Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Masya Allah, Suamiku
Tubuh Alisya berdesir tatkala Hudzai melontarkan kata-kata yang tak pernah dia duga. Sosok Hudzai di matanya seketika terlihat berbeda, sendok yang Alisya pegang bahkan terjatuh saking shock-nya.
Melihat reaksi sang istri yang sampai begitu jelas saja Hudzai tertawa pelan. Hanya ucapan, belum tindakan, tapi sudah sekaku itu. Hudzai menunduk, berusaha meraih sendoknya untuk kemudian diletakan di atas meja.
"Nanti, Sya nanti ... bukan sekarang!!" ucap Hudzai terkesan menggoda hingga wajah Alisya memerah dibuatnya.
Sedikit terselamatkan karena dia menggunakan cadar. Jika tidak, habis sudah dirinya di mata Hudzai. Akan tetapi, gelagatnya tidak dapat ditutup-tutupi karena sudah berapa kali Alisya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya dengan harapan akan ada angin segar hingga tidak terlalu sesak jiwanya.
Berbanding terbalik dengan Hudzai yang terlihat santai saja. Setelah menghabisi sarapan, dia meneruskan perjalanan dan meminta Alisya untuk naik segera.
Cukup lama mereka menunda perjalanan, matahari kini sudah meninggi dan Bandung mulai terlihat sibuk sekali. Tak heran, penyebab utama sudah bisa dipastikan karena Alisya sarapan terlalu lama, kemudian digantikan Hudzai yang ternyata sama iyanya.
Ditambah lagi, Hudzai sengaja memilih tempat sarapan yang cukup jauh dari tujuan, hampir setengah perjalanan. Tak selesai di sana, Hudzai juga melaju dengan kecepatan rendah hingga menjadi perpaduan sempurna dan membuat perjalanan kian lama.
"Aa' stop, ini masjidnya."
"Ini?"
Kembali berlagak tidak tahu segalanya, Hudzai bertanya sembari mendongak seakan baru pertama kali melihat masjid tersebut. Padahal baru saja beberapa bulan lalu mereka menunaikan ibadah shalat jum'at bersama Om Sean juga kedua putranya.
Ada untungnya Alisya tidak mendengar ucapannya sewaktu menjelaskan letak masjidnya beberapa waktu lalu, pikirnya dalam hati.
Begitu tiba dia bergegas turun dan menyampaikan amanah Umi Zalina pada yang bersangkutan. Namun, baru saja beberapa langkah Hudzai terhenti tatkala sadar Alisya masih diam berdiri di tempatnya.
"Alisya ...."
"Iya, A'?"
"Kenapa masih di sana?" tanya Hudzai mengerutkan dahi.
Tampak tak terima lantaran Alisya tak segera berjalan menuju ke arahnya.
"Neng masuk juga?"
"Iya lah, masa sendiri di luar."
"Terus motornya?"
"Bawa," jawab Hudzai tidak lagi pada makna yang sebenarnya.
Pertanyaan konyol sang istri agak menyebalkan, tapi hendak marah juga tidak tega jujur saja.
"Bawa?"
Hudzai menghela napas panjang, tidak dia duga jika sang istri akan menganggap jawaban asal ceplosnya itu sungguhan. "Ya ditinggal dulu, kamunya saja yang masuk."
"Oh, Neng kira beneran."
Dia tersenyum, senyum malu sekaligus ingin mengubur diri sendiri sebenarnya. Sembari berlari kecil, Alisya mengekor di belakang sang suami.
"Sini, jangan di belakang," titah Hudzai sembari melirik ke belakang.
"Gini, Aa'?"
"Hm."
"Kenapa tidak boleh di belakang?"
Banyak juga pertanyaannya, Hudzai tak segera menjawab, melainkan tersenyum lebih dulu karena memang sang istri terkesan lucu.
"Bukan tidak boleh, tapi ada baiknya di samping saja."
"Ouh, biar apa A' kalau boleh tahu?"
"Biar kelihatan," jawab Hudzai singkat dan sukses membuat raut wajah Alisya berubah seketika.
Entah tengah menghina atau bagaimana, tapi yang pasti Alisya terus merenungi ucapan sang suami untuk waktu yang lama. Hingga ketika tiba di hadapan Pak Bitoh, Alisya masih diam dan terus menerka-nerka maksud suaminya.
"Syukurlah ... tadi Ibu sudah kasih tahu via telepon. Saya pikir yang anterin nyasar atau gimana, ternyata sarapan dulu?"
"Iya, Pak, maaf sekali jika membuat khawatir."
"Ah dimaklumi, seperti yang kita ketahui manusia memang hanya bisa berencana ... tapi ketika dijalani, tetap tergantung kuasa Allah di dalamnya."
