Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Musik lembut mulai terdengar dari speaker kecil di pojok ruang tengah. Lagu romantis lawas yang dulu sering diputar Zhea dan Zavier saat awal pernikahan mereka.
Lampu ruangan diredupkan sedikit, menyisakan cahaya hangat dari lilin dan lampu gantung kristal di atas meja makan yang sengaja dipindahkan ke ruang tengah.
Zhea berdiri perlahan dari kursinya, menatap suaminya dengan senyum manis. "Mas ..." panggilnya lembut, "Mau berdansa sebentar sama aku?"
Semua orang di ruangan spontan menoleh.
Arin menutup mulutnya, terkejut sekaligus tersenyum gemas. "Wah, romantis banget, Kak Zhea!"
Rindu menepuk tangan suaminya pelan karena kini sudah tak menggendong Zheza. Cucunya itu sudah tidur di kamar atas, ditemani Bi Acih. "Lihat tuh, Pa. Mereka masih kayak pengantin baru."
Zavier sempat tampak canggung, tapi Zhea sudah lebih dulu mengulurkan tangannya. Tatapannya lembut ... terlalu lembut sampai Zavier merasa bersalah menolaknya. Ia pun berdiri, meraih tangan Zhea.
Musik berganti menjadi lagu yang lebih pelan.
Zhea melingkarkan tangannya di leher Zavier, sementara tangan lelaki itu bertumpu di pinggang istrinya. Mereka mulai bergoyang perlahan mengikuti irama.
"Sudah lama kita nggak begini, ya ..." bisik Zhea pelan.
Zavier menatap wajahnya, mencoba tersenyum. "Iya ... kamu masih ingat lagunya."
Zhea mengangguk. "Aku ingat semua, Mas. Semua hal kecil tentang kita." Kata-katanya terdengar manis, tapi di balik sorot matanya, ada luka yang dalam dan tekad yang dingin.
Dari ujung ruangan, Elara hanya bisa memandangi mereka. Tangannya menggenggam erat gelas berisi jus jeruk, sampai buku jarinya memutih. Di matanya, terlihat bara cemburu yang nyaris tak bisa ia sembunyikan.
Setiap kali Zhea menyandarkan kepalanya di dada Zavier, dada Elara terasa sesak ... seolah setiap langkah dansa itu menusuk hatinya satu per satu.
Arin bersorak kecil, "Aduh, gemes banget! Kak Zhea, Kak Zavi, nanti ajarin aku ilmu-ilmu tentang menjaga keromantisan dan keharmonisan keluarga ya!"
Zhea tertawa kecil ... senyum yang nyaris sempurna, meski matanya tetap menatap dalam ke arah Zavier. "Boleh banget, Rin," ujarnya pelan. "Tapi belajar dulu satu hal penting: jangan pernah lepaskan tangan orang yang kamu sayang ... selama dia masih setia menggenggam tanganmu."
Zavier tersentak halus. Ia tak tahu apakah kalimat itu sekadar petuah romantis ... atau sebuah peringatan tersembunyi.
Musik perlahan mereda.
Zhea menatap suaminya sekali lagi ... tatapan yang tenang tapi menyimpan badai. Kemudian ia berbalik ke arah semua orang, tersenyum hangat.
"Terima kasih sudah menyemarakan malam ini," katanya. "Tapi ... masih ada satu kejutan terakhir."
Rindu dan Arin saling berpandangan penuh antusias.
"Elara, kamu juga jangan ke mana-mana, ya. Jangan dulu pulang," ucap Zhea lembut sambil melirik sekilas ke arahnya. "Aku punya hadiah spesial untuk suamiku, dan kamu harus melihatnya juga."
Elara menegang di tempat. Bukan kaget, lebih ke terbakar api cemburu.
Zavier tersenyum tipis, bangga sekaligus lega. Istrinya ternyata masih percaya kepadanya.
Dan malam yang tadinya tampak romantis ... kini siap berubah menjadi panggung kebenaran.
Musik dansa perlahan menghilang, berganti dengan hening yang lembut.
Zhea perlahan melepaskan pelukan dari Zavier, menatap wajah suaminya dengan senyum yang tak terbaca di antara manis dan misterius.
"Mas ..." ucapnya lembut, "Aku mau ngajak kalian semua menonton sebentar."
Rindu menatap penasaran. "Menonton apa nih?"
Zhea tersenyum hangat. "Menonton video pernikahanku dulu dan Mas Zavier, Ma. Itung-itung mengenang masa lalu. Tapi dalam video itu ... ada hadiah besar untuk Mas Zavi."
Ucapan itu membuat Arin dan kedua orang tuanya bersorak heboh dan bertepuk tangan.
"Cie-ciee ... romantisnya pengantin yang udah lima tahun berumah tangga!" seru Arin.
"Aduh ... kayaknya kita bakal punya cucu lagi nih, Pa?" timpal Rindu sambil mengedipkan mata ke suaminya.
Soni mengangguk dan mengangkat jempol tangannya, bahagia.
"Kalian memang akan punya cucu baru, tapi bukan dari rahimnya Zhea. Melainkan dari rahimku!" Elara membatin murka. Sungguh dia muak melihat kemesraan antara Zavier dan Zhea. "Dasar wanita bodoh, gendut dan menyebalkan! Kau tidak tahu saja kalau suamimu sudah dari satu tahun yang lalu menjalin hubungan denganku. Dia tidak puas denganmu, Zhea. Kau terlalu monoton! Terlalu kaku dan membosankan! Tapi denganku ... dia bahagia dan sangat puas. Baginya, aku adalah wanita terhebat yang bisa memuaskannya di ranjang!" Suara batin Elara menggebu-gebu, membandingkan dirinya dan juga Zhea yang menurutnya kalah jauh dari kepiawaiannya memuaskan Zavier.
Zhea kembali menatap semua yang ada di ruangan itu. "Yuk, semuanya kita duduk di sofa!" Nada suaranya terdengar biasa saja, bahkan penuh cinta.
Ketika semuanya sudah duduk di sofa ruang tengah, Zhea mulai menyalakan televisi yang sudah dihubungkan ke laptop pribadinya.
Layar hitam itu berubah biru dan mulai muncul video pernikahannya dan Zavier.
Arin yang paling semangat. "Wah, video pernikahan ini aku ingat banget waktu itu aku masih SMA. Kak Zhea cantik banget pakai kebaya putihnya."
Rindu menimpali dengan tawa kecil. "Iya, iya. Mama sampai nangis waktu itu."
Elara, di sisi lain, hanya diam. Wajahnya sedikit tegang, tapi ia berusaha tersenyum palsu.
"Mas ..." Zhea berdiri sejenak sambil menatap Zavier, "Selamat ulang tahun, ya. Ini adalah kado spesial dariku sekaligus pengingat perjalanan cinta kita yang penuh dengan kehangatan, kasih sayang dan juga kejujuran."
Zavier mengangguk, tersenyum hangat. "Terima kasih, sayang," katanya bangga tanpa rasa curiga sedikit pun.
Ia pun fokus melihat ke layar lagi.
Zhea berjalan di pelaminan, Zavier menatapnya penuh cinta, semua keluarga bertepuk tangan.
Rindu dan Soni tersenyum haru.
"Aduh, lihat deh, Pa ... masih kayak kemarin aja. Padahal itu udah lima tahun yang lalu," ujar Rindu menitikkan air mata.
Arin menahan senyum bahagia. "Duh, romantis banget."
Zhea menatap layar itu sebentar, lalu berbalik perlahan, menatap ke arah Zavier dan Elara. Batinnya menggebu-gebu. "Sebentar lagi, Zhea. Kuatkan hatimu!"
Gambar di layar masih menampilkan adegan bahagia pernikahannya dan Zavier ... tawa, bunga, doa, pelukan keluarga. Semua tampak hangat.
Namun, tak lama kemudian, layar tiba-tiba bergetar. Gambar berganti.
Suara musik romantis dari video pernikahan berhenti.
Tergantikan oleh suara napas tergesa, desahan, peraduan kulit dan kulit diiringi percakapan samar antara pria dan wanita.
Semua mata langsung menatap ke layar.
Rindu sempat mengerutkan kening, memekik. "Eh ... ini kenapa, sayang?"
Zhea hanya diam di tempatnya. Wajahnya tenang ... terlalu tenang.
Matanya menatap layar tanpa berkedip.
Lalu sedetik kemudian, tampaklah dua tubuh tanpa sehelai benang di dalam kantor saling melilit di atas sofa.
"Lebih hebat aku atau istrimu, Zavier?"
"Tentu saja kamu, Elara sayang."
Lalu adegan berganti, Elara menungging dan Zavier menggempurnya dari belakang.
"Lebih dalam Zavier! Tusuk aku sampai meledak!"
"Tentu Ela. Ahh ... terimalah ini, sayang."
Video berganti lagi, lagi dan lagi dengan adegan yang lebih liar, panas dan jelas.
"ZAVIER! APA-APAAN INI?!" Soni melemparkan piring ke bawah kaki Zavier sambil menatap nyalang ke arah putra sulungnya yang duduk membeku bak patung batu.
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir