Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip
***
"Cari makan apa nih kita?"
Mbak Lusi bertanya dengan nada antusias saat kaki kami keluar dari gedung rumah sakit untuk mencari makan. Biasa kalau tanggal muda memang begini, antusias pengen milih makan apa, tapi kalau sudah akhir bulan lebih ngide buat bawa bekal. Maklum ibu-ibu penuh perhitungan.
"Apa aja deh, yang penting jangan nasi. Lagi males ngunyah nasi."
"Seng eling! Kamu baru sembuh loh, Ge, nggak ada nggak makan nasi. Harus makan nasi, nggak pake nolak."
Mbak Lusi dan jiwa emak-emaknya mode on.
"Cuma gegara haid, Mbak."
"Tapi sampe nggak masuk kerja." Mbak Lusi langsung mendengus, "aku tahu banget watak kamu, Ge, kamu bakalan tetep ngeyel berangkat kerja meski nyeri haid atau bahkan dilarang suamimu. Soalnya kamu itu ngeyelan, kayak aku. Tapi kemarin kamu sampai izin nggak masuk, udah pasti kemarin sakitmu beneran."
"Ya masa bohongan sih, Mbak."
Mbak Lusi menghela napas. "Nggak sampai mual-muntah kan?"
"Pusing banget kemarin itu, Mbak, aku juga sampai mual-muntah. Tapi alhamdulillah nggak sampai pingsan."
"Ya kalau kamu pingsan rumah sakit pasti gempar."
Kali ini aku meringis mendapati fakta itu. Benar, kalau sampai aku pingsan udah pasti Mas Yaksa akan membawaku ke rumah sakitnya, lalu statusku sebagai istrinya mungkin akan terbongkar.
"Kamu udah denger gosip apa belum?"
Setelah memasrahkan menu makan siang kami pada Mbak Lusi, di sini lah kami berada. Warung soto babat yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit.
"Gosip? Gosip apa?"
"Suamimu yang nikah lagi."
"Maksudnya?" Jujur aku tidak paham maksud kalimat Mbak Lusi.
Saat Mbak Lusi ingin menjelaskan, pelayan datang membawa pesanan kami. Otomatis percakapan kami terhenti dan fokus kami teralih.
"Maksudnya faktanya kan kamu yang jadi istrinya, Ge, tapi gosipnya malah orang lain yang jadi istri baru suamimu. Begitu."
"Oh." Aku tidak terlalu ambil pusing soal ini dan lebih memilih menyantap sotoku yang masih hangat.
"Oh doang nih reaksimu?"
"Emang harus gimana?" Aku balik bertanya dengan nada heran.
Ngapain juga aku memberikan reaksi berlebihan terhadap gosip yang aku sendiri tahu betul faktanya. Kalau akulah perempuan yang dinikahi Mas Yaksa, lalu untuk apa aku pusingkan?
"Ge, aku tahu kalian menikah karena kepaksa, cuma masa begini sih? Dia suamimu loh."
"Aku tahu, Mbak. Tapi kan itu hanya gosip kan? Karena faktanya yang jadi istri Mas Yaksa itu aku."
Mbak Lusi meringis samar lalu manggut-manggut setuju. "Iya, juga sih."
Tapi mendadak aku merasa penasaran siapa sosok yang digosipkan orang-orang.
"Tapi siapa, Mbak?"
"Apanya?" Kali ini giliran Mbak Lusi yang balik bertanya. Ekspresinya terlihat keheranan.
"Yang digosipin sama Mas Yaksa."
"Oh."
"Oh doang nih reaksi kamu, Mbak?"
Aku sengaja membalikkan kalimat yang sempat Mbak Lusi ucapkan tadi, mengundang tawa renyah dari ibu dua anak ini.
"Asem, aku lebih tua, Ge, jangan nggak sopan gitu meski kamu ibu bos tempat aku kerja."
Kali ini giliran aku yang tertawa. "Jadi siapa, Mbak, aku beneran penasaran nih," tanyaku setelah meredakan tawaku.
"Lebih baik kamu nggak usah tahu." Jawaban Mbak Lusi membuatku langsung mencibirnya seketika. Pandanganku tidak sengaja melihat keluar warung, tanpa sengaja aku melihat Mas Yaksa bersama seorang perempuan cantik yang aku ketahui berprofesi sebagai dokter spesialis anak di rumah sakit kami bekerja.
"Dia ya, Mbak?" tanyaku sambil menunjuk ke arah luar. Aku bahkan seakan enggan untuk menyebut namanya.
"Apa?" Pandangan Mbak Lusi kemudian beralih ke arah jariku menunjuk. Kedua bola matanya reflek membulat, "loh, dia kan suami kamu, Ge. Mau ke mana itu merek?" sambungnya saat menyadari mereka berdua masuk ke dalam mobil Mas Yaksa.
Aku menghela napas. "Ya mana aku tahu, Mbak. Jadi dia orangnya, Mbak?"
"Seperti katamu tadi, Ge, fakta yang sesungguhnya adalah kamu lah orang yang dinikahi Pak Yaksa."
Memang benar faktanya akulah yang dinikahi Mas Yaksa, tapi melihat keakraban mereka berdua perasaan asing yang sulit kuartikan tiba-tiba hadir.
***
Aku memilih pura-pura tidur saat menyadari Mas Yaksa masuk ke dalam kamar. Beruntung Alin juga sudah tidur sejak tadi, jadi aksi pura-pura tidurku tidak akan ketahuan. Sepertinya, semoga saja.
Aku langsung membuka kedua mataku kembali saat menyadari suara kamar mandi tertutup. Mas Yaksa sepertinya langsung mandi.
Aku tidak cemburu. Hanya saja aku merasa mengobrol dengan Mas Yaksa setelah kejadian tadi siang membuatku tidak nyaman, aku takut kalau bereaksi tidak seharusnya.
Mendengar suara pintu kamar terbuka, aku memilih kembali memejamkan kedua mataku. Aku tidak bisa mengintip kegiatan apa yang sedang dilakukan Mas Yaksa karena takut ketahuan. Tak berselang lama kurasakan Mas Yaksa ikut berbaring di sebelahku.
"Beneran udah tidur?"
"Ngantuk," balasku tidak nyambung.
Kudengar suara helaan napas Mas Yaksa. "Perutnya masih suka sakit lagi nggak? Mau dielus nggak?"
"Tidur, Mas."
"Mas ada salah? Kata Mama perempuan kalau pms jadi sensitif, Mas harus apa biar kamu nggak kesel sama Mas?"
"Tidur."
"Mas nggak mau dibilang nggak peka, tapi Mas sadar diri kalau memang benar adanya. Jadi bisa kamu bilang apa yang ganggu pikiran kamu?"
Tiba-tiba kurasakan dada Mas Yaksa menempel pada punggungku, sebelah lengannya menyusup di bawah kepalaku lalu menarik tubuhku agar lebih dekat dengannya dan menjadikan lengannya sebagai bantalan.
Aku masih membelakangi Mas Yaksa, dagunya ia tempelkan pada pucuk rambutku.
"Pernikahan kita nggak mungkin stuck di sini saja kan, Geya?"
"Maksudnya?"
Aku ingin membalikkan badan tapi khawatir kalau tiba-tiba melakukan hal yang aneh-aneh. Seperti marah-marah tidak jelas contohnya.
"Kita harus sering mengobrol dan bertukar pikiran, tidak apa-apa meski cinta itu belum hadir tapi setidaknya beritahu Mas kalau ada yang mengganggu pikiran kamu."
"Dokter Ema."
"Ema?" Kali ini Mas Yaksa memaksaku untuk membalikkan badan, "kenapa sama Ema?"
Aku menggeleng cepat. Aku pasti sudah gila.
"Nggak tahu, pusing, mau tidur."
"Geya?" panggil Mas Yaksa lembut, pijatan lembut ia berikan pada pelipisku, "coba cerita pelan-pelan!"
Aduh, kenapa aku jadi ketagihan sentuhan Mas Yaksa ya?
"Ada gosip aneh. Dan aku jadi ikutan aneh, Mas," akuku jujur, "katanya yang yang kamu nikahi itu Ema."
Dapat kurasakan badan Mas Yaksa yang sedikit menegang, raut ekspresinya pun terlihat gugup. Sulit kujelaskan tapi membuatku malas untuk sekedar membahasnya.
"Aku mau tidur duluan." Aku kembali membalikkan badan. Mas Yaksa menepuk pundakku beberapa kali.
"Jangan lupa berdoa dulu!" ucapnya mengingatkan, "dan soal gosip nggak jelas itu, tidak perlu diambil pusing. Toh, yang jadi istri Mas itu kamu, Geya."
Benar. Yang jadi istri Mas Yaksa itu aku, bukan dokter Ema atau perempuan mana pun. Tapi aku. Geya Gistara.
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