Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Jendela kamar itu terbuka lebar-lebar. Dari celah-celah pohon berdaun lebar dan panjang, sinar matahari perlahan-lahan menyelinap masuk menyoroti wajah pucat Aline yang masih terlelap di ruang kamar itu.
Aline menggeliat malas, ia merentangkan kedua tangannya ke samping, dan dalam sekejap saja, tangan kirinya mulai bergerak mengusap-usap kelopak matanya yang terasa berat untuk dibuka.
"Ngg ..."
Aline mengerang pelan. Samar-samar, aroma parfum yang tercium manis dan menyegarkan itu menyebar di seluruh sudut kamarnya. Gadis itu segera terbangun, ia menyibakkan selimutnya dan melihat ke sekeliling kamar, mencari-cari sumber aroma yang dihirupnya tadi.
"Aneh sekali, kenapa aku merasa tidak asing dengan wangi ini? Aku seolah kenal dengan wangi ini. Tapi di mana aku pernah mencium wewangian seperti ini, ya?"
Aline bergumam sendiri. Ia masih duduk di tepi ranjang besarnya. Pikirannya menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat seseorang yang memiliki aroma segar ini.
Setelah merasa bahwa pikirannya buntu. Aline memutuskan untuk beranjak dari kasur dan melangkahkan kakinya ke balkon. Ia harus melihat pemandangan di luar sana. Namun, saat gadis itu tiba di sana, Aline justru dikejutkan oleh kehadiran seorang pria yang saat itu sedang berdiri memandang anak-anak sekolah yang berlarian di lapangan sepak bola. Aroma parfum di tempat itu pun semakin kuat tercium.
Bibir Aline terbuka lebar-lebar. "Kak Raga?!"
Pria yang sejak tadi berdiri di sana langsung menoleh ke belakang. Wajahnya yang saat itu terlihat lelah mendadak berubah menjadi cerah. Melihat sosok Aline yang kini berdiri di depannya, tanpa pikir panjang lagi Raga segera menarik gadis itu dan membawanya ke dalam pelukannya.
"Aline, saya takut sekali sewaktu Stev memberikan kabar buruk tentang kamu yang menghilang dari rumah sakit. Saya begitu takut jika saya tidak bisa bertemu lagi denganmu. Saya tidak ingin kehilanganmu." Raga semakin mengeratkan pelukannya. Kali ini, detak jantungnya terdengar cepat dan bergemuruh.
Aline hampir kesulitan bernapas karena Raga tidak membiarkan Aline untuk melepaskan pelukannya. "Kak Raga... ini sesak."
"Maaf," suara Raga tersendat, "Tolong biarkan aku tetap seperti ini sebentar saja."
Raga melonggarkan sedikit pelukannya. Aline hanya bisa terdiam di pelukan Raga tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, entah bagaimana, lama kelamaan pelukan Raga waktu itu terasa menggetarkan hati Aline. Ada perasaan hangat yang menyelimuti seluruh luka di hati Aline. Aline memejamkan matanya, merasakan kenyamanan yang muncul secara ajaib dari pelukan Raga.
Raga melepaskan pelukannya. Ia menempelkan kedua tangannya di pipi Aline. "Kenapa wajahmu pucat sekali? Kamu belum makan?"
Aline menggeleng pelan. "Ngomong-ngomong, bagaimana Kak Raga bisa sampai di sini? Kak Raga mencariku?"
Raga menatap Aline dan terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka.
"Kebetulan ini adalah rumah Ibu saya. Saya datang untuk menjenguk beliau yang katanya sedang sakit."
"Eh? Dokter Gita itu ibunya Kak Raga?"
Raga mengangguk kecil. "Ibu tiri."
Aline menatap tak percaya. Raga tersenyum miring. "Tidak perlu kaget. Saya juga maunya semua ini hanya lelucon saja. Tapi meski saya terus menyangkal itu, kenyataannya tetap saja, Dokter Gita adalah Ibu tiri saya."
Aline bergeming.
"Oh ya, kalau tidak salah, saya sempat menceritakan hal ini padamu waktu di ruang auditorium, kan? Apa kamu ingat?" lanjut Raga.
Aline berpikir sejenak dan mengangguk pelan. "Aku hanya tidak mengira saja kalau Ibu tiri yang kakak maksud itu adalah orang yang aku kenal, Dokter Gita."
Raga mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, itu memang buruk. Sebetulnya sih, saya sudah lama tidak bertemu dengan Dokter Gita. Waktu saya mengantarmu ke asrama ini juga beliau sedang tidak ada di tempat, kan? Tapi, kemarin saya mendapat kabar bahwa beliau sakit. Lalu, pagi-pagi sekali beliau tiba-tiba telepon dan meminta saya untuk datang ke sini. Beliau meminta saya untuk menjagamu." jelas Raga sembari tersenyum.
"Jadi, pagi ini Dokter Gita mulai berangkat kerja?"
Raga menggelengkan kepalanya. "Beliau pergi ke rumah sakit tempat kamu di rawat kemarin."
"Eh? Jangan bilang, Dokter Gita ke sana karena aku?"
Raga terkekeh. "Iya, itu semua benar. Kamu membuat masalah besar. Orang-orang di rumah sakit gempar, tahu. Stev sampai meminta bantuan kami untuk mencari kamu."
Aline tertunduk, merasa bersalah. "Maafkan aku, Kak. Seharusnya aku tidak melakukan itu semalam."
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Yang penting sekarang kamu ada di sini dan dalam kondisi yang sehat."
"Aku benar-benar menyesal. Aku sudah bertindak bodoh."
Raga memperhatikan raut wajah sedih di wajah Aline. "Kalau kamu merasa bersalah pada dirimu, jangan pernah mengulanginya lagi, oke?"
Aline mengangguk cepat.
"Baiklah, sekarang kamu ikut aku," Raga menggandeng tangan Aline, membawanya masuk kembali ke kamar. "Duduk di sini."
"Iya," Aline patuh. Ia duduk di tepi ranjang menunggu Raga yang tampaknya sedang berpikir untuk mencairkan suasana canggung di antara mereka.
"Begini, dengar, mulai sekarang, kamu tidak perlu menyesali perbuatan kemarin. Toh, semua sudah terjadi, kan? Mulai hari ini saya ingin kamu menjalani hari dengan baik. Kalau kamu merasa menyesal karena sudah melakukan banyak kebodohan, kamu masih bisa menebusnya dengan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tunjukkan bahwa kamu bisa bangkit setelah begitu banyak kesulitan yang memainkan kehidupanmu. Paham, kan?"
Aline mengangguk sembari memainkan jemarinya. Dalam hati ia membenarkan perkataan Raga.
Raga salah tingkah. Ia berdeham kecil. "Saya akan menghangatkan makanan ini dulu di dapur. Kamu bersih-bersih saja dulu, mandi sana."
"Baiklah."
Raga bergerak cepat. Aline memperhatikan Raga yang saat ini tengah sibuk memindahkan beberapa piring dan mangkuk sayur di atas nakas. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Raga melengos menuruni anak tangga menuju ke dapur asrama yang terletak di lantai satu.
Tepat pukul tiga sore, Raga berpamitan pada Aline. Raga bilang, ia harus pergi menemui papanya. Aline mengantar Raga sampai ke depan pintu kamar, setelah itu ia kembali ke balkon, memikirkan banyak hal yang berseliweran di kepalanya.
Tiba-tiba saja, Aline ingin sekali pergi ke kamarnya yang dulu.
"Mungkin kamarku masih berantakan karena kekacauan malam itu. Aku harus segera membereskannya." gumam Aline.
Aline berdiri lama di sana. Ia tampak berpikir keras. Setelah banyak mempertimbangkan sesuatu, ia segera bergegas meninggalkan kamar Dokter Gita dan mengambil kunci serep yang tergantung di lemari milik wanita paruh baya itu. Aline berjalan menuju kamarnya yang tak jauh dari ruang kamar Dokter Gita, tepatnya ada di ujung lorong tempat Dokter Gita sering melakukan sesi konseling dengan pasien-pasien pribadinya.
"Loh, kenapa semuanya menjadi seperti ini?!"