Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan Vanessa
Happy reading guys :)
•••
Waktu menunjukkan pukul 11.00. Cuaca pada hari ini terlihat sangat cerah, matahari sedikit lagi akan mencapai titik tertinggi di atas angkasa, dan akan menimbulkan panas yang sangat tiada tara.
Angin berhembus cukup kencang, membuat pepohonan yang berada di bumi sontak bergoyang karenanya. Bahkan, daun-daun yang sudah gugur tidak ingin ketinggalan, mereka juga bergoyang mengikuti arah hembusan angin.
Koridor SMA Garuda Sakti kini terlihat sangat sunyi, seakan tidak ada makhluk hidup yang bersedia berada di sana.
Para siswa-siswi telah dipulangkan, karena guru-guru tidak sanggup menangani rasa amarah dan penasaran dari mereka semua.
Di depan gerbang sekolah itu, terlihat Angelina dan Karina sedang berdiri diam, menunggu seseorang yang sudah membuat janji dengan mereka.
Beberapa menit telah berlalu. Namun, orang yang membuat janji dengan kedua gadis itu belum juga tiba, membuat Angelina kembali merasakan kegelisahan.
Karina melirik sekilas ke arah sang sahabat, mengelus punggung Angelina kala menyadari gadis itu sedang merasa gelisah. “Lu kenapa, Ngel? Kepikiran lagi sama keadaan Vanessa?”
Angelina mengangguk secara perlahan, mengangkat kepala, menatap wajah Karina. “iya, Kar. Gue takut banget Vanessa kenapa-napa, gue belum rela kalo harus kehilangan dia.”
“Sssttt, lu gak boleh ngomong kayak gitu, Ngel. Kita berdua harus percaya, kalo Vanessa itu pasti bakal sembuh, dan bakal main sama kumpul lagi bareng kita,” ujar Karina, berusaha menenangkan Angelina, meskipun dirinya juga merasakan khawatir dengan keadaan Vanessa saat ini, “Udah, ya, jangan terus-terusan khawatir kayak gini, itu gak baik, loh, buat kesehatan lu.”
Angelina perlahan-lahan mulai menutup mata, berusaha menghilangkan rasa khawatir yang masih terus melanda dengan dibantu oleh Karina mengelus lembut punggungnya.
Satu menit telah berlalu, Angelina mulai membuka mata saat rasa khawatir yang tadi sedang melanda sudah mulai menghilang.
“Udah enakan?” tanya Karina, masih terus mengelus lembut punggung Angelina.
Angelina mengangguk pelan. “Sedikit, Kar.”
Karina tersenyum tipis. “Ya, udah, gak papa. Yang penting udah gak kayak tadi lagi.”
Setelah Karina mengatakan itu, terdengar suara seorang perempuan yang sedang memanggil nama Angelina dan Karina.
Mendengar itu, membuat Angelina dan Karina sontak menoleh, melihat ke arah perempuan yang telah memanggil nama mereka. Dari tempat kedua gadis itu berdiri, mereka berdua dapat melihat Ibu Tanti, Ibu Noer, dan beberapa guru yang lain sedang berjalan mendekati tempat mereka.
“Maaf, ya, Ngel, Kar, karena udah nunggu lama,” pinta Ibu Tanti, setelah berada di hadapan kedua siswinya.
“Iya, Bu, gak papa. Bye the way, mereka semua juga ikut?” tanya Karina, melihat Ibu Noer dan beberapa guru yang berdiri di belakang Ibu Tanti.
Ibu Tanti mengangguk, menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali menatap Angelina dan Karina dengan senyuman tipis. “Iya, Kar. Mereka juga khawatir banget sama keadaan Vanessa. Gak papa, kan, kalo yang datang ke rumah sakit lumayan banyak?”
Angelina dan Karina hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Ibu Tanti.
“Ya, udah, yuk, berangkat. Ngel, Kar, kalian berdua bareng sama Ibu, ya?” ajak Ibu Tanti.
Angelina dan Karina kembali mengangguk. Kedua gadis itu berjalan mengikuti Ibu Tanti dan beberapa guru yang lain menuju parkiran mobil. Setelah sampai di parkiran, Angelina dan Karina memasuki mobil milik Ibu Tanti, memasang seatbelt seraya menunggu perempuan itu yang sedang mengobrol dengan salah satu guru di luar.
Selesai mengobrol dengan salah satu guru, Ibu Tanti memasuki mobil bersama dengan Ibu Noer. Mereka berdua memasang seatbelt, lalu menoleh ke belakang, melihat Angelina dan Karina secara bergantian.
“Angel, Karin, jangan sedih, semuanya akan baik-baik aja. Kalian harus percaya kalau Vanessa pasti sembuh,” ujar Ibu Tanti, melihat raut wajah kedua siswinya yang tampak sedih.
Karina mengangguk seraya mengelus lembut puncak kepala Angelina. “Iya, Bu. Karin percaya, kok, kalau Vanessa pasti bakal sembuh.”
Mendengar jawaban Karina, membuat Ibu Tanti dan Ibu Noer tersenyum tipis.
“Ya, udah. Kita berangkat sekarang, ya?” Ibu Tanti melihat Angelina, Karina, dan Ibu Noer secara bergantian.
Karina dan Ibu Noer mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Angelina, gadis itu tidak menjawab pertanyaan dari Ibu Tanti. Ia bersandar pada bahu sang sahabat, menutup mata, berusaha menghilangkan rasa khawatir yang kembali melanda.
Ibu Tanti melihat ke depan, menyalakan mesin, lalu menjalan mobil keluar dari area SMA Garuda Sakti, dengan diikuti oleh beberapa mobil lain di belakangnya.
•••
“Parkirannya penuh banget,” ujar Ibu Tanti, melihat parkiran rumah sakit yang dipenuhi oleh banyaknya mobil.
Ibu Noer mengikuti Ibu Tanti melihat seisi parkiran. “Iya, Bu. Di sini penuh banget, coba naik ke atas lagi.”
Ibu Tanti mengangguk, menjalankan mobil menuju sebuah jalan untuk pergi ke parkiran lantai berikutnya.
Parkiran lantai itu terlihat lumayan sepi, membuat Ibu Tanti tersenyum tipis, lalu memarkirkan mobilnya di salah satu sudut dengan diikuti oleh beberapa mobil di belakangnya.
Ibu Tanti mematikan mesin, melepaskan seatbelt pada tubuhnya, lalu menoleh ke arah belakang, melihat Angelina dan Karina yang sedang terlelap dalam tidur.
“Eh, mereka berdua tidur,” kata Ibu Tanti.
“Mereka berdua kayaknya kecapean, deh, Bu,” ujar Ibu Noer, tersenyum tipis saat melihat wajah polos dan imut milik kedua gadis yang sedang tertidur itu.
Ibu Tanti mengangguk, menyetujui perkataan Ibu Noer. “Iya, kayaknya, Bu. Terus, ini gimana? Mau dibangunin aja mereka?”
“Iya, Bu, bangunin aja,” jawab Ibu Noer, sebenarnya dirinya tidak tega untuk membangunkan kedua gadis itu. Namun, apa boleh buat, situasi saat ini harus memaksanya menghilangkan rasa kasihan itu.
Tangan kanan Ibu Tanti bergerak mendekati kaki Angelina dan Karina, menepuk pelan paha kedua gadis itu agar bangun dari alam mimpi.
“Angel, Karin, bangun, yuk. Kita udah sampai di rumah sakit,” kata Ibu Tanti, dengan lembut.
Merasakan tepukan pada bagian paha, membuat Karina sontak menggeliat. Gadis itu perlahan-lahan mulai membuka mata, melihat kedua guru yang berada di depannya.
“Kita udah sampai, Bu?” tanya Karina, dengan suara cukup serak seraya menguap kecil.
Ibu Tanti dan Ibu Noer tersenyum tipis saat melihat Karina yang sedang menguap. Menurut kedua perempuan itu, wajah Karina begitu sangat lucu jika dalam keadaan seperti saat ini.
“Udah, Kar. Ini kita lagi di parkiran,” jawab Ibu Noer.
Karina menggosok-gosok kedua mata, berkedip beberapa kali agar indera pengelihatannya kembali berubah menjadi normal. “Gitu, ya, Bu. Ya, udah, Bu. Ayo, kita turun.”
“Tunggu dulu, Kar. Angel belum bangun,” kata Ibu Tanti, melihat Karina yang sudah ingin membuka pintu mobil.
Mendengar perkataan Ibu Tanti, membuat Karina menoleh ke arah Angelina. Dan benar saja, ia dapat melihat sang sahabat yang masih terlelap di dalam alam mimpi.
Karina menepuk pelan pipi Angelina, berusaha membangunkan sang sahabat dari tidurnya.
Beberapa kali Karina terus menepuk pelan pipi Angelina. Namun, gadis itu masih juga belum terbangun.
“Ngel, bangun. Kita udah sampai di rumah sakit, loh. Ayo, kita lihat keadaan Vanessa,” kata Karina pelan.
Setelah Karina mengatakan itu, terlihat air mata perlahan-lahan turun dari kedua mata Angelina yang masih tertutup.
Angelina mulai bersuara dengan sangat pelan, mengatakan sesuatu yang membuat Karina, Ibu Tanti, dan Ibu Noer sontak menatap khawatir ke arahnya.
Karina kembali menepuk-nepuk pipi Angelina seraya menggoyang-goyangkan tubuh sang sahabat dengan pelan. “Ngel, bangun. Angel, lu kenapa? Bangun, Ngel, bangun.”
Usaha yang dilakukan Karina sia-sia, Angelina belum juga terbangun dari tidurnya. Namun, itu tidak berlangsung lama. Beberapa detik setelah Karina menghentikan usahanya, Angelina tiba-tiba saja meneriakkan nama Vanessa dengan mata yang sudah terbuka, dan air mata yang kembali mengalir dengan cukup deras.
“Ngel, lu kenapa, hei?” tanya Karina, memegang pundak Angelina pelan, merasa khawatir dengan keadaan sang sahabat.
Mendengar suara Karina, Angelina sontak menoleh ke arah sang sahabat. Ia dengan cepat memeluk erat tubuh Karina, menyembunyikan wajahnya di bahu gadis itu.
Kedua mata Karina sontak melebar saat tiba-tiba saja mendapatkan pelukan yang sangat erat dari Angelina. Ia membalas pelukan itu, mengelus punggung sang sahabat saat merasakan tubuh gadis itu bergetar cukup hebat. “Ngel, kenapa? Lu mimpi buruk? Udah, tenang, ada gue di sini.”
“Van-Vanessa, Kar. Gue mimpi Vanessa ninggalin kita, gue mimpi Vanessa meninggal, Kar. Gue takut banget,” ujar Angelina, tubuhnya semakin bergetar dengan sangat hebat, air mata juga terus mengalir membasahi kedua pipi putihnya.
“Ngel, tenang. Itu cuma mimpi, Vanessa pasti akan baik-baik aja. Udah, ya, jangan nangis lagi. Kita sekarang udah sampai di rumah sakit, loh, buat jenguk Vanessa,” kata Karina, berusaha menenangkan sang sahabat, walaupun dirinya tiba-tiba merasakan kegelisahan saat mendengar mimpi Angelina.
Mendengar perkataan Karina, membuat Angelina melepaskan pelukannya, menatap wajah sang sahabat dengan sendu, mengabaikan seluruh tubuhnya yang masih bergetar dengan sangat hebat. “Ki-kita, u-udah sampai di rumah sakit? Ayo, keluar, gue udah gak sabar pingin lihat keadaan Vanessa.”
Karina menangkup wajah Angelina, menghapus air mata yang masih terus mengalir. “Tenangin diri lu dulu, Ngel, baru kita masuk. Lu gak mau, kan, kalo Vanessa sedih gara-gara ngeliat lu nangis kayak gini?”
Angelina mengangguk perlahan-lahan, menutup mata, mengembuskan napas beberapa kali, berusaha menghilangkan perasaan takutnya akibat mimpi buruk yang baru saja ia alami.
Selama Angelina menutup mata, Karina tidak henti-hentinya memberikan elusan pada kedua pipi sang sahabat. Gadis berusaha membantu sebisanya agar Angelina kembali menjadi tenang.
Beberapa menit telah berlalu, Angelina perlahan-lahan kembali menjadi tenang, membuat Karina, Ibu Tanti, dan Ibu Noer tersenyum lega.
Keempat perempuan itu turun dari dalam mobil kala keadaan Angelina telah membaik. Mereka menghampiri beberapa guru yang sudah menunggu di luar, lalu berjalan menuju gedung rumah sakit.
•••
Air mata Galen perlahan-lahan mulai tumpah membasahi kedua pipi, ingatan akan perkataan dokter beberapa menit lalu kembali terputar, membuat cowok itu merasakan sesak yang tiada tara di bagian dada kiri.
Tatapan Livy berubah menjadi sangat sendu, melihat sang tunangan yang sangat rapuh seperti saat ini membuat dirinya menjadi sedih. Ia berjalan mendekati Galen, lalu mendudukkan tubuhnya di samping cowok itu.
“Sayang,” panggil Livy, seraya memberikan elusan lembut pada punggung lebar milik Galen.
Mendengar suara Livy, air mata Galen semakin tumpah. Entah kenapa itu bisa terjadi, dirinya pun bingung. Namun, saat ini ia benar-benar sedang sangat sensitif, bahkan hanya sekedar mendengar suara lembut milik sang tunangan dapat membuat dirinya semakin menjadi sedih.
Livy menghentikan elusan pada punggung Galen, air matanya perlahan-lahan juga ikut keluar. Ia merentangkan kedua tangan, lalu memeluk lembut tubuh sang tunangan.
“Sayang, aku percaya kalau Vanessa masih bisa sembuh, kamu juga percaya, kan? Kamu percaya, kan, sama adek kita?” tanya Livy, mengelus lembut lengan Galen di sela pelukannya.
Galen menggigit bibir bawah, perlahan-lahan mulai mengangguk dengan tubuh yang sudah bergetar sangat hebat. “A-aku p-percaya, tapi tadi kata dokter kemungkinan buat Vanessa sembuh itu kecil. Aku takut, aku takut banget kehilangan Vanessa, aku takut banget.”
“Ssstt. Sayang, gak boleh ngomong gitu. Please, dipikirin kita harus hanya ada kata percaya sama adek, dan gak boleh ada kata lain,” ujar Livy, suara terdengar sangat bergetar.
Galen menutupi wajah dengan tangan kanan, menghapus air mata yang masih terus mengalir. Ia berusaha untuk percaya. Namun, apalah daya, rasa takut dalam dirinya lebih besar daripada rasa percayanya akan kesembuhan Vanessa.
Galen benci ini, benci akan perasaannya saat ini. Padahal sang adik, kini sedang berjuang sendirian di dalam sana, menahan semua rasa sakit yang mungkin sangat tiada tara rasanya.
“Kak Galen, Mbak Livy,” panggil Karina, melihat pasangan itu sedang menangis dengan keadaan berpelukan.
Mendengar namanya dipanggil, membuat Livy sontak melepaskan pelukan dari tubuh Galen, menghapus air mata yang masih mengalir, lalu mengangkat kepala.
“Eh, Ngel, Kar, kalian udah pulang sekolah?” tanya Livy, disertai sebuah senyuman lebar dengan kedua mata yang tertutup.
“Udah, Mbak. Oh, iya, kalian berdua kenapa? Terus, keadaan Vanessa gimana? Udah ada kabar dari dokter?” jawab dan tanya Karina.
Senyuman pada wajah Livy perlahan-lahan mulai menghilang. Ia menoleh sekilas ke arah Galen, melihat tubuh sang tunangan yang sudah kembali bergetar.
Tangan kanan Livy mengelus lembut punggung Galen seraya menatap ke arah Angelina, Karina, dan beberapa guru yang ada di sana.
“Kalian bisa tunggu di sana sebentar gak? Ada sesuatu yang mau aku kasih tau,” tanya Livy, menunjuk ke arah beberapa kursi tunggu yang terletak cukup jauh dari tempatnya menggunakan dagu.
Angelina dan Karina melihat ke arah tempat yang telah ditunjuk oleh Livy. Kedua gadis itu mengerutkan kening, merasa penasaran akan sesuatu yang akan Livy katakan hingga harus menyuruh mereka menjauhi tempat Galen berada.
Angelina ingin bersuara. Namun, ia mengurungkan niat saat melihat tatapan mata Livy yang seakan memohon agar dirinya tidak mengatakan apa-apa.
Angelina perlahan-lahan mengangguk. Ia bersama dengan Karina dan beberapa guru kemudian berjalan menuju tempat yang telah Livy tunjukkan.
Mereka semua mendudukkan tubuh di kursi, melihat ke arah Livy yang masih terus mengelus lembut punggung Galen seraya mengatakan sesuatu.
“Mbak Livy mau ngasih tau apa, ya, Kar? Perasaan gue jadi gak enak,” tanya Angelina, memegangi dada kirinya yang tiba-tiba saja terasa sedikit sakit.
Karina bersandar pada sandaran kursi, melihat ke arah ruangan IGD tempat Vanessa sedang berada. “Gue gak tau, Ngel. Tapi, gue berharap itu bukan sesuatu yang buruk.”
“Semoga aja, ya, Kar.” Angelina menundukkan kepala, mengembuskan napas beberapa kali, berusaha menghilangkan rasa sakit di bagian dadanya.
Tangan Ibu Noer dan Ibu Tanti bergerak mengelus lembut punggung Angelina dan Karina saat melihat raut sedih dari kedua gadis itu. Mereka berdua beberapa kali membuka obrolan, agar kesedihan yang dirasakan oleh Angelina dan Karina bisa sedikit berkurang.
Akan tetapi, itu tidaklah mudah, semua obrolan yang telah mereka buka hanya dibalas dengan anggukan, gelengan, dan senyuman tipis.
Ibu Tanti belum menyerah. Ia mulai berpikir, lalu mendapatkan sebuah topik obrolan yang mungkin akan membuat kedua siswinya itu merasa sedikit tertarik.
“Ngel, Kar, kalau Vanessa nanti udah sembuh, kalian berdua mau ngelakuin apa aja sama dia?” tanya Ibu Tanti, melihat Angelina dan Karina secara bergantian.
Topik obrolan yang dibuka oleh Ibu Tanti membuahkan hasil, Angelina dan Karina menoleh ke arahnya, mulai menjawab pertanyaan yang telah ia berikan. Dari pertanyaan itu, Ibu Tanti dengan dibantu oleh Ibu Noer melebarkan topik obrolan, sehingga membuat Angelina dan Karina perlahan-lahan dapat sedikit melupakan kesedihan yang sedang mereka alami.
Saat sedang asyik mengobrol, Angelina dan Karina sontak berdiri saat melihat Livy berjalan mendekati mereka.
“Kelihatannya asyik banget. Kalian lagi ngobrolin apa?” tanya Livy, saat telah berada di hadapan Angelina dan Karina.
“Cuma cerita-cerita doang, kok, Mbak. Oh, iya, Mbak tadi mau ngasih tau apa?” jawab dan tanya Angelina.
Livy diam sejenak, melihat Angelina dan Karina secara bergantian. Ia mengembuskan napas beberapa kali, mulai menceritakan tentang keadaan Vanessa saat ini secara perlahan kepada Angelina, Karina, dan beberapa guru yang ada di sana.
Sepanjang Livy bercerita, tubuh Angelina dan Karina bergetar dengan sangat hebat. Bahkan, kedua gadis itu kini sudah tidak dapat lagi berdiri sendiri, lantaran kaki mereka terasa sangat begitu lemas.
Air mata keluar, membasahi pipi Angelina dan Karina. Kedua gadis itu benar-benar merasa sangat rapuh sekarang, tidak siap jika Vanessa meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
To be continued:)