Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
Kinara keluar dari kamarnya dengan langkah cepat. Wajahnya masih panas, pikirannya berantakan. Ia menghindari menoleh ke arah kamar Arman dan langsung menuju dapur kecil yang terhubung dengan ruang makan.
"Selamat pagi, Nyonya Muda," sapa beberapa pelayan, Kinara hanya tersenyum dan mengangguk. Beberapa pelayan berbisik tentang Kinara yang tidur di kamar Arman, tetapi Kinara tak memedulikan itu.
Beberapa menit kemudian, Arman keluar dari kamar bersama Aksa. Bocah itu tampak ceria terlalu ceria untuk pagi yang canggung.
“Aksa mau sarapan sama Mommy!” serunya riang.
Kinara sedang menuang susu dan hampir menumpahkannya. “Iya, iya … duduk yang rapi.” sahutnya saat menatap mereka tiba di depan meja.
Arman didorong Rudi menuju meja makan, suasana hening dan terlalu hening. Pagi ini, Rudi tiba lebih awal di kediaman Pramudya, karena Arman memutuskan untuk mengantarkan Aksa sekolah dan akan singgah ke kantor.
Kinara meletakkan piring di depan Aksa, lalu satu di depan Arman. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia berusaha terlihat biasa saja.
“Terima kasih,” ucap Arman singkat.
Kinara mengangguk tanpa menatapnya. Aksa mengunyah roti sambil memperhatikan wajah mereka bergantian.
“Daddy … Mommy…”
Kinara dan Arman bersamaan menoleh. “Apa?”
Aksa tersenyum lebar. “Nanti antar Aksa ke sekolah bareng ya.”
Kinara refleks mengangguk. “Tentu.”
Arman terdiam sejenak, lalu berkata datar, “iya, Daddy ikut,”
Kinara menoleh cepat. “Hah?”
Rudi yang berdiri di belakang kursi roda ikut terkejut.
“Aku bilang aku ikut,” ulang Arman. “Aku ingin melihat sekolah Aksa lagi.”
Aksa berhenti mengunyah. Matanya membesar. “Beneran, Daddy?”
Arman mengangguk kecil. “Iya.”
Aksa melonjak dari kursinya dan memeluk sisi kursi roda Arman. “Daddy memang yang terbaik!”
Kinara menatap pemandangan itu. Dadanya menghangat tanpa izin. Ia menunduk, menyibukkan diri merapikan meja agar perasaannya tak terbaca.
Sarapan selesai dengan suasana yang sedikit aneh. Tidak sepenuhnya nyaman, tapi juga tidak dingin. Saat mereka bersiap berangkat, Kinara mengambil tas Aksa dan berdiri di samping Arman. Tanpa sadar, tangannya menyentuh sandaran kursi roda, gerakan kecil, refleks, namun terasa berarti.
Arman meliriknya sekilas dan tak berkata apa-apa.
Mobil melaju meninggalkan halaman rumah. Aksa duduk di tengah, bersandar bergantian ke Kinara dan Arman, seolah memastikan keduanya ada di sana.
Suasana di halaman sekolah TK itu berubah drastis. Begitu Aksa turun dari mobil, beberapa anak langsung menyapanya lebih dulu.
“Hai, Aksa!”
“Aksa datang!”
“Aksa mau main sama aku nanti!”
Tak ada lagi ejekan dan tak ada lagi bisik-bisik. Anak-anak berdiri rapi, menatap Aksa dengan kagum, bahkan hormat, meski belum sepenuhnya paham alasannya.
Kinara berdiri sedikit menjauh, memperhatikan dengan dada yang akhirnya terasa ringan.
'Aksa aman sekarang,' batinnya.
Dia mengeluarkan ponsel dari saku tasnya tepat ketika layar menyala. Ada nomor tak dikenal menghubunginya.
“Halo?”
Beberapa detik kemudian, mata Kinara membulat.
“Iya … iya, benar. Saya Kinara,” ucapnya terbata, lalu,
“Apa? Dipanggil wawancara? Hari ini?”
Senyumnya mekar lebar dan melompat kecil,
“iya! Tentu saya bisa datang!”
Telepon ditutup, Kinara melonjak kecil tanpa sadar. Tangannya mengepal penuh semangat. Arman memperhatikannya dari dalam mobil.
