Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdebat
***
"Nanti Alin biar sama Ibu, kamu ikut Mas ya."
Aku langsung mengerutkan dahi bingung karena tidak bisa langsung menangkap maksud dari kalimat Mas Yaksa.
"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku kebingungan.
"Rumah sakit."
Dalam rangka apalagi nih, kok ngajak ke rumah sakit lagi.
"Siapa yang sakit?" tanyaku heran.
Mas Yaksa kemudian membalas dengan gelengan kepala. "Enggak ada yang sakit."
"Terus ngapain kita ke rumah sakit?" tanyaku penasaran.
"Konsultasi."
Aku mengerutkan dahi semakin kebingungan. Konsultasi lagi? Asiku sudah cukup lancar dan Alin mulai terbiasa dengan itu. Lantas ini Mas Yaksa mau ngajak konsultasi apalagi nih? Heran, mentang-mentang punya banyak uang dikit-dikit ngajak konsultasi mulu.
"Konsultasi apa lagi, Mas? Asi aku lancar kok."
Mas Yaksa menggeleng. "Bukan. Bukan soal asi."
"Terus?"
"KB."
Aku diam sebentar dan tidak langsung merespon, karena memang aku masih sedikit belum terbiasa untuk membahas hal-hal demikian.
Benar, kami sudah melakukan. Aku sudah memberikan hak Mas Yaksa. Semua berlangsung begitu cepat dan aku tidak terlalu ingat, yang aku ingat hanya... Baiklah, sepertinya lebih baik kita tidak membahas hal ini lebih jauh. Karena jujur aku masih agak malu saat mengingatnya.
"Alin masih terlalu kecil kalau seandainya harus memiliki adik, Geya. Mas juga kurang suka kalau menggunakan pengaman, Mas kurang yakin dengan metode KB alami, jadi lebih baik kita konsultasi saja dan menanyakan pada ahlinya baiknya kamu pakai kb jenis apa."
Aku masih diam. Rasanya seperti ingin marah tapi aku tidak memiliki kuasa untuk melakukannya. Aku tahu sebagai seorang istri memang kewajibannya menuruti kemauan suami, termasuk melayani urusan ranjang. Tapi untuk yang satu ini, entah kenapa aku merasa kurang setuju akan idenya. Bukan tanpa alasan, aku hanya takut kalau nanti setelah pemakaian kb membuatku jadi sulit hamil setelahnya.
"Geya," panggil Mas Yaksa berhasil membuyarkan lamunanku.
Aku menghela napas pendek lalu menatap Mas Yaksa ragu-ragu.
"Mas tahu kamu mungkin kurang setuju dengan ide Mas, tapi ini demi kebaikan kamu juga. Semua ini Mas lakukan bukan cuma buat Alin atau Javas, tapi kamu juga. Kalau kita kebobolan dan kamu hamil, nanti kamu akan kerepotan dan Mas nggak mau itu terjadi. Kamu ngerti kan maksud Mas?"
"Mas, aku ini udah jadi istri kamu atau tetap jadi adik iparmu?"
Entah dari mana aku mendapatkan keberanian untuk menanyakan hal ini. Aku pun tidak tahu.
Mas Yaksa terlihat kaget selama beberapa saat, namun, tak lama setelahnya ia berusaha untuk tetap bersikap tenang.
"Maksud kamu apa, Geya, kenapa kamu nanya begitu? Jelas kamu istri Mas. Kamu lupa, Mas bahkan udah sentuh kamu semalam. Kalau Mas nganggep kamu adik ipar Mas, nggak mungkin Mas ngelakuin itu kan?"
"Oh, berarti Mas lagi bersikap sebagai suami yang memegang penuh kekuasaan di rumahnya?"
Kali ini pandangan Mas Yaksa memandangku kurang suka. "Geya, kamu ini kenapa?"
"Harusnya aku yang tanya, Mas. Mas yang kenapa selalu bersikap kalau apa yang Mas putuskan itu paling terbaik tanpa berniat meminta pendapat aku dulu? Mungkin selama ini Kak Runa demikian, tapi ini aku, Mas. Aku Geya bukan Kak Runa. Kami berbeda dan tolong jangan disamakan kami, Mas."
"Mas nggak pernah menyamakan kalian, Geya. Mas tahu betul kalian orang yang berbeda meski Mas tahu kalian lahir dari rahim yang sama. Tapi demi Allah, Mas nggak pernah bermaksud menganggap kalian sama. Oke, Mas minta maaf kalau sikap Mas terkesan begitu selama ini."
Aku mengigit bibir bawahku cemas. Apakah kalimatku tadi keterlaluan? Perasaan menyesal tiba-tiba hinggap. Haruskah aku minta maaf juga?
"Maaf juga kalau sikap Mas terkesan terlalu berkuasa, Mas cuma mau yang terbaik buat kamu dan buat kita, Geya."
"Terbaik versi Mas belum tentu terbaik untuk orang lain, Mas. Aku tahu kamu kepala rumah tangga, kamu memiliki hak atas keputusan kita. Tapi sebelum keputusan itu diambil apa tidak terpikir oleh Mas Yaksa untuk diskusi dulu sama aku. Sama istri Mas."
"Kamu masih cukup muda, Geya."
Mendadak aku merasa tersinggung. Apa Mas Yaksa baru saja meremehkan aku karena secara umur aku tidak sedewasa Kak Runa.
"Mas Yaksa barusan lagi ngeremehin aku?"
Aku bertanya dengan nada tersinggung jelas ketara dan tidak terima.
Mas Yaksa langsung mengusap wajahnya, terlihat lumayan frustasi dengan pertanyaanku. "Astagfirullah, Geya, bukan begitu maksud, Mas. Kamu salah paham, ini nggak seperti yang kamu pikir. Mas cuma..."
"Cuma apa?" desakku terkesan tidak sabaran menunggu jawabannya, "cuma anak ingusan yang nggak tahu apa-apa. Yang bisa Mas suruh-suruh semau Mas begitu?"
"Cukup, Geya. Berhenti menuduh Mas!"
Aku ingin menangis saat Mas Yaksa tiba-tiba menaikkan nada bicaranya. Selain terkejut aku pun merasa takut dengan perubahan suaranya. Aku langsung menutup bibirku rapat-rapat, tak memiliki keberanian untuk mengeluarkan suara lalu memilih pergi.
"Mau kemana kamu, Geya? Kabur setelah membuat kekacauan?" sindir Mas Yaksa dengan nada kesalnya.
Aku kemudian berbalik dan menatapnya datar. "Anak kamu nangis, Mas, nggak denger?" balasku ikut menyindir.
Kuperhatikan wajah Mas Yaksa terlihat sedikit panik, sepertinya dia tidak menyadari kalau Alin menangis.
"Biar Mas yang lihat," ucapnya membuatku mendengus tanpa sadar.
Bukan bermaksud sombong, tapi meski Alin itu putri kandung Mas Yaksa terkadang dia kurang nyaman dengan Ayahnya sendiri. Tapi meski demikian aku tidak protes sama sekali dan membiarkan Mas Yaksa yang melihat Alin di kamar. Karena aku malas berdebat.
"Mama sama Ayah berantem?"
Aku tersentak kaget saat menyadari keberadaan Javas tak lama setelahnya. Wajahku pasti terlihat panik saat ini aku yakin. Sambil meringis malu, aku berjalan menghampirinya.
"Enggak, sayang. Mama sama Ayah nggak berantem kok," ucapku menenangkan.
Javas tidak langsung membalas, bocah yang belum genap berumur empat tahun itu hanya menghela napas tanpa berkomentar. Meski masih balita, Javas ini sangat cerdas dan peka terhadap sekitarnya hal ini sering kali membuatku merasa takjub. Tapi kalau di saat-saat seperti ini aku justru kasian padanya. Karena terlalu banyak hal yang ia sadari yang seharusnya tidak diketahui anak seusianya. Menjadi Javas benar-benar tidak mudah. Di usianya yang masih sangat belia, sudah terlalu banyak kegiatan maupun les yang harus ia ikuti. Padahal untuk anak seusianya harusnya lebih banyak bermain, tapi tidak dengan Javas.
Awalnya aku berniat langsung mengajak Javas sarapan, tapi karena suara tangis Alin yang terdengar tidak kunjung mereda membuatku urung. Akhirnya aku memutuskan meninggalkan Javas dan pergi ke lantai atas untuk mengecek keadaan Alin.
Setelah Kak Runa meninggal, Alin memang jauh lebih sensitif dan gampang rewel. Dia juga sekarang susah kalau mau digendong orang lain, tidak seperti dulu. Tapi kan Mas Yaksa bukan orang lain, dia Ayahnya, masa iya sih pria itu tidak bisa menghandle putrinya sendiri.
To be continue,