“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A ~ Bab 24
Selamat beraktifitas ya Kak, selamat menjalani hari dimulai dengan Senin 😁
Semoga kita sehat selalu, dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa 🤲 ❤️ 🥰
Doakan supaya karya ini lulus kontrak ya Kak🙏 Sudah dua hari belum juga ada pergerakan, kalau nggak lulus ... Terpaksa Saya tarik🥹
...----------------...
“Apa yang diucapkan Zulham betul, Dhien? Kau mencuri Lembu Nek Blet?”
Dhien menaruh obornya pada bambu berlubang besar yang tertancap dalam tanah, lalu menggenggam erat tangan ibunya.
“Bukan mencuri, tetapi mengambil hak kita! Bukankah Emak yang mengatakan kalau uang asuransi kecelakaan Ayah tu banyak dan mereka belikan Lembu serta satu hektar kebun karet, betul tak?”
Emak Inong mengangguk, ia memilih membeberkan semua hal tentang sosok sang suami beserta keluarganya, tidak ada yang ditutupi.
“Berapa ekor yang kau ambil, Nak?”
“Cuma dua ekor Lembu bunting, Mak! Tadinya mau narik 5 ekor sekaligus, tapi tak mungkin bisa, sebab perjalanannya juga jauh sangat. Apa Emak marah?” Dalam kegelapan malam, Dhien memperhatikan raut ibunya yang masih terlihat cantik walaupun telah dimakan usia.
“Sama sekali tak marah, Emak malah ingin meminta maaf kepada mu, Dhien. Maaf, karena ketidakberdayaan diri ini, kau harus melakukan hal-hal penuh resiko.” Emak Inong memeluk putrinya, seketika air matanya jatuh.
“Emak sama sekali tak berguna ya, Nak? Gelar Ibu cuma pemanis semata, nyatanya tak berarti apa-apa, hanya bisa mempersembahkan kehidupan seadanya. Karena Emak, kau kehilangan masa remaja, hak mu pun dirampas mereka ... Ya Rabb, tolong maafkan hamba!”
Dhien melerai pelukan mereka, mengecup sayang pucuk kepala ibunya yang tingginya hanya sebatas pundak. “Emak adalah ibu terhebat di dunia ni! Tak pernah mengeluh apalagi putus asa, terus berjuang melewati aral melintang. Dhien bangga memiliki engkau wahai wanita perkasa!”
“Uang hasil penjualannya, kau simpan di mana, Nak?” tanya Emak Inong lirih.
“Dhien titip pada Amala, Mak! Kalau di letak di rumah ni bisa berisiko, pasti Zulham dan lainnya tak begitu saja percaya.”
“Bagus. Anak Emak sangat hebat, selalu hati-hati, penuh perhitungan. Kau tu mirip sekali dengan Ayah mu, Dhien! Cuma Beliau tidak suka berantam macam dirimu!” Emak Inong bertambah mengeratkan pelukan mereka.
“Kalau sudah macam ni, pasti Emak rindu sangat dengan Ayah, ‘kan?” godanya dengan senyum masam dan air mata berlinang.
“Kak Dhien! Emak keduanya Tia! Jalan yok!”
Seruan itu melerai pelukan ibu dan anak, Dhien dan Emak Inong cepat-cepat menghapus air mata mereka, setelah memastikan pintu rumah tertutup rapat dan terkunci, Dhien mengambil lagi obornya dan menaiki tanjakan agar berkumpul dengan lainnya.
Meutia, Amala, Nirma, tidak ketinggalan Trio Cebol yang membawa obor. Mereka menunggu Dhien dan Emak Inong.
“Mana yang lainnya?” Dhien meninggikan obor agar dapat menjangkau lebih jauh lagi dalam memandang. “Oh, masih jauh dibelakang. Semangat betul kalian berjalannya!”
“Tentulah, Kak. Kami tak mau ketinggalan jajanan pasarnya, mana ada kue nagasari, klepon dan apa lagi Kak Mala?” tanya Meutia.
“Kue timpan, kumbu, minumannya wedang jahe dan teh hangat,” jawab Amala.
“Ayo jalan!” seru Dzikri yang sudah sampai pada barisan para wanita. “Dhien, berikan obornya padaku!”
“Emak Inong, sini masuk barisan para Mamak!” Mak Syam ibunya Amala, sedikit bergeser dari posisinya.
“Terima kasih Mak Syam,” ucapnya tulus.
“Ayek, Rizal dan Danang, kalian bergabung lah dengan anak-anak di depan sana! Hati-hati bawa obor, jangan sampai rambut kalian terbakar macam tempo hari!” Agam berseru tegas.
"Siap, Bang!" seru Trio Cebol.
Barisan depan di isi anak-anak baik perempuan maupun laki-laki, setelahnya para orang tua, kemudian remaja putri, dan paling belakang pemuda serta bapak-bapak, warga desa Jamur Luobok hendak pergi ke masjid besar, dimana sedang diadakan acara maulid Nabi Muhammad SAW.
Mereka berjalan sambil membawa obor dan ada juga senter, saling bercengkrama hangat, keakraban itu sungguh elok dipandang mata, walaupun belum ada listrik, tetapi tidak mengurangi semangat, apalagi kebahagiaan para warga.
Dhien sedikit melambatkan langkah kakinya, berkata lirih. “Dzikri, kau tahu tak? Di mana tempat jual beli kereta (motor) bekas yang terpercaya?”
“Siapa yang hendak beli, kau kah?”
Cublik ~ Kalau di Sumatera Utara dan sekitarnya … rata-rata menyebut motor itu kereta, ada juga yang bilang montor untuk mobil, serta pasar tradisional di sebutnya Pajak.
“Bila cocok harga, rencananya sih iya.”
“Sama siapa kau hendak pergi melihat-lihat, Dhien?”
“Tentulah dengan Tia! Mana bisa Kak Dhien pergi sendirian apalagi bila naik Sudako (angkot), bisa-bisa nya tak balik lagi ke desa kita! Kak Dhien tu kan tukang mabok perjalanan, sampai macam orang hidup segan matipun tak mau nya!” Meutia menyela begitu cepat.
“Nur, kau ikut juga kah?” tanya Agam, kedua anggota keluarga Siddiq terlihat lebih antusias daripada Dhien.
“Iya, Abang.” Mala menunduk setelah menjawab.
“Besok, kita pergi bersama ke kota Kabupaten dengan naik pickup saja!” ucap Agam final.
Netra Meutia membulat sempurna, barisan gigi rapinya terlihat semua dikarenakan terlalu lebar ia tersenyum.
“Abang betulan ikut ‘kan?” Meutia menggoyang lengan Agam.
“Hem.”
“Ih, jawab Bang! Jangan berlagak macam orang sariawan!”
“Iya, Tia!”
"Wahai waktu, berputar lah lebih cepat! Tia sudah tak sabar hendak jajan mie sop, es cendol, mie Aceh, tempe mekar macam tampah, terus apalagi ya …?”
PLAK.
"Makanan terus yang kau pikirkan!” Dhien memukul pundak Meutia, menarik gadis itu merapat padanya, lalu berbisik lirih.
“Meutia! Siapa sosok laki-laki kota yang gencar mencari mu? Kau berpacaran dengannya?”
Dhien sudah dapat menebak siapa gerangan, mana mungkin ada pemuda mencari sosok yang sudah tiada, apalagi berasal dari kota, sudah jelas tujuannya adalah Meutia.
“Cakap apa Kakak ni? Tia tak paham!”
'Apa dia ya yang datang?'
“Yakin? Atau mau ku berteriak biar bang Agam dengar? Bisa habis kau nanti di sidang olehnya!”
Meutia melingkarkan tangannya pada pinggang Dhien. “Janganlah Kak! Semua bisa kita bicarakan baik-baik, nanti Tia cerita! Tapi, yang jelas … laki-laki tu bukan orang spesial, cuma pria kebanyakan kerjaan! Terus saja nya mengekor macam anak Entok!”
Begitu sampai di masjid yang terang benderang dikarenakan menggunakan Generator set (Genset), para warga mulai berpencar, mencari tempat duduk yang dibagi menjadi beberapa kelompok, laki-laki terpisah dari para wanita.
Acara maulid Nabi Muhammad SAW, berjalan lancar, penuh khidmat, dan tentu saja berlimpah jajanan mulai dari kue basah sampai kering, seperti keripik pisang dan singkong, yang masing-masing dikirim dari rumah para warga.
.
.
Pagi hari.
Dhien sudah siap dengan penampilan berbeda dari biasanya yang selalu mengenakan kaos ataupun kemeja dipadupadankan dengan celana jeans panjang. Hari ini dirinya memakai celana longgar, baju panjang serta hijab instan.
“Wuihh … cantek nya Kakak ku ni! Walaupun macam gorden kedai makan!” Meutia bersiul menggoda Dhien.
“Maksud kau apa, MEUTIA ..?!”
.
.
"Ini bukannya buah kecubung? Mengapa ada di sini ...?"
Bersambung.
...----------------...
Tinggal beberapa bab lagi menuju puncak Dhien dan Fikar, agar nyambung pas dialog tentang Kembar Mayang sewaktu pernikahan Amala.
Serta penyebab renggangnya hubungan persahabatan Dhien dengan Dzikri, yang dibahas oleh Amala ketika di puskesmas menunggui Meutia melahirkan.
Saya sudah rindu sangat dengan si Intan suhu cakap PAOK & MOHH✌️😆
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun