Gresen sudah tertidur pulas. Suara itu selalu membuatku terbangun. Ya, seperti suara sepatu dengan sol keras melintasi kamar kami.
tuk...tuk...tuk...
Beda denganku, Gresen bilang tak pernah mendengar apa-apa.
"Mungkin suara jam dinding disuatu tempat" Itu yang kupikirkan saat kali pertama mendengarnya. Namun mana ada jam dinding yang berpindah-pindah. Aku pernah mengintip keluar lewat jendela. Tak ada apa-apa.
Akra dan Gresen adalah teman dekat. Karna sering ditinggal ortu yang sibuk, mereka sering berlibur bersama. Tapi ada yang janggal setiap kali mengunjungi desa neneknya Gresen. Ada suara aneh diluar kamar mereka.
Sebuah suara antara ada dan tiada, mengantarkan mereka pada misteri yang penuh tanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thara 717, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan kedesa
Pagi itu hujan masih turun meski tak sederas semalam. Cahaya matahari mulai tampak dilangit. Kami diantar pak sabit keterminal. Dari sana kami harus naik bus kedesa neneknya Gres.
Hanya ada satu bus yang menuju desa neneknya Gres. Bus itu berangkat pagi, jam 08.00. Gres menjemputku begitu azan subuh selsai berkumandang. Ketika hari beranjak semakin cerah kami sudah ditengah perjalanan. Bi Ike memasukan banyak makanan dan minuman untuk bekal diperjalanan. Desa neneknya Gres terpencil. Hampir tidak diketahui siapapun. Jarang ditemui halte atau pasar nantinya.
Ada beberapa orang duduk didalam bus. Dua orang bermantel berada dibelakang sopir. Kursi didepan kami diduduki seorang ibu dan anak kecil dengan rambut dikepang dua, seorang nenek menatap jendela dikursi seberang dan dua orang lagi duduk dua kursi depanya.
Beberapa menit setelah meninggalkan terminal beberapa orang laki-laki naik dan duduk dikursi belakang. Mereka berbisik dan bercerita panjang lebar.
"Apa kau menerima paket semalam?"
Aku mengeluarkanya dari ransel.
"Ini yang kau pesan kemarin."
"Terimakasih, itu satu set peralatan merangkai bunga. Aku tak tau apa itu lengkap atau tidak. Aku akan menyuruh nenek memeriksanya." Kata Gres.
Aku menceritakan pada Gres tentang apa yang terjadi. Aku menceritakan berapa lamanya aku menunggu pesanan datang. Bukan hanya itu, aku juga menceritakan tentang penampilan kurir pengantarnya yang mencurigakan. Pakaian hitam berhoodie yang tidak mencantumkan logo jasa kirim agensi manapun. Bagian depan mobil yang peyok dan bergores-gores. Seperti baru menabrak sesuatu.
Aku mendeksripsikanya dengan serius dan sungguh-sungguh. Berharap agar Gres tertarik untuk memberikan detail atau hal lain yang dia tau seputar pesanannya, pengirimnya, atau agensi mana yang dia pakai. Tapi gres tidak terlalu mendengarkan sepertinya dia tidak terlalu peduli.
"Lihat Akra, anak itu sudah bikin ulah." Dia menunjukan layar ponselnya.
Adik Gres menonjok seseorang dihalte saat menunggu bus bersama bi Dise. Aku sudah maklum, adik Gres tidak terlalu berbeda darinya. Mereka sama-sama kuat dan berjiwa bebas. Meski tidak terlalu mirip, adalah takdir yang tepat menyatukan mereka dalam sebuah keluarga.
Tolong jangan beri tau ibu, ya! Si jongong itu yang cari gara-gara lebih dulu. Dia mencopet dompet bi Dise. Aku ingin merebut dompetnya. Eh, malah ketendang. Tulisnya. Memang tak ada yang bisa macam-macam dengan gadis itu. Dia kuat dan tangguh.
"Adikmu bisa diandalkan." Kataku sambil tersenyum.
Baiklah. Jaga bi Dise baik-baik. Tulis Gres
Gres membuka pesan yang lain. Wali kelas kami memosting sesuatu. Sebuah selebaran dari kementrian pendidikan, berisi larangan untuk pelajar yang berusia dibawah 20 tahun berada diluar rumah lewat jam 10.30 malam. Dia juga menegaskan agar jangan lupa mengerjakan tugas yang diberikan. Aku sudah membacanya kemarin.
Tapi, aku ragu apa peraturan baru itu berlaku juga didesa tempat neneknya Gres tinggal.
Begini...
Adik Gress nogol lagi. Pesan kali ini pendek dan lama baru disambung. Sepertinya dia sedang berpikir atau sedang ragu.
Ada apa?
Aku takut dia minta bayaran. Soalnya dua giginya lepas. Yang satu masih kami cari entah jatuh dimana.
Panggil polisi. Gres menanggapinya dengan malas.
Bahaya berlama-lama dengan pencopet. Apa lagi dia baru menyerangnya.
Kalau polisi tiba, bisa-bisa dia ditangkap. Katanya dia tak punya uang. Dua gigi lepas lalu dipenjara lagi, kan, kasian. Tulis Vania.
Gres menghela nafas, keningnya berkerut. Ternyata Vaina walau kasar tapi tetaap tidak tegaan.
Pangil polisi biar kalian lebih aman! Kalau parah biar polisi yang antar kerumah sakit. Lain kali kalau nendang orang coba yang hati-hati.
Aku tertawa membaca pesan Gres. Bagaimana bisa orang marah menendang orang lain hati-hati. Begitulah kami melewati perjalanan. Rumah-rumah yang memadat dan menjulang kini berkurang. Beberapa pohon dan perkebunan mulai terselip disana-sini. Aku mengambil banyak foto cantik. Sementara Gres masih sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menceritakannya padaku.
Beberapa pesan mulai masuk digrup,
"Grup musik menguopload foto. Mereka baru saja mendapat ikan pertama mereka." Aku menunjukan ya pada Gres.
Aku melihat Allegro mengangkat pancingan dengan senyum lebar. Andante dan lento memperlihatkan bait pembuka lagu baru mereka. Didepan mereka berserakan alat tulis dan berbagai instrumen musik. Presto dan largo mengangkat gelas kopi yang masih berasap dengan senyum lebar. Beberapa member lain tampak duduk berjajar dibibir danau. Mereka semua tampak bahagia.
"Kalau gak salah didesa nenekmu ada sungai kan, Gres?"
"Ya, apa kau juga pingin mancing?" Aku mengangguk.
"Mereka bisa dapat ikan besar. Padahal mereka ribut mainin musik."
Hari mulai meninggi saat kami benar-benar meninggalkan kota dan memasuki area perkebunan. Rumah-rumah hampir tak ada, sebagai gantinya banyak pepohonan tumbuh disepanjang jalan. Jaringan disini kurang bagus. Jadi kami makan kue dan bicara dengan beberapa penumpang lain.
Nenek yang dikursi seberang mengatakan dia baru saja pulang menebus obat diapotik seberang laut. Apotik langganannya didesa tutup katanya pemiliknya dan nakes disana sedang pelatihan. Ibu dan anak disana adalah cucu dan menantunya.
Anak kecil berambut hitam ikal yang ditunjuk dari tadi tak henti-hentinya menempel dijendela. Menyaksikan apa saja yang dilewati disepanjang perjalanan. Kata nenek itu usianya baru empat tahun. Dan sebentar lagi akan punya adik. Nenek itu terus bercerita panjang lebar. Beliau menjelaskan penumpang dibus itu satu persatu.
"Yang pakai mantel hijau tua dibelakang, anak si kepri. Anak kedua. Kuliah diluar. Yang lain sama juga. Yang disampingnya..." Nenek itu menunjuk, anak yang ditunjuk tersenyum dan mengangguk.
"Yang rambutnya jingrak itu temanya. Saat seusiamu dia pernah mencuri buah nona dirumah nenek. Mereka sangat lihai memanjat. Karna nenek tak bisa memanjat, nenek mencari kayu dan memukul mereka dari bawah."
Aku menginjak kaki Gres, mengisyaratkan padanya agar menyuruh nenek itu berhenti bercerita. Anak yang diceritakan sudah terlalu merona dibelakang.
"...lari kerumahnya. Rumahnya yang dekat pengkolan didepan pos ronda." Walaupun nenek itu bercerita dengan detail tetap saja kami tak tau kejadian sebenarnya seperti apa.
Karna nenek itu tak henti-hentinya menceritakan warga kampungnya satu persatu. Kami sudah tak sanggup mendengarkan. Gres mengambil alih cerita. Dia menceritakan pengalamanya saat dikejar anjing dan salah tiket hingga tersesat. Nenek itu senang dan mereka berdua tertawa bersama.
Aku risih sendiri ketika semua mata menoleh kearah kami. Bahkan spion tengah ditempeli mata juga.
Yang lebih parah lagi, cerita Gres lebih banyak bohongnya daripada benarnya. Membohongi nenek-nenek bukan hal terpuji. Tapi mungkin lebih baik dari pada mendengarkan si nenek menceritakan orang lain. Jadi kubiarkan saja.
Setengah jam setelah azan Zuhur, kami memasuki wilayah baru. Disini sangat indah. Pegununganya berbatasan langsung dengan pantai landai dibawahnya lautan terpampang luas. Pantainya ditumbuhi mangrov dan deretan nyiur berjajar menyertainya. Kami berpisah dengan si nenek, menantu, dan cucunya.
"Tempat tinggal kami disebelah sana. Ayo mampir makan siang." Nenek menunjuk rumah-rumah yang bertengger dilereng gunung. Tertata apik khas perumahan Eropa abad delapan belas.
"Terimakasih, n1ek. Tapi bus ini sepertinya hanya sebentar. Kami akan mampir lain kali." Aku dan Gres bergegas menuju mushola yang kata nenek itu ada diujung kampung pemukiman bawah. Tempatnya diujung kampung agak sulit diakses karna letaknya tidak ditengah.
Untuk kesana kamu melewati sebuah jembatan yang air sungainya telah menyatu dengan air laut. Disini kami bisa melihat lumba-lumba air panyau secara langsung. Gres dan aku berebut memotret Lumba-lumba itu yang sepertinya malu melihat kami bertengkar.
Kami hampir kelewatan waktu Zuhur karna mengambil gambar.
Mushola itu kecil dan nyaris tanpa dinding. Dari sana tak terdengar hiruk-pikuk dan debur ombak. Sangat tenang. Bertengger kokoh tepat dikaki gunung. Halamanya dihiasi berbagai jenis bunga yang ditata apik dan unik. Air mancur kecil menganak sungai disepanjang sisi kirinya.
Kita biasa melihat areal persawahan seperti permadani hijau. Lautan dibawahnya tampak seperti tikar biru yang bergulung-gulung.
"Apa ada pesan dari orang tuamu?" Tanya Gres. Saat kami selsai sholat.
"Itu...., sebenarnya kemarin aku mengabari ortuku sekaligus minta ijin."
"Jadi tidak diijinkan?"
"Tidak. Bukan itu. Mereka memintaku membawa...." Aku menunjukan selembar penuh pesanan yang...,
"Kau tau selera ibuku seperti apa." Gres tertawa.
"Apa ibumu minta dicarikan pakis liar lagi?"
"Bukan cuma itu. Tapi keladi daun jingga dan bambu keriting dan...aku lupa yang lain." Aku kembali mengecek pesananya.
"Jadi karna itu kau mematikan ponselmu?" Gres benar. Sebenarnya aku sedang kesal.
Mereka dan kakak sedang berlibur bersama. Sementara aku ditinggal bersama bi Ike.
Apa sih masalahnya pulang saat anak sedang liburan? Mereka malah memposting prosesi liburan mereka dan menitipkan dua puluh lima macam pesanan yang tak bisa dibeli dengan uang.
Ditambah lagi aku masih sakit hati mengapa dia disekolahkan di UK hanya karna bakat ice skatenya.
'Negara bersalju agar bakatmu tambah bermutu.'
Negara bersalju. Negara bersalju. Itu terus diulang-ulang. Faktanya dia belum pernah memenangkan kejuaraan skate tingkat internasional kecuali yang sekali dulu.
Huh, alasan saja. Kalau mau cari ice, cukup buka kulkas kan. Ngapain jauh-jauh ke Edinburg.
Tapi tak mungkin aku mengatakan semua itu pada Gres. Apalagi pada orang tuaku. Jadi lebih baik aku diam saja.
"Aku sedang kesal pada mereka." Jawabku singkat. Kami melanjutkan perjalanan. Menuruni undakan kecil kembali kepelabuhan.
"Itu bagus." Aku tercengang menatap Gres. Hampir saja aku memukul kepalanya.
"Setidaknya kau masih menganggap mereka keluargamu. Aku sudah melupakanya." Dia terus berjalan. Seolah-olah kata-kata itu begitu ringan.
Aku terdiam. Ya, aku tau bi Dise, pak prom dan mbak Orca itulah keluarga Gres. Hanya Vanialah yang menghubungkan dia dan orang tuanya. Gadis kecil itu yang meskipun sering ditinggal semaunya tetap sabar dan sayang pada mereka.
Kami memang menyedihkan.
Kami kembali kedermaga dan memilih salah satu warung. Karna banyaknya kuli pelabuhan dan bertepatan dengan jam makan siang, semua warung nyaris penuh. Kami membeli makanan dan makan diluar. Aku dan Gres memutuskan untuk duduk dibawah salah satu pohon kelapa beralaskan pasir dan bersandar pada pohonya yang melengkung.
Ombak yang teratur, kapal dan perahu, burung yang terbang melintas, mangrove, gunung tinggi dibelakang. Semuanya sangat indah ditambah angin pantai yang agak tenang siang itu.
"Eee...eee...eeeh..." Sebuah kelapa tiba-tiba menggelinding kearah aku dan Gres, hampir menabrak cawan China kecil tempat dimana sambal diletakan.
"Ma'af." Seorang anak yang tak mungkin lebih tua dariku mendekat. Dia memakai pakaian tanpa lengan dan celana panjang. Kulitnya terbakar matahari hingga berubah menjadi kecoklatan.
Pada pandangan pertama orang biasanya fokus pada rambut krebonya yang nyaris gimbal. Tapi, begitu melihat wajahnya, ternyata ada sesuatu yang lebih menarik disana. Sebuah luka terpahat dipipi kirinya. Memanjang nyaris sampai kedagu.
Kami sadar, ditatap seperti itu dia pasti sungkan. Mau bagaimana lagi, sulit mengalihkan pandangan darinya. Dia pergi begitu saja setelah mengambil kembali kelapa yang tadi sempat jatuh.
"Tunggu!" Seru Gres tiba-tiba.
"Kau menjatuhkan ini." Sebuah kalung dengan liontin indah tergenggam dijemarinya.
"A..." Dia meraba leher. "Terimakasih." Lanjutnya datar.
"Aku Gresen, ini temanku Akrael. Kami akan mengunjungi desa dibalik gunung itu." Gres memperkenalkan diri. Dia menjabat tangan anak itu dan memperhatikanya memasukan liontin itu kesaku celana.
"Begitu. Selamat liburan." Katanya singkat dia segera beranjak. Dia berlalu begitu saja bahkan tanpa menyebutkan nama.
"Siapa namamu? Kalau kau tinggal diwilayah ini kau bisa sesekali berkunjung. Kami akan ada didesa sebelah sana selama dua minggu." Aku yakin sebenarnya Gres ingin tahu apa cerita dibalik luka diwajah anak itu.
"Aku Krigri, panggil saja aku Krebo. Aku bekerja untuk kapal itu." Dia menunjuk sebuah kapal yang berlabuh tak jauh dari rimbunan pohon bakau. Dia berbalik dan berjalan menuju arah yang ditunjuknya.
Sepertinya Kribo tidak ingin bercerita lebih lanjut. Kami kembali mengangkat sendok.
"Jika kita tinggal hingga sore, mungkin kita bisa mengambil beberapa gambar matahari tenggelam." Gres menyanyangkan.
"Mungkin kita bisa melihatnya dari gunung itu. Sesekali berkemah disana juga bagus." Aku menambahkan.
"Jangan!" Kata Kribo yang telah berjalan beberapa meter. Aku nyaris tersedak mendengarnya tiba-tiba menyela. Dia diam ditempat. Sedetik kemudian dia berbalik dan menatap kami dengan serius.
"Jangan berkemah disana!" Aku dan Gres terdiam. Heran dan tak mengerti.
"Hanya untuk mengambil beberapa foto matahari tenggelam." Kata Gres
"Tidak! Jangan! Jangan pernah kesana!" Katanya tegas. Aku menatap Gres yang juga menatapku. Kami jelas penasaran. Gres membuka mulut untuk bertanya tapi Anak yang minta dipangil krebo itu cepat-cepat melanjutkan.
"Ma'af, bukan begitu maksudku." Katanya.
"Tapi, percayalah, Jagan pergi." Dia mengingatkanya lagi. Dia berbalik dan segera menghampiri kapal.
"Mungkin ada kejadian disana yang berhubungan dengan luka diwajahnya." Kata Gres.