~MEMBALAS DENDAM PADA SUAMI, SELINGKUHAN, DAN MERTUA MANIPULATIF~
Mayang Jianasari—wanita bertubuh gendut kaya raya—menjadi istri penurut selama setahun belakangan ini, meski dia diperlakukan seperti pembantu, dicaci maki karena tubuh gendutnya, bahkan suaminya diam-diam berselingkuh dan hampir menguras habis semua harta kekayaannya.
Lebih buruk, Suami Mayang bersekongkol dengan orang kepercayaannya untuk memuluskan rencananya.
Beruntung, Mayang mengetahui kebusukan suami dan mertuanya yang memang hanya mengincar hartanya saja lebih awal, sehingga ia bisa menyelamatkan sebagian aset yang tersisa. Sejak saat itu Mayang bertekad akan balas dendam pada semua orang yang telah menginjaknya selama ini.
"Aku akan membalas apa yang telah kau lakukan padaku, Mas!" geram Mayang saat melihat Ferdi bertemu dengan beberapa orang yang akan membeli tanah dan restoran miliknya.
Mayang yang lemah dan mudah dimanfaatkan telah mati, yang ada hanya Mayang yang kuat dan siap membalas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Kamu ....
Mayang terpaksa mengatur pertemuan dengan dokter untuk hari ini. Dia tak tahan dengan tatapan menuntut dari sang ibu mertua yang seolah menagih janjinya semalam. Suasana sarapan yang biasanya hangat inipun terasa kaku dan canggung, meski Mayang berusaha bersikap biasa saja, tetapi hal itu tidak bisa menutupi perasaan Mayang yang sesungguhnya.
“Yang, rumah makan Arumndalu katanya mau dijual.” Ferdi yang baru saja tiba di meja makan menyeletuk, membuat Mayang yang masih berbincang dengan Dokter Nena melalui sambungan telepon terpaksa harus diputus sepihak. Sikap primanya saat melayani sang suami yang begitu mengayomi ini, sangat diutamakan.
“Mas tau dari mana?” Mata Mayang melirik sekilas Marini yang sepertinya memasang telinga baik-baik. Arumndalu resto sendiri sudah lama menjadi incaran orang-orang berduit tebal—seperti Mayang, akan tetapi sampai sekarang pemilik Arumndalu tidak melepaskan resto tersebut meski kabarnya sang pemilik sedang kesulitan keuangan. Mayang sendiri lebih memilih pasif dalam perputaran isu tersebut, dia tiba-tiba enggan ikut andil dalam perburuan informasi mengenai resto itu. Tentu karena dia enggan didesak oleh Marini yang menginginkan resto itu beralih atas nama Marini. Sudah terlalu banyak dia berkorban untuk keluarga Ferdi, keluarga besar Ferdi pada umumnya.
“Kemarin, ada orang yang mau mengajukan pinjaman ke Mas, katanya buat jaga-jaga kalau Arumndalu dijual.” Ferdi menjawab Mayang begitu ringan dan cuek, sementara Marini terlihat sesak hingga tenggorokannya ia guyur dengan cairan yang berada di cangkir sebelahnya. “Kamu ngga ingin ikutan kepo, Yang? Mas pikir, resto itu cocok jika kamu yang mengelola.”
Mayang tersenyum, “aku ndak mau jadi istri yang egois, Mas. Aku mau fokus agar bisa hamil secepatnya. Lagain aku ini bukan wanita kantoran kaya Mbak Saira.”
Jawaban Mayang membuat Marini mendelik, sementara Ferdi berdehem pelan, lalu tersenyum. “Kamu masih muda, hamil bisa nanti-nanti. Lagian passion kamu kan di bidang kuliner. Ndak bisa disamakan sama Saira lah.”
Kening Ferdi mendadak mengerut, “Kenapa jadi bawa-bawa Saira, sih?”
Marini bergerak gelisah. Dia belum berbicara sejak tadi. Tentu karena kemarahannya pada Mayang semalam, jadi pagi ini dia masih harus memegang ketegasannya dalam mengambil keputusan. Kalau tidak, Mayang akan meremehkan kedudukannya di rumah ini.
“Mbak Saira hampir tiap hari memenuhi telingaku, Mas.” Mayang melirik Marini, lalu kembali menghadapi sarapannya. “Kelebihannya, kepintarannya, prestasinya, sementara aku ini apa? Hanya istrimu, bakul sego bungkus. Ndak ada bagus-bagusnya. Jadi aku pikir, lebih baik aku jadi istri yang penurut aja.”
“Kamu ini dikit-dikit tersinggung, Yang!” Marini panas hati. Dia menjadi dilemma sendiri. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus jika Mayang mau membeli resto itu, lalu mengatasnamakannya dengan nama Marini. Tetapi, hal itu juga menjadi bilah tajam yang lain, yang akan membuat Marini kehilangan muka lagi-dan lagi di hadapan keluarganya. Antara cucu atau namanya yang terpampang besar pada selembar sertifikat kepemilikan sebuah asset bergengsi. Tentu itu sulit dan berat untuk diputuskan.
“Aku ndak tersinggung, Buk … tapi aku hanya mengatakan seperti apa yang selalu Ibuk perintahkan padaku. Aku ini hanya nurutin maunya Ibuk,” jawab Mayang tenang.
