Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Takut Bertemu Mantan?
“Masih belum bisa move-on?”
Sebuah tanya terlontar dari seorang wanita, yang merupakan rekan kerja Marsha yang berprofesi sebagai Pastry Chef—orang yang khusus membuat kue di restoran.
Mereka kini tengah beristirahat makan siang di ruangan khusus untuk para karyawan restoran.
Marsha bekerja di salah satu hotel berbintang lima. Gadis itu awalnya bekerja sebagai koki pembantu. Dan berkat keuletan dan kerajinannya, setiap tahun jabatan gadis itu meningkat hingga kini menjabat sebagai asisten Chef, atau yang sering di sebut Sous Chef.
“Siapa yang belum move-on?” Tanya gadis itu sembari menyuapkan sesendok nasi ayam ke dalam mulutnya.
“Apa kamu masih mengharapkan pria itu?” Tanya wanita yang bernama Mitha itu.
Marsha menghela nafas pelan. Dari semua rekan kerja di dapur restoran itu, hanya Chef Mitha yang mengetahui tentang masalalunya.
“Aku tidak mengharapkannya, Chef.” Jawabnya sembari menutup kotak bekal yang ia bawa.
“Apa yang kamu lakukan seandainya kalian bertemu kembali?” Tanya wanita yang tiga tahun lebih tua dari Marsha itu.
Kepala Marsha menggeleng pelan. Ia bahkan tidak berharap untuk bertemu lagi dengan Rafael.
“Apa kamu tidak ingin mendengar penjelasannya?”
Marsha yang sejak tadi duduk menunduk, kemudian memutar kepala menoleh ke arah lawan bicaranya. Chef Mitha pun sedang menatap ke arahnya menunggu jawaban.
“Aku sudah menunggunya lima tahun yang lalu, Chef. Tetapi, dia tidak datang memberi penjelasan.” Nada suara Marsha terdengar getir. Chef Mitha pun mengusap lengan gadis itu.
Ya.
Lima tahun yang lalu, Marsha menunggu kabar dari Rafael. Ia berharap pria itu menghubungi, kemudian mencarinya untuk memberikan penjelasan.
Namun, hingga dua bulan berlalu, pria itu sama sekali tidak ada menghubunginya. Bahkan, balasan pesan terakhir yang Marsha kirim, masih berwarna abu-abu tanda belum terbaca.
Hal itu semakin membuat Marsha sakit hati. Ia pun memutuskan untuk mengganti nomor ponselnya. Dan tidak berharap lagi pada Rafael.
“Bukannya sebagai manusia kita tidak boleh terlalu berharap kepada sesama manusia?” Gadis itu tersenyum getir.
Chef Mitha pun kembali mengusap lengannya.
“Aku tahu perasaanmu. Meski aku tidak pernah mengalami yang kamu alami. Setidaknya, aku bisa merasakan kesedihan dari ceritamu.”
Marsha menganggukkan kepalanya pelan.
“Oh ya. Kita lupakan pembahasan tentang masalalu itu. Omong-omong, jadwal perputaran karyawan sebentar lagi akan tiba. Kamu harus siap-siap berangkat ke Jakarta.” Chef Mitha mengalihkan topik pembahasan. Ia tidak mau melihat Marsha kembali bersedih, seperti lima tahun lalu saat pertama kali mereka berkenalan.
“Apa aku boleh menolak?” Tanya Marsha penuh harap. Jujur, ia belum mau kembali menginjakkan kakinya di ibukota negara itu.
“Mau menolak lagi? Sekarang kamu mau beralasan apalagi? Tahun lalu kamu sudah menolaknya.” Chef Mitha mengingatkan.
Marsha menghela nafas pelan. Setiap tahun, memang ada perputaran penempatan karyawan di hotel itu. Para pekerja yang sudah bekerja di atas tiga tahun, mendapat kesempatan untuk bermutasi ke hotel pusat di Jakarta.
Tahun lalu, nama Marsha masuk kedalam salah satu karyawan yang akan di pindah tugaskan. Namun, gadis itu menolak dengan dalih belum memiliki cukup pengalaman, dan ingin lebih lama mengasah kemampuannya. Pihak hotel menyetujui, dan memberikan gadis itu waktu hingga satu tahun. Kini waktu itu telah tiba. Mungkinkah nama Marsha akan kembali terpanggil?
“Semoga saja nama aku tidak masuk tahun ini.” Ucap Marsha penuh harap.
“Memangnya di dapur ada berapa asisten Chef? Cuma kamu saja.”
Ucapan Chef Mitha membuat Marsha mendengus kesal.
\~\~\~
Tiga hari berlalu.
Benar yang di katakan oleh Chef Mitha saat itu. Jadwal perputaran karyawan hotel pun di umumkan. Dan nama Marsha dan Chef Robby menjadi salah satunya.
Seperti yang sudah berlalu, para karyawan akan berangkat ke Jakarta sebulan setelah nama mereka di umumkan. Keberangkatan ke ibukota pun di tanggung oleh pihak hotel.
“Selamat Sha. Akhirnya giliran kamu tiba.” Chef Made datang sembari mengulurkan tangan.
“Bukan hal membanggakan yang harus mendapatkan ucapan selamat, Chef. Sampai disana kita juga akan bekerja seperti disini.” Marsha membalas jabatan tangan Chef Made dengan lesu.
“Tidak apa-apa. Yang penting berangkatnya sama ayang.” Gurau pria humoris itu sembari melirik ke arah Chef Robby yang sedang serius dengan buku catatannya.
Pengalihan tugas membuat pria berusia tiga puluh lima tahun itu sibuk mendata beberapa barang, yang nantinya akan di serahkan kepada rekan sesama Chef yang masih bertugas di Jakarta dan akan menggantikannya disini.
“Chef Made.” Marsha mendelik. Dan pria asli Bali itu pun tergelak.
Saat jam pulang kerja tiba, Chef Robby mengajak Marsha untuk berbicara berdua.
“Ada hal penting apa yang ingin Chef bicarakan dengan aku?” Tanya Marsha saat mereka sudah berada di salah satu kedai es krim ternama.
“Kamu sudah tahu ‘kan, jika nama kamu masuk ke dalam daftar nama karyawan yang akan berangkat ke Jakarta bulan depan?” Chef Robby menyerahkan satu cup es krim rasa coklat pada gadis itu.
Sembari mengangguk, Marsha pun menerima es krim yang katanya dari negara Italia itu.
“Kamu sudah siap?” Tanya pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu.
Marsha menghela nafas pelan. Sejujurnya, ia tidak akan pernah siap untuk kembali ke Jakarta. Bukan karena takut akan bertemu dengan Rafael, tetapi ia pasti akan teringat kembali dengan kenangan masalalunya.
“Apa aku boleh menolaknya lagi, Chef?” Tanyanya dengan polos.
Chef Robby menyunggingkan salah satu sudut bibirnya.
“Sayangnya tidak, Sha. Asisten ku cuma kamu. Jika aku pergi, berarti kamu juga harus ikut.”
Jawaban Chef Robby membuat Marsha sedikit mendengus.
“Kalau begitu, Chef saja yang menolak. Otomatis aku juga tidak jadi pergi ‘kan?” Saran konyol pun ia lontarkan. Membuat Chef Robby terkekeh pelan.
“Andai hotel ini milik aku, Sha. Aku pasti melakukan yang kamu ucapkan itu dengan senang hati.” Pria itu menjeda ucapannya, kemudian menyuapkan sesendok es krim stroberi ke dalam mulutnya.
“Sayangnya, aku juga sama sepertimu. Hanya seorang pekerja, yang sudah terikat kontrak. Dan harus siap di tempatkan dimanapun perusahaan menghendakinya.”
Ucapan Chef Robby seolah menyindir gadis itu. Ia pun hanya menanggapi dengan anggukan kepala pelan.
“Lagipula, kenapa kamu seolah enggan pergi ke Jakarta? Bukannya disana kampung halamanmu? Apa kamu takut bertemu dengan mantan kekasihmu?” Tanya pria itu kemudian yang membuat Marsha tersedak.
mungkin itu jg yg membuat banyak orang tidak bisa hidup damai, karena sakit hati harus dibalas dengan sakit hati jg.. 🤦🏻♂️
.
cerita nya bagus, keren 👍
secangkir kopi buat author ☕