Sudut bibirnya terangkat sangat tipis dan ada senyum yang bahkan nyaris tak ia sadari muncul. Namun saat Kinara menoleh, Arman langsung memalingkan wajah. Ekspresinya kembali datar, seolah tak ada apa-apa.
Kinara mendekat ke mobil. “Aku dapat panggilan kerja,” katanya cepat, matanya berbinar. “Di perusahaan farmasi besar.”
Arman mengangguk. “Bagus.”
“Aku nggak langsung pulang,” lanjut Kinara. “Ada janji dengan mereka. Jadi … aku nggak akan merepotkan Bapak lagi ke depannya.”
Kalimat itu sederhana dan bahkan terlalu sederhana. Namun Arman merasakannya seperti sebuah peringatan. Sebuah taksi melintas. Kinara refleks mengangkat tangan dan menghentikannya.
Ia membuka pintu, lalu menoleh sebentar ke arah mobil Arman. “Aku pergi dulu, Pak."
Ia melambaikan tangan, Arman membalas dengan anggukan singkat. Mobil taksi itu melaju, menjauh perlahan. Arman menatap lurus ke depan, wajahnya tetap dingin dan tetap berusaha tenang.
Namun di dadanya, sesuatu berdenyut tidak nyaman.
'Pergi lagi,' pikirnya. 'Selalu begitu,'
Arman menutup mata sesaat, karena entah sejak kapan, kehadiran Kinara yang seharusnya hanya sementara, sudah terasa terlalu nyaman untuk dilepas begitu saja.
Siang itu, gedung Mission Bar mendadak bergolak. Pesan rapat darurat menyebar ke seluruh lantai eksekutif, rapat penting. Seluruh jajaran manajemen wajib hadir.
Bisik-bisik langsung memenuhi koridor.
Sudah hampir lima tahun lamanya, sosok pemilik perusahaan itu tak pernah muncul langsung. Banyak yang bahkan hanya mengenalnya dari nama di dokumen.
Dan hari ini, lift khusus CEO terbuka.
Arman Pramudya keluar lebih dulu. Duduk di kursi roda, setelan jas gelap rapi, wajahnya dingin dan berwibawa. Rudi berdiri di belakangnya, ekspresinya serius.
Koridor mendadak sunyi. Beberapa karyawan refleks menunduk. Yang lain hanya terpaku dan tak percaya. Belum sempat suasana mencerna kehadiran itu,
“Wah.” Suara sinis terdengar dari ujung lorong. Rayyan muncul bersama asistennya, Leo. Langkah mereka terhenti saat melihat Arman tepat di depan lift CEO.
Rayyan menatap dari ujung rambut hingga roda kursi itu, lalu tersenyum mengejek.
“Untuk apa ke sini?” katanya lantang. “Cari kerja?”
Beberapa karyawan menahan napas.
“Gedung sebesar ini,” lanjut Rayyan, “rasanya bukan tempat yang cocok untuk orang cacat. CEO Mission Bar jelas nggak akan mau kerja sama dengan...”
"Heh!" Arman tersenyum kecil sembari menatap Rayyan dengan ujung matanya.
Rudi maju setengah langkah. “Mulut kamu terlalu sampah.”
Rayyan menoleh tajam. “Kamu siapa berani ngomong begitu?”
“Aku?” Rudi tersenyum tipis. “Orang yang bisa memastikan kariermu berhenti hari ini.”
Leo menarik lengan Rayyan pelan. “ Pak Rayyan, sudah...”
“Diam!” bentak Rayyan. “Kalian pikir kalian siapa? Datang ke perusahaan besar begini mau sok berkuasa?”
Arman mengangkat satu tangan, menghentikan Rudi. Tatapan Arman lurus ke depan, melewati Rayyan seolah pria itu tak lebih dari udara.
“Rapat akan dimulai,” ucap Arman tenang.
Rayyan tertawa mengejek. “Rapat?”
Ia menunjuk kursi roda itu. “Kamu pikir kamu punya hak bicara di sini?”
Lift rapat terbuka.
Rudi mendorong kursi roda Arman masuk tanpa menoleh lagi. Sebelum pintu tertutup, Arman berkata pelan, nyaris berbisik, namun cukup untuk membuat Rayyan menegang.
“Kamu akan segera tahu … siapa yang berhak bicara.”
Pintu lift menutup.
Rayyan berdiri kaku, hatinya mendadak tidak tenang, tanpa tahu bahwa tanah tempatnya berdiri sedang runtuh.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat