Kisah cinta seorang pria bernama Tama yang baru saja pindah sekolah dari Jakarta ke Bandung.
Di sekolah baru, Tama tidak sengaja jatuh cinta dengan perempuan cantik bernama Husna yang merupakan teman sekelasnya.
Husna sebenarnya sudah memiliki kekasih yaitu Frian seorang guru olahraga muda dan merupakan anak kepala yayasan di sekolah tersebut.
Sebenarnya Husna tak pernah mencintai Frian, karena sebuah perjanjian Husna harus menerima Frian sebagai kekasihnya.
Husna sempat membuka hatinya kepada Frian karena merasa tak ada pilihan lain, tapi perlahan niatnya itu memudar setelah mengenal Tama lebih dekat lagi dan hubungan mereka bertiga menjadi konflik yang sangat panjang.
Agar tidak penasaran, yuk mari ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tresna Agung Gumelar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Setelah dari perpustakaan, Tama mengajak Husna pergi ke kantin. Mereka duduk berdampingan di sebuah meja sambil memakan dua mangkuk mie ayam.
Husna sudah tak sedih lagi, bahkan dia kini tersenyum cantik di hadapan Tama. Perasaannya sangat tenang dan nyaman berada di dekat Tama.
Husna baru sekarang merasa senyaman ini dengan seorang laki-laki. Husna sebenarnya adalah anak yang lugu yang tak pernah mengenal cinta sebelumnya, Frian juga merupakan kekasih pertamanya, itu pun karena terpaksa untuk sebuah perjanjian yang sebenarnya tak pernah Husna inginkan.
Sedangkan perasaan cintanya baru kali ini dia rasakan saat bersama Tama, walaupun saat ini hanya sebatas teman dan rumah untuk berlindung.
"Cantik banget sih kalau senyum gitu." Puji Tama kepada Husna sambil menatap Husna dengan senyuman kagum.
"Ih apaan sih, malu ah jangan ngeliatin terus!" Ucap Husna pelan sambil menunduk karena sedikit malu.
"Nggak tahu kenapa kalau aku melihat kamu lagi senyum gitu leher aku kayanya ke kunci deh Husna nggak bisa melihat ke arah lain." sedikit gombalan dari Tama membuat Husna semakin malu.
"Ih gombal banget ya, udah berani genit ih kamu sekarang sama aku." Karena terus merasa malu, Husna pun bicara sambil memukul pelan tangan Tama hingga sumpit yang di pegang Tama terjatuh di atas meja dan sedikit menyiprat kan kuah mie ke pipi Tama.
Husna pun kaget dan langsung merespon kelakuannya itu.
"Eh maaf maaf Tama nggak sengaja, sini aku lap pakai tisu ya!" Secara spontan tangan Husna langsung mengelap pipi Tama dengan Tisu padahal Tama tak merasa marah sama sekali kepadanya.
Tama yang senang melihat tangan Husna yang kini berada di pipinya, dia malah memegang tangan Husna sambil mengelus-elus hingga mereka saling pandang lumayan lama.
Tama terus memandang tajam wajah Husna, rasa sayangnya semakin besar ketika tangan lembut Husna berada di wajahnya, Husna pun sama, perasaan cinta itu semakin tumbuh saat jemari Tama mengelus lembut tangannya, hatinya bergetar dan denyut jantungnya menjadi cepat tak bisa menahan perasaan cintanya saat ini.
Setelah beberapa saat, yang tadinya mereka begitu serius kemudian menjadi saling tertawa bahagia karena momen itu menjadi momen indah yang tak di sengaja.
"Haha apaan sih ah!" Husna tertawa walaupun sebenarnya hatinya sangat senang.
"Hmm. Lagi dong!" Ucap Tama yang ingin momen itu di ulang kembali.
"Enggak ah, ogah haha." Husna terkekeh sambil melanjutkan makan.
"Apa aku harus menaruh sedikit saus ya di pipiku, biar tanganmu ada di sini lagi?" Ucap Tama bercanda sambil menunjuk ke arah pipinya karena senang melihat Husna seperti tadi.
"Ih keenakan ya, tadi kan aku cuma respek doang tahu, kalau di sengaja kaya gitu sih mana aku mau yee." Sambil tertawa, Husna pun menjawab candaan dari Tama.
"Hmm dasar. Oh iya aku hampir saja lupa, sebenarnya aku tuh mau ngobrolin sesuatu sama kamu, mau nawarin gitu." Ucap Tama yang tiba-tiba ingat tawaran dari papanya kemarin malam.
"Tawaran apa Tama?" Tanya Husna sedikit mengerutkan dahinya.
"Ini loh Husna, malam Minggu kemarin aku sempat ngobrol sama papaku, katanya di kantor barunya itu sedang butuh beberapa lukisan buat pajangan. Aku mau nawarin sama kamu, kira-kira kamu mau nggak buatin gitu, kamu kan bisa melukis tuh, lumayan loh katanya kalo lukisannya bagus kantor papaku siap bayar mahal." Tama menjelaskan dengan nada sedikit serius.
"Haha ko sama aku sih nawarin nya? Tama, aku itu bukan pelukis profesional loh. Aku cuma sekedar hobi saja kalau melukis." Sedikit terkekeh Husna pun tak menyangka bahwa Tama begitu yakin kepadanya.
"Ko kamu malah ketawa sih? Tapi lukisan kamu itu memang beneran bagus loh. Asal kamu tahu saja, waktu aku bawa lukisan kamu ke rumah, mama ku suka banget Husna sama lukisan kamu, makanya aku mau nawarin sama kamu sekarang. Aku serius Husna nggak becanda." Tama kembali meyakinkan Husna bahwa lukisan yang dia buat itu memang bisa menjual.
"Ih masa sih ah?" Husna yang kembali heran tak percaya sampai mamanya Tama bisa menyukai lukisannya.
"Aku beneran serius, kalau kamu nggak percaya nanti ikut saja ke rumahku tanya langsung tuh sama mama ku. Hmm." Sedikit geregetan Tama sampai menyuruh Husna ke rumahnya.
"Hmm iya iya percaya. Aku ada sih beberapa lukisan yang sudah jadi di rumah tapi belum di bingkai, aku memang hobi banget kalau melukis, tapi kalau untuk di jual gitu kayanya aku belum yakin deh." Husna yang masih ragu belum kepikiran untuk menjual karyanya.
"Boleh aku lihat lukisan kamu yang ada di rumah?" Tanya Tama yang memang sangat penasaran.
"Em jangan ah Tam, kamu jangan ke rumah dulu ya! Kalau mau, nanti aku kirim fotonya saja, tapi sebelum kamu tunjukkin ke papa kamu, kamu teliti dulu ya aku takut papamu nggak suka, nanti aku yang malu." Husna sedikit memberikan saran.
"Hmm yaudah deh nggak papa aku ngerti ko. Tapi jangan lupa kirimin ya nanti!"
"Iya Tama, nanti aku kirim." Jawab Husna sedikit senyum.
Saat sore hari, Tama yang sedang menunjukkan beberapa foto lukisan Husna kepada papanya, dia sangat senang karena melihat mimik wajah dari papanya seperti takjub.
"Wah, ini sih keren banget. Yaudah besok bawa langsung saja lukisannya, kalau bisa sih langsung ke kantor papa kamu bawa lukisannya besok. Sekalian kalau bisa bawa orangnya, papa pengen sekalian kenal."
Tanpa di duga padahal belum melihat lukisan aslinya, pak Ghani begitu terobsesi dan langsung yakin dengan semua lukisan Husna.
"Papa yakin? Ini baru fotonya saja loh, belum di bingkai juga kan lukisannya." Tama malah heran, begitu cepat respon papanya dengan beberapa lukisan yang dia tunjukkan.
"Papa yakin ko memang lukisannya bagus dan cocok untuk kantor papa, apalagi kalau sudah di bingkai, pasti tambah keren. Gimana bisa nggak besok kamu bawa ke kantor?"
Pujian dan penawaran yang pak Ghani berikan membuat Tama sedikit bengong karena bisa secepat itu.
"Em, aku harus tanya Husna dulu Pah, takutnya kan dia besok sibuk." Jawab Tama yang jadi berpikir bagaimana caranya mengambil lukisan itu, sementara dia tak mungkin harus ke rumah Husna untuk mengambil bahkan mengajak Husna ke kantor papanya.
"Em yaudah deh aku usahain besok, tapi harus jadi ya Pah bener? Kalau sampai nggak jadi nanti mau di taro dimana muka aku di depan Husna." Tama mencoba meyakinkan papanya kembali.
"Iya sayang, masa papa bohong sih sama anak papa sendiri ah. Pokoknya besok papa tunggu di kantor sampai sore." Tegas pak Ghani sambil melangkah ke kamarnya.
"Hmm oke deh." Jawab Tama singkat sambil berlari menuju kamarnya untuk sesegera mungkin mengabari Husna.
Tut tut tut
Suara telpon memanggil, Tama langsung menelpon Husna di dalam kamar dengan perasaan senang sambil duduk di atas kasur.
"Hallo assalamualaikum?" Suara lembut Husna mulai terdengar menjawab telpon dari Tama.
"Waalaikumsalam." Jawab Tama yang langsung membayangkan wajah Husna saat menjawab salam karena suara Husna begitu terdengar lembut di telinganya.
"Iya ada apa Tama?" Tanya Husna yang penasaran kenapa Tama tiba-tiba menelponnya.
"Husna, kamu besok sore ikut aku ya! Papaku ingin bertemu sama kamu." Tanpa basa-basi Tama langsung memberikan ajakan kepada Husna.
"Mau ngapain ih? Nggak mau ah malu aku." Husna langsung menolak karena menjadi aneh kenapa papanya Tama bisa tiba-tiba ingin bertemu dengannya.
"Besok kita bawa beberapa lukisan kamu ke kantor papaku. Gini Husna, Asal kamu tahu, ternyata papaku berminat sekali dengan beberapa lukisan yang kamu kirim tadi siang." Tama memberikan kabar bahagia dengan sedikit kejutan kepada Husna.
"Yang bener? Ah aku nggak percaya." Husna malah balik bertanya karena sebelumnya tidak begitu yakin dengan lukisannya.
"Aku serius Husna, besok aku jemput kamu ke rumah ya, sekalian kita bingkai dulu lukisannya." Ajak Tama dengan nada serius.
"Em tapi?" Tanya Husna dengan nada bingung.
"Tapi apa Husna?" Tama balik bertanya dan menjadi ikut bingung.
"Aku takut bapak marah lagi sama kamu Tam kalau kamu ke rumah, apalagi jemput aku." Ternyata Husna masih takut dengan bapaknya bila besok Tama sampai menjemputnya lagi ke rumah.
"Hmm. Yaudah kamu tenang ya nggak usah takut, besok aku yang bicara sama bapak kamu, lagian aku bukan mau ngajak kamu main ini. Kita bicara apa adanya saja besok, kalau aku menemui mu untuk keperluan lukisan, bukan untuk lain-lain. Mudah-mudahan saja bapakmu mengerti."
Tama mencoba menenangkan Husna agar tak perlu takut, Tama juga yakin bapaknya Husna pasti akan mengizinkan karena ini tentang perkembangan hobi anaknya yang sudah mulai menghasilkan.
"Hmm yaudah deh, tapi kalau besok aku nggak di izinin kamu jangan marah ya Tama! Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa." Sebenarnya Husna takut Tama menjauhi dirinya bila bapak memarahi Tama kedua kalinya besok.
"Husna, aku nggak akan pernah marah sama kamu. Aku akan berjuang untuk kamu bagaimana pun itu caranya. Kamu nggak usah takut ya, aku nggak akan kenapa-kenapa ko apalagi marah atau berubah sama kamu!" Tama tahu Husna memang sangat khawatir kepadanya, tapi tak mungkin bila Tama diam saja apalagi tak mau mencoba.
"Bener kamu nggak akan pernah berubah sama aku?" Husna yang mulai terenyuh, bertanya kepada Tama dengan nada serius.
"Iya Husna, nggak usah takut ya! Aku kan sudah janji sama kamu." Jawab Tama dengan nada lembut menenangkan Husna.
"Yaudah deh, makasih banyak ya Tama." Husna sedikit tenang karena Tama selalu berusaha menenangkannya.
"Iya sama-sama Husna. Kamu siapin saja ya lukisannya!"
"Oke deh siap."