"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Calon Suami
"Sah?" tanya seorang penghulu kepada semua orang yang ada di aula pernikahan mewah tersebut.
"Sah!" jawab semua orang serempak.
"Hapus air mata kamu," bisik Yulan. Bibi Amara, kakak tiri Sashi. "Jangan rusak suasana. Kamu itu harus sadar diri, Sashi. Kamu di keluarga Mas Hariyono hanyalah parasit. Kamu dipungut karena Mas Hari terlalu bulol sama ibu kamu."
Begitulah, kata-kata nyelekit dari orang di sekitar keluarga baru ibunya yang sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Shashi sejak dia beranjak remaja.
"Tuh lihat. Azka itu lebih cocok sama Amara. Dia cantik, badannya bagus, mana seorang dokter. Wajar kalau Pak Jendral maunya dia bukan kamu. Amara itu nyaris sempurna."
"Tapi penyakitan," gumam Sashi.
"Apa?" tanya Yulan.
"Enggak papa!" jawab Sashi sambil tersenyum sok ramah, padahal dalam hati ia komat-kamit tak karuan.
"Dih, enggak jelas." Bibi Yulan berdecih. "Oh iya, jangan sebar gosip macem-macem, Amara enggak pernah rebut Azka dari kamu, kamunya aja yang sial."
Sakit memang, mulutnya Yulan, bukan hati Sashi, kalau hati Sashi, tidak dikatakan pun, dia sudah sangat hancur, kata sakit tidak bisa mendeskripsikan semuanya. Laki-laki yang sangat dia cintai, meninggalkannya dan memilih untuk menikah dengan kakak tirinya. Hanya karena dia seorang bidan dan kakaknya seorang dokter, dan katanya karena Pak Jendral dan ibunya sudah memiliki perjanjian sejak lama.
"Eh lihat, deh! Kasihan ya Bidan Sashi, masa dia enggak jadi nikah sama Mas Azka sih."
"Eumm, kasihan banget. Mana udah ngarep mau jadi menantu jendral, eh enggak jadi."
Para tamu undangan di ruangan itu terus berbisik-bisik membicarakan dan memojokkannya. Namun Sashi bisa apa selain melihat orang-orang yang saat ini ada di atas panggung terlihat begitu bahagia.
"Sha!" panggil seseorang sambil menepuk pundak sahabatnya. "Yang sabar, ya. Mungkin kamu emang bukan jodoh si Azka, emang enggak pantes kamu sama bos t0gel."
"Eumm."
"Kalau kamu mau, aku punya kenalan. Udah Mateng sih, Sha. Tapi masih mending lah daripada si Azka gendeng."
"Apan sih, Rin." Sashi menatap jauh ke arah pelaminan di mana, ibunya terlihat sangat bahagia setelah menyakiti hati putrinya sendiri.
"Beneran ih. Kalau kamu mau, aku bawa kamu temuin dia. Yuk, dia kayaknya butuh pewaris, ayolah. Orang kaya," ucap Rindu sambil menarik tangan Sashi untuk mendekati area tertentu di tempat itu. "Nah itu, itu orangnya!" tunjuk Rindu.
Saat menoleh, Mata Sashi membelalak, mungkin jika tidak langsung berkedip, b!J! matanya akan menggelinding.
"Rin, kamu serius mau jodohin aku sama aki-aki? Inalillahi, itu mah cocok buat jadi engkong aku, Rin."
"Eh, dia banyak duit, Sha."
"Ih, ogah. Enggak mau, Rin. Kakinya aja udah tiga, bapak aku aja cuma satu lho."
Saat itu, Sashi hendak lari, tapi si kakek di dekat meja VIP itu melambaikan tangan ke arah mereka.
"Ketemu, Kek. Ini orangnya, dia mau." Rindu memekik pelan membuat Sashi melotot tidak percaya.
"Rindu, Anji!r. Itu mah bukan Mateng, gosong, Rin. Kematengan. Aku enggak mau."
Bukannya mengerti, si kakek malah mendekati mereka. "Hai, lama sekali. Jadi siapnya kapan?" tanya si kakek saat mereka sudah mendekat. Sashi menoleh ke arah sahabatnya, bertanya apa maksud si kakek.
"Nikahnya. Kapan sahabat kamu ini siap, saya butuh b4yi secepatnya.".
Melongo, Sashi hanya bisa menatap pria keriput di depannya dengan tatapan tidak percaya. Andai itu bukan tempat yang sakral saat ini, dia pasti akan memukul kepala si kakek dengan centong sayur.
Satu minggu yang lalu .....
"Sashi," panggil Jenderal Wirantara, ayah Azka.
Sashi tersenyum dengan sopan. "Iya, Pak?"
"Sebetulnya, saya enggak pernah setuju kamu nikah sama anak saya, Azka."
"Maksud Bapak?"
"Dari dulu, saya maunya Azka nikah sama kakak kamu," lanjut Jenderal itu tanpa tedeng aling-aling. "Lagipula, ibu kamu juga sudah janji, yang bakal dijodohkan dengan anak saya adalah anaknya yang jadi dokter. Sedangkan kamu ...." Ia berhenti, kemudian menatap Sashi dari ujung kepala ke ujung kaki, "kamu cuma bidan."
Setengah napas Sashi tertahan. Dia tidak menyangka calon ayah mertuanya akan mengatakan hal seperti ini. "Tapi, Pak... undangan sudah mau disebar. Satu minggu lagi saya dan Mas Azka mau menikah."
