Aleena Salmaira Prasetyo adalah anak sulung dari keluarga Prasetyo. Dia harus selalu mengalah pada adiknya yang bernama Diana Alaika Prasetyo. Semua yang dimiliki Aleena harus dia relakan untuk sang adik, bahkan kekasih yang hendak menikah dengannya pun harus dia relakan untuk sang adik. "Aleena, bukankah kamu menyayangi Mama? Jika memang kamu sayang pada Mama dan adikmu, maka biarkan Diana menikah dengan Angga". "Biarkan saja mereka menikah. Sebagai gantinya, aku akan menikahimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan Aleena
Keesokan harinya.
Sinar matahari pagi sudah menyelinap masuk ke kamar hotel dari sela-sela jendela. Disana Aleen terbangun dengan tubuh segar setelah melewati hari yang berat.
" Hoam ". Dia menguap sambil meregangkan kedua tangannya.
"Sepertinya istirahatmu lebih cukup daripada pemilik kamar hotel ini sendiri".
Dev bicara dengan nada menggoda.
"Eh, maaf"
Aleena menanggapi dengan nada sedikit menyesal.
"Aku hanya bercanda. Ayo bangun, kita sarapan bersama". Dev yang sedang memegang tablet langsung meletakkannya dan beranjak dari duduknya.
"Ah! Apa kamu yang mengganti pakaianku semalam?!"
Begitu beranjak dari tempat tidur, Aleen menyadari kalau pakaiannya telah diganti seseorang saat dia sedang tidur. Dia bertanya dengan nada suara yang tinggi.
"Kamu pikir aku pria seperti apa? Aku meminta bantuan dari pelayan wanita untuk menggantikan bajumu yang basah".
Dev menjelaskan dengan sikap yang tenang dan senyum yang tipis.
"Oh. Maaf"
Aleen bicara dengan raut wajah merah karena malu.
"Sudah. Cepat duduk. Bukannya kamu harus bekerja hari ini?".
"Kamu benar. Aku harus pulang dan bersiap untuk pergi kerja. Haah... rasanya malas sekali. Pasti semua orang akan membicarakanku karena kejadian kemarin".
Aleen mengeluh dengan bibir sedikit mengerucut.
Dev hanya tersenyum memperhatikan Aleen tanpa bicara apa-apa.
"O iya Dev. Apa kegiatanmu? Sepertinya sejak kemarin aku sudah banyak menyita waktumu"
Aleen menatap Dev penuh tanya.
"Aku baru kembali ke negara ini kemarin. Aku masih ingin bersantai sebelum sibuk dengan kegiatan baruku disini. Jadi aku masih akan jadi turis untuk beberapa hari kedepan".
Dev dan Aleen terus berbincang sambil menikmati sarapan mereka.
Aleen langsung bersiap untuk pergi ke kantor setelah sarapan. Dia memakai baju yang telah Dev siapkan sebelumnya, jadi dia tidak akan pulang kerumah dulu.
"Terima kasih atas bantuanmu. Jika tidak ada kamu... aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku"
Aleena bicara pada Dev sebelum dia naik kedalam taksi.
"Tidak papa. Aku senang bisa membantumu. Kuharap masalahmu bisa cepat selesai"
Dev mendoakan Aleena dengan tulus.
"Ya, terima kasih. Sampai jumpa. Jalan, Pak". Aleena masuk kedalam taksi dan mulai melaju pergi meninggalkan hotel.
Dev masih berdiri didepan hotel sambil terus menatap taksi yang ditumpangi Aleen yang kini semakin menjauh.
"Seharusnya aku minta nomor teleponnya saja".
...****************...
Selang beberapa lama, Aleena tiba dikantor tempat dia bekerja. Seperti yang telah dia duga sebelumnya, orang-orang membicarakan tentang apa yang terjadi dipesta Angga kemarin.
"Apa kamu tahu kalau Angga dan Aleena tidak jadi bertunangan?".
"Aku tidak datang ke pesta yang mereka adakan kemarin. Memangnya apa yang terjadi?", tanya salah satu karyawan yang tidak tahu apa yang terjadi.
"Saat pengumuman pertunangan Aleena dan pacarnya akan dilakukan, tiba-tiba Aleena menghilang. Pacarnya sudah lama mencari dia, namun tetap tidak ada dan apa kamu tahu apa yang lebih mengejutkan lagi?"
"Apa?", tanyanya sambil menggelengkan kepala.
"Pacar Aleena justru malah bertunangan dengan adiknya, yang bernama Diana".
"Hah?! Apa katamu?! Pacar Aleena justru bertunangan dengan adiknya?".
Seketika suasana menjadi heboh karena mereka memiliki spekulasi sendiri.
"Benar. Sepertinya pertunangan itu memang sudah direncanakan sejak awal"
"Tidak mungkin. Bagaimana Aleena bisa setuju sementara dia dan pacarnya sudah lama menjalin hubungan?"
"Mungkin saja Aleena yang telah membuat kesalahan, jadi pacarnya lebih memilih bertunangan dengan adiknya"
"Sudahlah, jangan mengatakan hal yang bukan-bukan. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi"
Para karyawan itu terus mengeluarkan asumsi mereka mengenai pesta Angga. Mereka tidak tahu kalau Aleena berdiri disalah satu sudut dan mendengarkan semua yang mereka katakan.
"Kenapa jadi aku yang salah? Aku tidak melakukan apa-apa dan aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Bagaimana mereka bisa membicarakanku sesuka hati mereka?"
Raut wajah Aleen terlihat sangat sedih. Dia hanya bisa berjalan dengan menundukkan kepala tanpa bisa melakukan pembelaan yang pasti.
...****************...
Setelah pulang bekerja, Aleen kembali kerumah dengan rasa lelah yang terasa berlipat ganda.
"Haah... 2 hari ini terasa sangat berat untuk dilalui. Bagaimana aku bisa melewati hari-hari kedepannya?", gumam Aleena yang sedang tiduran terlentang sambil menatap langit-langit kamarnya.
Suara pintu yang dibuka secara langsung membuat Aleena terkejut
Brak
Dia berjingkut, lalu duduk dan memandang orang yang masuk ke kamarnya tanpa izin.
Plak
Sebuah tamparan mendarat dipipi Aleena tanpa dia perkirakan sebelumnya.
"Aleena, bisa-bisanya kamu baru pulang kerumah? Kamu fikir jika kamu pulang terlambat, maka Papa tidak akan menegurmu?!'
Ayah Aleena langsung mengoceh padanya dengan nada suara yang tinggi.
"Maaf, Pah. Semalam hujan, jadi Aleen menginap ditempat teman".
Pipi Aleen terasa panas karena tamparan pak Bastian, bahkan ujung bibirnya terlihat sedikit mengeluarkan darah akibat kerasnya tamparan itu. Aleen tetap tenang menanggapi sang ayah dengan kepala tertunduk. Dia tidak berani menatap mata sang ayah secara langsung.
"Papa kan sudah ingatkan kamu sebelumnya, jangan sampai membuat keluarga kita malu, tapi apa yang kamu lakukan? Bukan cuma malu saja, kamu membuat nama baik kita hancur. Sekarang berdiri dan ambil posisimu! Kamu harus menerima hukumannya!"
Pak Bastian terus memarahi Aleena sambil menunjuk-nunjuk wajahnya.
Aleena langsung berdiri membelakangi ayahnya mengikuti perintah sang ayah. Pak Bastian pun telah memegang sebuah rotan yang memang selalu ada di kamar Aleena.
Cepret!
"Dasar anak tidak tahu diri. Bisa-bisanya kamu membuat Papa malu didepan keluarga Angga dan juga tamu-tamu pestanya!"
Cepret!
"Harusnya kamu merasa bersyukur karena Angga mau berhubungan dengan gadis sepertimu!"
Cepret!
"Jika bukan karena Diana yang bersedia menggantikanmu bertunangan dengan Angga, maka hubungan baik keluarga kita pasti sudah hancur!"
Ayah Aleen terus memukul betisnya hingga menimbulkan luka. Aleena hanya menunduk dengan derai air mata yang mengalir deras dipipinya tanpa mengeluarkan suara. Dia menggigit bibirnya dan memegang tangannya sendiri untuk menahan sakitnya dipukuli sang ayah.
Setelah ayah Aleen merasa puas, dia berhenti memukulnya dan kembali menyimpan rotan ditempat semula.
"Dengarkan Papa baik-baik. Karena kamu tidak jadi bertunangan dengan Angga, maka kamu yang akan Papa jodohkan dengan putra dari keluarga Handoko menggantikan Diana"
Aleen langsung menatap sang ayah begitu mendengar apa yang dia katakan.
"Di-jodohkan, Pah?".
Aleen bertanya dengan ragu dan terbata.
"Ya. Keluarga kita dan keluarga Handoko sudah sepakat untuk melakukan perjodohan ketika masing-masing dari kami memiliki anak laki-laki dan perempuan. Awalnya papa akan menjodohkan Diana karena kamu akan bertunangan dengan Angga, tapi sekarang Diana yang bertunangan dengan Angga, jadi kamu yang akan menerima perjodohan ini".
Ayah Aleen menjelaskan secara singkat keinginannya.
"Tapi Pah, aku... "
"Kamu tidak bisa menolak. Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita. Jangan sampai kali ini kamu membuat Papa kecewa lagi. Papa sudah mengatur pertemuan kalian besok malam. Jadi kamu jangan melakukan hal yang tidak-tidak, apalagi sampai membuat papa malu lagi! Mengerti!"
"Baik, Pah"
Pak Bastian sama sekali tidak memberikan Aleen kesempatan untuk bicara. Dia langsung meninggalkan kamar Aleen setelah mendapatkan tanggapan darinya.
"Perjodohan... Apa yang harus aku lakukan jika ternyata pria yang mereka maksud tidak cocok denganku? Ah, sakit. Apa jika aku menerima perjodohan ini, maka aku bisa keluar dari rumah ini?"
Aleen bergumam sambil tengkurap di tempat tidur. Dia meringis kesakitan saat luka akibat pukulan sang ayah sedikit tersenggol. Batin Aleen bergelut dengan pikirannya sendiri hingga tanpa sadar dia tertidur dengan luka memar di kaki dan pipi yang masih merah tanpa diobati.