NovelToon NovelToon
My Lecture, Like My Sugar Daddy

My Lecture, Like My Sugar Daddy

Status: tamat
Genre:Tamat / Dosen / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Sugar daddy
Popularitas:15.1k
Nilai: 5
Nama Author: Licia Bloom

"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."

"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.

Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.

Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.

Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pillow Talk

Begitu masuk ke kamar Om Lino, aku langsung dibuat tertegun.

Ruangan ini benar-benar Om Lino banget. Maskulin, elegan dan terasa mahal tanpa kesan berlebihan. Warna-warna gelap mendominasi—abu-abu, hitam, dan sedikit sentuhan cokelat tua di furnitur kayunya. Cahaya lampu yang redup menciptakan suasana hangat dan nyaman, tapi tetap ada aura yang khas banget dari Om Lino.

Dan yang paling bikin aku takjub? Ini kamar cowok, tapi bersihnya kelewatan. Ranjangnya rapi tanpa ada lipatan yang mengganggu. Meja kerjanya tertata dengan apik, hanya ada laptop, buku-buku, dan sebotol air mineral. Bahkan sofanya juga terlihat spotless.

Kontras banget sama kamarku yang lebih sering jadi zona perang.

Aku melirik Om Lino yang berjalan ke arah sofa. “Kamu tidur di ranjang saja. Saya akan tidur di sini,” ujarnya datar, seperti biasa.

Aku spontan mengerutkan kening. “Kenapa Om gak ikutan tidur di ranjang?”

Om Lino yang sudah hampir duduk di sofa langsung berhenti. Matanya beralih menatapku, jelas terkejut.

Heh! Aku barusan ngomong apa?!

Refleks aku menutup mulut. Astaga, Jihan!

Demi Tuhan, kenapa aku malah nyeletuk gitu? Sekarang Om Lino malah ngeliatin aku dengan ekspresi ‘kamu tadi bilang apa?!’

Aku buru-buru memperbaiki kata-kataku. “Ma-maksud saya … ranjangnya luas aja tuh. Badan saya gak sebesar itu kali, Om. Kita berdua muat kok di sana.”

Om Lino masih menatapku seolah aku baru saja mengajukan permintaan paling absurd.

“Saya tidak mau kamu merasa terusik.”

Aku berusaha menahan senyum kecil. “Kenapa saya bakal ngerasa terusik? Emang Om tidurnya seliar apa?” tanyaku menggoda.

Sekilas aku melihat Om Lino menghela napas. “Bukan begitu, Jihan ....”

Aku melipat tangan di dada, sok serius. “Om bakal nendang saya sampai jatuh gitu?”

Tatapan Om Lino sedikit melembut. “Tidak. Tapi saya pikir ini akan lebih baik—”

“Om, ranjangnya segede ini, masa Om mau tidur di sofa?” potongku cepat. “Saya gak enak kalau Om harus tidur di situ. Mending sekalian aja kita tidur di sini.”

Aku berusaha bersikap santai, tapi demi apa, aku deg-degan banget.

Aku ini gak kedengeran agresif, kan?

Kenapa aku gak bisa ngontrol omongan sendiri, sih?

Om Lino mengamati wajahku sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Kamu yakin?”

Aku mengangguk cepat. “Iya.”

Setelah menarik napas dalam, aku menambahkan, “Lagian … saya yakin Om gak akan macam-macam. Saya percaya sama Om Lino.”

Aku bisa melihat ekspresi Om Lino sedikit berubah. Mungkin dia kaget dengar kata-kata itu. Tapi dia gak bilang apa-apa, hanya diam beberapa detik sebelum akhirnya mengalah. “Baiklah ....”

Aku menggigit bibir.

Astaga, aku sendiri yang ngajak, tapi kenapa aku yang malah gugup?!

Walaupun begitu, aku tetap naik ke atas ranjang lebih dulu. Begitu juga Om Lino, meski gerakannya terlihat lebih kaku dari biasanya.

Begitu punggungku menyentuh kasur, aku langsung membalikkan badan, membelakangi Om Lino. Gak kuat kalau harus hadap-hadapan.

Deg deg deg

Jantungku masih berisik.

Tolong, semoga Om Lino gak dengar.

Lalu tiba-tiba ....

“Mau saya matikan lampunya?”

Aku refleks menegang. “E-enggak usah.”

“AC-nya mau dimatikan saja?”

Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri. “Gak usah ....”

“Penghangat ruangannya mau dihidupkan?”

Aku mendesis kesal. “Om, jangan ngajak saya ngomong terus. Saya grogi nih.”

Aku bisa mendengar helaan napasnya sebelum akhirnya dia berkata, “Maaf.”