“Kamu itu nurutnya terpaksa, Yang … ndak ikhlas! Kamu pikir Ibuk ini ndak merasa opo? Kalau kamu setengah hati melakukan apa yang Ibuk minta!” tukas Marini dengan wajah masam.
“Yang penting kan, aku dah nurutin Ibuk. Perkara ikhlas atau ndak itu sebaiknya ndak usah diperdebatkan. Ikhlas itu hanya hati dan Tuhan yang tau!” Mayang beranjak begitu saja dari meja makan. Meninggalkan Ferdi yang tampaknya kesusahan menelan makanannya. Dan Marini yang melongo, tidak siap dengan balasan Mayang yang begitu telak menyudutnya.
“Dia kenapa, sih?” gumam Marini menahan kesal. Akan tetapi, sepertinya Ferdi mendengar sehingga pria itu menghela napas keras-keras sebelum menyudahi sarapannya.
“Ibuk yang buat Mayang jadi berontak! Coba aja Ibuk lembutan dikit sama dia, sayang sama dia. Ngga bakal Mayang jadi kaya gini.” Ferdi menyesap kopi buatan Mayang yang nikmat tiada duanya. Bahkan Ferdi hanya akan minum kopi jika kopi itu hasil seduhan Mayang.
“Kok jadi nyalahin Ibuk, to, kamu itu, Fer?” Marini menatap anaknya sengit, tidak terima. “Ibuk itu kan cuma bilang apa adanya. Mayang itu yang makin sensian, makin ndak bisa dikendalikan, makin ngelunjak dan semaunya.”
“Iya, itu karena Ibuk nekan dia terus! Cobalah, Buk ... Ibuk itu kalau minta apa-apa yang kalem, yang lembut, merayu, muji-muji, biar Mayangnya luluh. Masa iya, malah jelek-jelekin Mayang.” Ferdi meraih tas kerjanya, “aku berangkat dulu, Buk … saranku, Ibuk jangan bikin Mayang tambah kesel, nanti dia ngga mau ngurusin kebutuhan Ibuk. Siapa hayo, yang rugi?”
Marini mengulurkan tangannya saat Ferdi mendekat, “kamu ini sebenarnya mihak siapa, sih, Le?” ia membiarkan Ferdi mencium punggung tangannya. Tatapan keheranan wanita itu masih menghiasi wajah tuanya yang terawat.
Ferdi tersenyum penuh misteri. “Aku mihak sama yang membuatku nyaman dan tenang, Buk …!” Ferdi mundur, “udah, jangan mikir yang ndak-ndak, nanti keriputnya makin banyak. Dah, Ibuk!”
Marini spontan meraba wajahnya, “eh, Bocah!” lantas ia lari kalang kabut ke kamarnya dan bercermin. Keriput dan penuaan seharusnya tidak datang setelah ia rutin melakukan perawatan tradisional, resep kecantikan dan anti penuaan turun temurun dari nenek moyangnya.
Sementara, Ferdi baru saja akan naik ke Innova teranyar, yang dia beli secara kredit baru-baru ini. Istrinya punya rumah makan yang terkenal masyur, dia sendiri pegawai sebuah lembaga simpan pinjam yang cukup ramai peminatnya, lalu riwayat keluarga yang cukup mapan dan dihormati, rasanya mobil berwarna putih ini cukuplah membuat dia dihormati meski bukan atasan. Ponselnya berdering panjang, yang tergesa-gesa ia jawab.
“Kok sudah nelpon lagi? Kenapa?” tanya Ferdi sembari melemparkan tasnya ke kursi samping kemudi.
“Loh, kok jadi marah, sih? Ya, kan kamu ngerti kenapa aku semalam ngga nganterin kamu?” mata Ferdi menyelinap ke dalam rumah, memastikan Mayang ataupun ibunya tidak dalam jangkauan suaranya.
Ketika aman, ia melanjutkan kembali pembicaraannya. “Kamu itu jangan bikin aku seperti ngga punya pilihan to, Cintaku. Jelas aku milih kamu kemana-manalah. Meskipun dia istriku, tetapi kamu yang utama. Ngga mungkinlah mataku ini rabun, ngga bisa bedain mana yang bohay dan seksi sama induk kuda nil, Sayang!”
Ferdi menoleh sekilas, perasaannya mengatakan kalau suaranya terlalu tinggi. Ia khawatir kaau sampai ada yang mendengar. “Pokoknya, aku tuh cuma cinta dan sayang sama kamu, dia itu hanya istriku. Wanita yang dijodohkan Ibuk sama aku. Aku nikahin dia cuma bikin Ibuk seneng aja, Sayang.”
Ferdi kemudian masuk ke dalam mobil, mulai menyalakan mesin Innova kebanggaannya dan meninggalkan halaman rumah.
Mayang dibalik pintu, hanya bisa menggeram dan hancur mendengar semua ucapan suaminya. Dia tidak pernah menyangka akan mendengar semua itu dari seseorang yang ia percayai dan kagumi.
“Mbak Rully benar dengan semua prasangkanya,” batin Mayang sembari mengusap pipinya yang basah.
*
*
*
*
"Komen! Kalau ndak komen ndak cantik," kata Ibu mertua Mayang dengan gaya sok cantiknya.
Dearly
Misshel🤭