sebayanya di kampus. Tapi, saya tidak tahu di luar. Karena setahun yang lalu Ghio tidak tinggal di sini."
Rain mengangguk. "Saya kenal Ghio sebelum dia kecelakaan, Tan."
Alis Lora naik. Tapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Hingga beberapa detik kemudian, ia mulai membuka suara. "Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan kepada saya? Pak Deden bilang, kamu ingin bertemu saya karena menyangkut Ghio."
Rain memilih jarinya diatas lutut. Ia bingung harus bicara apa. Ghio hilang, dan ia tidak bisa membawa Ghio kepada Lora. Rain mencoba berpikir tenang.
Beberapa menit kemudian, setelah diam berkuasa, Rain menatap langsung manik mata Gelora. Ia mulai membuka mulut.
"Ah... Sebenarnya saya hanya ingin melihat Tante dengan jelas. Karena kalau di foto aja gak cukup."
"Foto? maksud kamu?" tanya Kira kebingungan.
Rain segera membuka tasnya dan mengeluarkan foto dari dalam sana.
Gelora, menerima foto itu. Tatapan bertanya masih terpampang jelas di wajahnya. "Dari mana kamu mendapat foto ini?" tanya Lora. Ia mengusap foto itu, dimana ia bersama dengan Ghio menatap kamera dengan senyum lebar.
"Ah..." Rain menggaruk kepalanya. "Di kasih Ghio."
Lora lantas menatap Rain.
Rain menghela napas. Dosa kah jika membohongi orang tua? Rain menggerutu dalam hati. Tentu saja berdosa.
Rain mengatur napas. Ia memantapkan hati. "Ghio pernah bilang ke saya kalau dia sangat merindukan Tante." Rain menggulung bibirnya ke dalam.
Ia menatap Lora yang terdiam.
"Ghio pengen banget ketemu sama Tante Lora. Itu sebabnya, saya mencari Tante karena saya merasa harus menyampaikan itu."
Rain baru sadar, Gelora sedang menangis. Rain tidak melihat secara langsung. Tapi, wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan dan bahu yang bergetar hebat. Hingga akhirnya, Rain mendengarkan Isak kecil dari wanita itu.
"Maaf, Tan. Saya gak bermaksud bikin Tante jadi sedih."
Lora mengusap wajahnya. "Saya paham." Suaranya serak. "Kenapa dia tidak bicara secara langsung?" gumamnya dan kembali terisak.
Rain yang melihat itu seolah ikut merasakan bagaimana sakitnya. Hati Rain terasa ngilu. Melihat Gelora seperti ini, Rain jadi berpikir, Bagaimana jika ia ada dalam posisi seperti ini? Rain meninggal dan mamanya berlarut-larut dalam kesedihan. Rain tidak tega. Rain tidak sanggup jika melihat mamanya menanggung sakit seperti itu. Sekarang, cukup Rain yang merasakan kehilangan.
Tanpa aba-aba, air mata meluncur dari mata Rain. Ia akan lemah seperti ini jika menyangkut mamanya.
Rain beralih duduk di samping Lora dan mengelus bahu wanita itu. "Tante harus kuat. Setidaknya, Tante masih tahu kalau Ghio masih merindukan Tante. Orang lain tidak seberuntung Tante. Mereka gak tahu apakah mereka dirindukan oleh orang yang meninggalkan mereka."
Lora diam dengan air mata bercucuran. Dipeluknya foto yang diberikan oleh Rain.
Begitu keadaan selama beberapa menit. Hingga perlahan tangis Lora mulai reda. Ia membersihkan sisa-sisa air mata di pipinya.
Gelora menatap Rain. Ia tersenyum tipis, hingga pipi tirusnya nampak berkerut. "Terima kasih karena sudah menyampaikan rindu Ghio. Saya sedikit lega sekarang."
Rain membalas senyum Lora. "Itu tanggung jawab saya, Tan. Malah, saya merasa bersalah kalau tidak menyampaikannya." kata Rain.
Gelora mengangguk. "Kamu benar. Oh, ya. Kamu tahu kalau Ghio kecelakaan, tapi, kenapa saya tidak pernah melihat kamu?"
Rain terdiam.
Dering ponsel tiba-tiba mengalihkan atensi kedua wanita itu.
Gelora menatap ponselnya dan menekan ikon hijau.
"Halo, pa!"
Rain melihat dahi Lora yang berkerut.
"Oke. Aku ke sana sekarang."
Lora segera berdiri. "Ah... Maaf, Rain. Saya harus ke rumah sakit sekarang. Ah... Kita bisa bertemu lain kali."
Rain ikut berdiri. Ia menunduk sekilas. "Terima kasih buat sambutannya, Tan. Saya langsung pamit pulang kalau gitu."
Gelora mengangguk. "Kamu bisa datang ke rumah sakit kalau mau ketemu lagi."
Rain mengangguk. Dalam pikirannya, ia mengira jika wanita itu berprofesi sebagai dokter.
"Rumah sakit apa, ya, Tan?" tanya Rain.
"Rumah sakit Bintara."
"Saya akan datang besok, Tan," kata Rain sambil melempar senyum.