Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Saat pintu kayu itu berderit pelan, Kim Woon nyaris belum sempat melangkah masuk ketika sebuah suara kecil menyambutnya.
Yeon Ji sudah berdiri di sana, menatapnya dengan mata lebar yang dipenuhi rasa ingin tahu.
"Ayah, apa kau bersedih karena terjatuh lagi?"
Kim Woon mengerutkan kening. "Ayah tidak mengerti, apa maksud Yeon Ji?"
Yeon Ji menunjuk luka samar di wajahnya, ekspresinya penuh kekhawatiran. "Itu, Ayah terjatuh lagi, kan?"
Kim Woon terdiam sejenak. Bagaimana aku bisa lupa mengenai hal ini… Luka itu bukan karena jatuh, tentu saja. Tapi ia tak mungkin menjelaskan kebenarannya pada gadis sekecil ini.
Yeon Ji menatapnya lekat-lekat, lalu bertanya lagi dengan suara lembut, "Apa lukanya begitu sakit hingga membuat Ayah bersedih?"
Kim Woon tersenyum tipis, menatap putrinya yang masih berdiri di hadapannya dengan wajah polos. Dengan satu gerakan ringan, ia mengusap kepala gadis kecil itu.
"Lupakan soal itu. Sekarang, katakan, Yeon Ji ingin makan malam apa dengan Ayah?"
Yeon Ji tampak berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. "Aku tidak tahu namanya, tapi aku sangat menyukai makanan pedas berwarna merah yang beberapa hari lalu Ayah bawa..."
Kim Woon terkekeh kecil. "Kau mau tteokbokki?"
Mata Yeon Ji berbinar lebih lebar. "Pokki? Jadi itu namanya? Iya, aku mau itu!"
Kim Woon mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Selagi Ayah memesan, kau mandi dulu, ya? Setelah itu, Ayah akan membantu menata rambutmu."
"Baik, Ayah!"
Dengan semangat, Yeon Ji langsung berlari kecil menuju kamar mandi.
Seperti biasa, Kim Woon selalu meminta putrinya menunggu sampai ia tiba sebelum mandi. Bukan karena Yeon Ji belum cukup mandiri, tetapi karena kekhawatiran seorang ayah yang tak pernah surut.
Ia tahu betul, satu kesalahan kecil—terpeleset di kamar mandi, salah mengatur pemanas air—bisa berakibat fatal. Dan jika sesuatu terjadi pada Yeon Ji ketika ia tidak ada di sana untuk menjaganya, ia tahu, ia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
Setelah Yeon Ji selesai mandi, Kim Woon membawanya ke kamar dan duduk di atas ranjang dengan handuk di tangannya. Gadis kecil itu duduk diam di depannya, membiarkan ayahnya mengeringkan rambutnya dengan lembut. Setiap helai rambut hitamnya terurai, mengeluarkan aroma sabun yang menenangkan.
Saat jemari Kim Woon perlahan menyisir rambut putrinya dengan handuk, sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur dari bibir kecil itu.
"Ayah, sekolah itu seperti apa?"
Kim Woon menghentikan gerakannya sejenak. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya, Nak?"
"Ayah bilang kemarin akan mengirimku ke sekolah. Karena itu, aku ingin tahu apa itu sekolah."
Yeon Ji menatapnya penuh rasa ingin tahu, lalu melanjutkan, "Apakah di sana ada anak-anak sebesar diriku? Apakah sekolah itu seperti halaman Tuan? Atau lebih besar dari rumah Tuan?"
Kim Woon tersenyum tipis. "Yang pasti, sekolah akan mengajarkanmu banyak hal—mulai dari menulis, berhitung, hingga membaca."
Mata Yeon Ji berbinar. "Benarkah, Ayah? Jadi aku akan bisa menulis dan membaca seperti Ayah?"
"Itu benar, Nak. Kau juga akan mendapatkan banyak teman dan tak lagi merasa kesepian."
Yeon Ji mengerutkan kening. "Teman? Apa itu, Ayah? Apakah itu sejenis makanan?"
Kim Woon tertawa kecil. "Bukan, Nak. Teman adalah seseorang yang bisa kau ajak bermain dan menghabiskan waktu bersama selama Ayah bekerja."
Yeon Ji menepuk kedua tangannya dengan penuh semangat. "Wah! Itu hebat sekali! Pasti menyenangkan! Aku mau sekolah, Ayah! Aku mau… Aku mauuuu!"
Gadis kecil itu terkekeh sendiri, lalu menambahkan, "Saat aku sekolah nanti, aku akan minta diajarkan tanda tangan biar bisa jadi seperti Ayah!"
Kim Woon tersenyum samar, mengusap rambut putrinya dengan lebih lembut.
"Aku juga akan meminta diajarkan cara menjadi cepat besar," lanjut Yeon Ji penuh antusias. "Agar bisa menyalakan air panas sendiri, jadi Ayah tidak perlu lagi khawatir saat aku mandi, dan—"
Suara gadis itu terdengar begitu polos dan penuh semangat, namun di sisi lain, batin Kim Woon terasa sesak.
“Aku tidak tahu seberapa buruk yang bisa terjadi nanti. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu tanpa bekal. Kau bisa membenci atau meninggalkanku setelah memahami segalanya.”
“Namun sebelum itu…”
“…kau harus menjadi seseorang. Kau harus memiliki pendidikan dan bekal yang cukup untuk hidup nanti. Ayah tidak keberatan, bahkan jika kau memilih pergi, namun Ayah tidak akan pernah membiarkanmu hancur hanya karena rasa takut kehilanganmu.”
Tiba-tiba, suara bel rumah memecah keheningan.
Kim Woon tersentak dari lamunannya, sementara Yeon Ji langsung menoleh dengan mata berbinar. "Ayah, apa makanannya sudah sampai?"
Kim Woon mengusap kepala putrinya sekali lagi sebelum bangkit berdiri. "Biar Ayah periksa. Kau bantu Ayah ambil piring saja di dapur, ya?"
"Baik, Ayah!" seru Yeon Ji penuh semangat sebelum melompat turun dari ranjang dan berlari ke dapur.
kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...