"Saya tahu," jawab sang Jenderal dengan tenang, "tapi ini demi kebaikan kalian juga. Ibu kamu juga sudah setuju. Jangan memperumit keadaan. Tolong sadar diri. Saya maunya kakak kamu, bukan kamu. Jangan mempersulit urusan orang lain, saya juga enggak mau anak saya nanggung malu punga mertua cacat kayak ayah kamu."
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam dadanya berkali-kali. Namun Sashi menunduk, ia tidak mau berdebat , Shasi berdiri kemudian membungkuk sopan, lalu berbalik meninggalkan halaman rumah itu dengan langkah limbung.
Titik-titik air mata mulai jatuh membasahi surat undangan yang belum sempat disebarkan itu. Yang dia pahami hanya dua bagian, Pak Jendral tidak mau memiliki besan yang cacat, juga merasa statusnya yang hanya seorang bidan tidak bisa bersanding dengan anaknya. Sashi cukup mengerti.
Sesampainya di rumah, Sashi bergegas masuk. Ia ingin bertemu ibunya, ingin menanyakan semua ini, mengapa? Mengapa ibu kandungnya sendiri ikut menyetujui pengkhianatan ini?
Namun langkahnya terhenti ketika melewati kamar kakaknya. Pintu kamar terbuka sedikit, dan dari celahnya terdengar suara tawa lirih bercampur tangis bahagia.
"Aku masih enggak nyangka, aku yang akhirnya akan menikah sama Mas Azka." Suara kakak tirinya, Amara, terdengar melambai-lambai, manja.
"Kasihan Sashi…," lanjut Amara, "aku takut dia marah, aku takut dia benci sama aku, Bu."
Lihat, dari serigala tapi bisa berubah menjadi kelinci tak berdaya. Tipu muslihat Amara selalu membuat Sashi kesal tanpa bisa berkata-kata.
"Ah, Sashi itu anak baik." Suara ibu mereka menyusul. "Dia enggak akan marah. Dia pasti ngerti. Lagipula, kamu kan sakit, Amara... Kamu lebih butuh pendamping. Kalau Azka yang jadi suamimu, ibu tenang."
Sashi membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya gemetar, keningnya mengerut dalam. Amara adalah anak tiri ibunya, tapi kenapa, kenapa selalu Amara yang diutamakan sang ibu?
Baru beberapa langkah untuk pergi, ia malah bertemu dengan sepasang mata tajam. Ayah tirinya, Pak Hariyono.
"Kamu pasti udah tahu, kan?" tanyanya datar.
Sashi menunduk. Tak sanggup menjawab.
"Kamu harus tahu diri, Sashi. Dari umur tiga belas tahun kamu saya rawat. Saya yang biayai sekolahmu. Kalau bukan karena saya, kamu cuma jadi anak marbot masjid, hidup serabutan. Kamu enggak mungkin jadi bidan."
Sashi terangkat kepalanya sedikit. "Saya tidak pernah minta dirawat, Pak... Saya cuma ...."
"Ssst!" hardiknya tajam. "Jangan mulai membela diri. Kamu harus ngerti. Kakakmu itu sakit, dia lebih butuh perlindungan. Dan kamu? Kamu bisa bertahan. Kamu kuat. Jadi, mengalah itu bentuk terima kasih. Jangan pernah berpikir untuk membenci dia."
Air mata Sashi akhirnya meluncur juga, jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan. Tapi ia tidak menangis keras. Ia menahan suaranya, menahan isaknya.
"Jadi... saya harus mengalah, karena saya kuat?"
Bukannya menjawab, Pak Hariyono malah berbalik.
"Oh iya!" kata Pak Hariyono lagi. "Nanti, kalau anak saya dan Azka menikah, jangan suruh ayah kamu datang, ya. Jangan buat keluarga saya malu."
Lagi-lagi Sashi tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya kedua tangannya saja yang mengepal kuat.
"Jangan lupa juga bayar uang bekas sekolah kamu, bulan ini saya minta double. Biar cepet lunas!"
Luar biasa bukan? Katanya Sashi harus berterima kasih karena sudah mereka rawat, tapi pada kenyataannya, semua biaya itu harus dia ganti.
Untuk saat ini sepertinya dia harus kabur, dia muak jika terus dipaksa melihat wajah orang-orang munafik di Rima tersebut. Tepat ketika ia membuka pintu, pria yang beberapa tahun ini menjadi pacarnya ada di sana. Berdiri tegak sambil membawa buket bunga mawar merah yang sangat besar.
"Mas!" panggil Sashi sambil tersenyum.
"Mas Azkaaaa!" pekik Amara dari belakang Sashi, dia berlari sampai menyenggol lengan Sashi dan membuat Sashi hampir terbentur pintu.
Mata Sashi memerah ketika dia melihat pria yang sangat dicintainya memeluk kakaknya sendiri, sambil tersenyum dan sesekali meliriknya dengan lirikan meremehkan.
"Mas kenapa enggak bilang kalau mau ke sini?" tanya Amara manja.
"Mas kangen, Sayang." Matanya mengeliring menatap tajam ke arah Sashi.
"Sha!" Panggil Rindu sambil menggoyangkan tangan Sashi. Menatap sahabatnya dengan tatapan berbinar "Malah ngelamun. Gimana, mau enggak? Nikah doang, bikin anak, lahiran, terus dapet warisan? Mau?"
apa fpto ibu mbak ika dan bapaknya dirga???
penasarannnn...
❤❤❤❤❤
foto siapa ya itu?
❤❤❤❤❤❤
apa yg dibawa mbak eka..
moga2 dirga segera naik..
❤❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
mending pulang ke rumah mertua yg sayang banget ama sashi..
❤❤❤❤❤