Hudzai tersenyum ramah, secara tidak langsung nasihat itu memang sangat cocok untuknya.
"Benar, Pak, sesungguhnya Allah adalah sebaik-baiknya perencana," tutur Hudzai melirik ke arah Alisya yang sejak tadi menunduk melalui ekor mata.
.
.
Hanya sebentar mereka di sana, setelahnya berlalu segera. Dengan posisi yang tidak berubah, Alisya di samping, bukan di belakang.
Akan tetapi, Hudzai merasa sang istri agak sedikit aneh, sungguh. Alisya yang tak henti mere-mas ujung kerudung seolah banyak pikiran.
"Alisya," panggil Hudzai lagi dan sontak membuat Alisya mendongak hingga tatapan keduanya terkunci.
"Iya, A'?"
"Kamu kenapa?"
"Tidak, tidak kenapa-kenapa," jawabnya sembari menggeleng pelan.
Hudzai yang tak mudah percaya dan yakin seratus persen ada sesuatu di balik diamnya Alisya jelas tidak akan puas dengan jawaban sang istri.
"Yakin tidak?"
"Iya tidak."
Sejenak pria itu terdiam, kembali berjalan lebih dulu hingga tiba di motor dia memasangkan helm untuk sang istri.
Lagi, sebuah perhatian kecil yang membuat Alisya berdesir. Dalam diam, Alisya bertanya dalam lubuk hati kecilnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa dia memperlakukanku dengan sebaik ini? Padahal, bisa jadi aku adalah perempuan yang sama sekali tidak dia ingini."
"Sudah, naiklah," tutur Hudzai sejenak membuyarkan lamunan Alisya.
Wanita itu masih tertegun, tak segera mengikuti apa kata sang suami sampai Hudzai yang tadi menduga ada sesuatu di balik diamnya Alisya kembali curiga.
Tidak ingin terjadi kesalahpahaman atau semacamnya, Hudzai menahan pergelangan tangan sang istri karena merasa ini adalah suatu hal penting dan harus dibahas.
"Sya."
"Iyaa, A', kenapa?"
"Soal tadi," ucap Hudzai terdengar bergetar, dia seolah butuh waktu untuk kemudian lanjut bicara. "A-aku bercanda ... jangan diambil hati, apalagi dipikirkan. Sungguh, tidak ada niat mele-cehkanmu, maaf jika berlebihan."
Panjang lebar Hudzai bicara, sampai arahnya kemana-mana padahal Alisya sama sekali tidak merasa begitu. Dia diam bukan karena merenungi ucapan Hudzai yang di warung, melainkan candaan sewaktu hendak masuk masjid.
Jelas saja permintaan maaf Hudzai membuat Alisya tertawa pelan. Wajah panik sang suami juga terlihat lucu, persis seseorang yang baru saja melakukan kesalahan besar.
"Aa' mah lucu, sejak kapan ada istilah suami melecehkan istrinya?"
Hudzai terdiam, jawaban Alisya memang benar. Akan tetapi, dia meminta maaf lantaran khawatir jika candaannya akan melukai harga diri Alisya sebagai perempuan.
"Iya juga ya."
"Tuh, coba deh Aa' pikir ... jadi orang kok aneh ih, ayo pulang!!" ajak Alisya tak segan menepuk lengan sang suami sebagai pertanda jika keinginannya sudah tidak dapat ditawar lagi.
Mendengar jawaban Alisya sejenak Hudzai lebih tenang. Dia kembali ke atas motor yang kemudian diikuti sang istri. Tidak lagi ada drama harus dipaksa, kali ini Alisya melingkarkan tangan di perut Hudzai atas inisiatifnya.
Merasakan pelukan di perutnya, Hudzai sontak menunduk dengan senyum tertahan. Kulit putihnya memang tertutup, tapi ujung jemari lentiknya masih dapat Hudzai lihat dengan jelas.
Entah apa yang Hudzai pikirkan, secara tiba-tiba tangannya tergerak untuk untuk mengusap jemari Alisya begitu lembut hingga yang punya bingung dibuatnya.
"A' Hudzai kenapa?"
"Hem?" Mata Hudzai mengerjap beberapa kali, usapan tangannya terhenti mana kalau mendengar suara Alisya.
"Kenapa? Neng kekencengan?"
"Bukan, ada debu di jarimu," jawabnya agak gelagapan sembari melepaskan jemari sang istri.
Bergegas menghidupkan motor untuk kemudian perjalanan semetara Alisya benar-benar salah menduga. "Masya Allah, Suamiku. Ngusap debu saja selembut itu ... hatimu terbuat dari apa, A' Hudzai?"
.
.
- To Be Continued -
...Azkara : Hati ampela, Neng itu modus, Neng modus!! Malah Masya Allah ヽ(`⌒´)ノ...