Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab35 Pertemuan Cakar dan Nizam
Hari Minggu
Sejak kejadian Halwa pulang malam dan ketinggalan Hp juga dompet, Halwa bersikap lebih pendiam dan tidak ceria seperti awal-awal. Walau demikian ia masih melayani Cakar dengan baik. Memasak seperti biasa dan mencucikan baju serta menyetrika baju Cakar sampai licin dan wangi.
Setelah sarapan, Halwa membereskan bekas makannya berdua. Lalu dia bergegas memburu kamar. Kamarnya kini di atas kembali, karena Cakar tidak mengijinkan Halwa tidur memisahkan diri.
"Aku suami kamu, dan aku butuh kamu." Begitu alasannya. Cakar membutuhkan kehangatan tubuh Halwa, tapi cintanya tidak untuk Halwa. Entah sampai kapan Cakar begitu. Padahal ketika melihat Halwa akan diantar oleh Letda Aldian, rasa cemburu Cakar begitu menggebu.
Halwa sudah menuruni tangga dengan dress santai semata kaki berwarna hijau mint. Wajahnya seperti biasa dipoles tipis seperti sehari-hari akan pergi bekerja.
Cakar melihat Halwa sudah rapih dan cantik, ia sangat kaget dan heran. Tidak biasanya Halwa hari Minggu sudah rapi sepagi ini.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya heran seraya membuang puntung rokok yang sejak tadi diisapnya.
Halwa menatap Cakar sekilas lalu menjawab, "Aku ada lembur hari ini, Mas. Paling hanya sampai jam 12.00 siang," jawabnya sembari meraih tangan Cakar dan menciumnya. Kebiasaan ini masih dia terapkan meskipun Cakar sudah sering menyakitinya.
"Oh, ya? Biar aku antar," ucapnya menahan langkah Halwa yang akan menuju pagar rumah.
"Tidak usah, Mas. Aku naik angkot saja," cegah Halwa.
"Naiklah, aku antar kamu pakai motor," ucapnya seraya melangkah keluar, mengunci rumah lalu menghampiri motornya. Cakar menyalakan motornya dan memanaskan sejenak.
"Halwa naiklah," titahnya. Halwa ingin menolak, tapi mata Cakar sudah menyiratkan sebuah perintah, lalu Halwa menghampiri dan menaiki motor Cakar.
"Pegangan," titahnya lagi. Halwa pegangan pada pinggang Cakar sekedarnya saja, dia tidak mau membuat Cakar tidak nyaman dengan berpegangan melebihi pinggang suaminya itu.
Tiba-tiba Cakar meraih tangan kiri Halwa dan membetulkannya. Kini jemari Halwa melingkar melebihi pinggang dan meraup perut Cakar yang terasa keras.
"Bukan apa-apa, aku takut kamu jatuh. Kalau jatuh, nanti aku juga yang kena." Cakar langsung memberi klarifikasi mengenai tangan Halwa yang dia pindahkan.
Halwa tidak menyahut, apa-apa yang dikatakan Cakar ia iyakan saja, toh ia sudah merasa lelah jika harus menjawab atau mendebat ucapan Cakar.
"Di mana aku harus hentikan motor ini? Kamu langsung sebutkan alamat lembur kamu, apakah masih di salon Male dan Female?"
"Jalan Sartika nomer 65," jawabnya. Cakar segera melajukan kembali motornya menuju alamat yang barusan Halwa sebutkan. Beberapa saat kemudian, motor Cakar tiba di sebuah alamat yang disebutkan Halwa tadi. Sepertinya sang pemilik rumah memang sedang mengadakan sebuah acara.
"Baiklah, nanti aku jemput lagi ke sini," ucap Cakar tanpa bertanya apa-apa lagi pada Halwa, lalu ia segera melajukan kembali motornya.
Halwa menatap kepergian Cakar sampai motornya menghilang. Di depan rumah ibu hajat, kehadirannya sudah disambut salah satu temannya yang sama mendapat lembur di rumah ini.
"Ayo Halwa, kita masuk. Kita akan merias anak-anak remaja untuk pagar ayu," ucapnya memberi tahu. Halwa segera masuk ke dalam bersama Mega temannya itu.
Setelah mengantar Halwa ke alamat tadi, Cakar segera melajukan motornya ke kafenya. Dia sudah ada janji dengan seseorang.
Tiba di kafe
"Bang Nizam," sapa Cakar yang melihat Nizam sudah berada di kafe miliknya dan duduk tepat di pinggir kaca.
Nizam berdiri dan merangkul Cakar dengan gembira. Mereka memang jarang ketemu, sebab Nizam beda kesatuan tapi masih di kota yang sama.
Mereka saling berpelukan untuk sesaat. Nizam merupakan kakak letting Cakar. Dia juga yang selama ini sering membantu Cakar. Dulu saat pendidikan, Nizam sempat jadi pembinanya. Walau masih sangat keras dalam membina, tapi Nizam tidak lebih keras dari pada yang lain. Nizam di mata Cakar merupakan senior yang sangat baik dan sering memberikan bocoran saat psikotes dulu. Jika teringat hal itu, keduanya tertawa terbahak-bahak karena begitu solidnya hubungan mereka.
"Bagaimana pernikahanmu Cak? Sudah menghasilkan?" tanya Nizam sembari menyeruput kopi cappucino favoritnya.
"Belum, Bang. Kami masih berdua."
"Apakah, kamu belum sepenuhnya melupakan Seli?" Tiba-tiba lelaki yang sudah Letnan dua itu menyinggung nama Seli, dari mana ia tahu tentang perasaannya terhadap almarhumah Seli?
Cakar seperti enggan menjawab, ia merasa sedih jika mengingat Seli.
"Baiklah. Bagaimana dengan adikku Nilam, apakah dia masih sama manjanya apabila dekat denganmu?" tanya Nizam mengalihkan topik pembicaraan. Lelaki yang sudah mengikuti sekolah Secapa dan kini berpangkat Letda itu menatap Cakar dalam. Sebab dulu ada sebuah harapan di sana.
"Begitulah Bang, sampai orang-orang sekitar menduga kita ada hubungan."
"Sabarlah, enam bulan lagi Nilam sudah di acc akan dipindahkan ke Bandung. Biar di sana jauh lebih dekat denganku. Terimakasih Cak, kamu sudah mau menjaga Nilam. Sebetulnya aku sudah begitu khawatir membiarkan dia di sini sendirian, aku takut dia terjerumus pergaulan luar yang brutal," tutur Nizam yang merupakan kakak kandung Nilam.
Hubungan dekat antara Nilam dan Cakar mulai terjalin setahun yang lalu. Ketika Nilam dipindahkan ke kesatuan yang sama dengan Cakar. Nizam sang kakak menitipkan Nilam pada Cakar, karena merasa Cakar adalah satu-satunya teman atau yunior yang dia percayai. Bahkan sebelumnya Nizam berharap, Cakar dan Nilam menjalin sebuah hubungan yang lebih dari sekedar abang pada adik angkatnya. Akan tetapi, setelah mendengar berita Cakar telah menikah, Nizam tidak ada harapan itu lagi.
Nilam, baru setahun dipindahkan dari Papua ke wilayah Jawa. Di sini Nilam merasa beruntung, sebab bisa bertugas di kesatuan yang tidak memungkinkan untuk mengirimkan anggotanya ke wilayah konflik. Beruntung Nilam di acc ke kesatuan Pusdik. Dan ini suatu ke beruntungan baginya, sebab dia tidak mungkin lagi bertugas di wilayah konflik.
"Tapi sepertinya Nilam justru betah di kesatuan ini," celetuk Nizam lagi seraya menatap Cakar lebih dalam. Cakar tidak menjawab, sepertinya hatinya yang bisa menjawab, sebab Nilam menyukainya.
Pertemuan Nizam dan Cakar berakhir setelah mereka merasa puas bernostalgia. Diakhir pertemuan, Cakar memberikan hormat pada seorang senior juga sebuah pelukan.
"Kamu sekolah Secapa juga Cak, biar cepat bisa naik," ujarnya. Hanya mereka yang paham maksud naik yang diucapkan Nizam. Jika orang awan belum tentu. Cakar tertawa.
"Doakan saja," jawabnya seraya mulai melambaikan tangannya pada Nizam.
"Hati-hati Bang. Nanti kapan-kapan saya mampir ke Bandung jika ada tugas dari kesatuan, atau ada acara keluarga," pungkasnya seraya menatap kepergian Nizam yang sudah menaiki mobilnya. Mobil Nizam pergi, kini giliran Cakar yang pergi dari kafenya. Motornya ia tujukan ke rumah kedua orang tuanya.
Tiba di rumah orang tuanya
"Kakak? Kebetulan sekali datang. Padahal kemarin-kemarin Ibu dan Bapak sudah menunggu kedatangan Kakak." Di depan rumah Aisyah sudah menyambut Cakar dengan wajah kurang senyum sembari menyiram bunga kesayangannya.
"Emang ada apa sih Ais? Ibu sama Bapak mau kasih kakak persekot?" tanyanya penasaran.
"Iya betul persekot. Ini persekotnya." Aisyah mengarahkan tinjunya ke udara sampai Cakar terkejut. Tiba-tiba saja firasatnya kurang baik.
"Baru saja di depan pintu, auranya sudah horor," gumamnya ragu melangkah.
"Masuklah Cakar, kenapa masih di depan teras?" Sebuah pertanyaan tegas terlontar dari bibir perempuan yang selama ini dia hormati. Tapi tatapannya justru sangat menakutkan.
Akan mendapat persekot apakah Cakar dari ibunya?