Dari nadanya, aku bisa menebak Om Lino juga lagi canggung.

Huft, kita sama-sama awkward banget.

Hening sebentar sebelum dia akhirnya berkata, “Kalau begitu, selamat tidur, Jihan.”

Aku masih diam. Hanya bisa membatin.

Om, kalau kaku mah kaku aja. Gak usah sok mencairkan suasana. Ini saya makin gugup jadinya!

Aku menarik napas panjang dan mencoba tidur.

Tapi … GAK BISA!

Jantungku masih gak mau tenang.

Apa karena ini pertama kalinya aku tidur seranjang sama cowok?

Atau karena ini bukan kamarku?

Atau … karena ini Om Lino?

Aku menggigit bibir, mengumpat dalam hati.

Astaga, Jihan. Tidur. Tidur. Jangan mikir yang aneh-aneh!

Sudah lebih dari dua puluh menit dan aku masih terjaga.

Berkali-kali aku memejamkan mata, tapi tetap saja gak bisa tidur. Kepala rasanya penuh. Jantung juga belum mau tenang.

Aku gak tahu Om Lino udah tidur atau belum. Dari tadi dia gak bersuara sama sekali, bahkan suara napasnya pun nyaris gak kedengaran.

Lalu, entah kenapa, aku malah spontan manggil.

“Om ....”

Sial. Baru aja kata itu keluar dari mulutku, aku langsung nyesel.

Tapi terlambat.

“Iya?” suaranya terdengar jelas di keheningan kamar.

Lah, belum tidur ternyata?!

Aku buru-buru mencari alasan. “Eum ....”

“Kamu tetap tidak bisa tidur?” tanyanya, suaranya lebih pelan kali ini.

Aku menghela napas. “Iya ....”

Setelah ragu-ragu sebentar, aku akhirnya membalikkan badan. Kini aku telentang seperti Om Lino, menatap langit-langit kamar yang temaram.

“Tapi bukan karena takut lagi.”

Om Lino bergeming. Aku gak yakin dia masih memperhatikanku atau enggak, tapi aku tetap melanjutkan, “Sekarang saya kok gugup banget, ya, Om?”

Dari sudut mata, aku melihat Om Lino menoleh ke arahku. Tatapannya mengerjap lambat, seperti sedang mencerna kata-kataku. Atau mungkin ... dia juga bingung?

Aku mengalihkan pandangan, merasa konyol sendiri. “Om, mau cerita-cerita aja nggak?” tanyaku, berusaha mengalihkan suasana. “Atau Om udah ngantuk?”

Om Lino masih menatapku beberapa detik sebelum akhirnya bertanya, “Cerita apa?”

Aku tersenyum kecil. “Ya tentang apa aja. Kita ngobrol gitu sampai ngantuk.”

Dia gak langsung menjawab. Aku hampir mengira dia bakal nolak, tapi ternyata...

“Boleh.”

Aku refleks tersenyum senang. “Siapa yang mau cerita duluan nih?” tanyaku antusias.

“Kamu saja.”

“Okay ....” Aku menggigit bibir, berpikir sejenak. “Umm ... cerita tentang apa, ya?”

Aku mengingat-ingat sesuatu yang menarik untuk dibahas, lalu tiba-tiba satu hal muncul di benakku. “Oh, iya! Om mau tau nggak kenapa saya bisa takut sama kucing?”

Om Lino menatapku lebih fokus. Aku bisa melihat secercah ketertarikan di matanya sebelum dia akhirnya mengangguk.

“Kamu bilang dulu sebenarnya pernah suka dengan kucing, kan?”

“Iya, Om. Saya dulu pas kecil sukaaa banget sama kucing,” jawabku bersemangat. “Tapi ada kejadian yang gak bisa saya lupain sampai sekarang.”

Aku menarik napas dalam. Rasanya tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di dada.

“Ini ... berhubungan sama Papa.”

Aku gak berani menatap Om Lino. Tapi aku bisa merasakan dia menegang. Mungkin karena dia tahu pembicaraan ini akan membuat suasana tak mengenakkan. Om Lino pun pasti sudah latar belakang keluargaku.

“Om tau, kan, Papa saya udah gak ada?” tanyaku pelan.

Dia ragu-ragu mengangguk.

“Sebenarnya Papa meninggal karena kecelakaan, Om.”

Hening.

Aku bisa merasakan Om Lino menunggu, tapi dia gak menyela.

Aku menggigit bibir, jari-jariku saling menggenggam erat di atas selimut. “Dan Om tau penyebabnya apa?”

Om Lino masih diam.

Aku menarik napas, menelan ludah. Suaraku bergetar saat berkata, “Saya.”

Ekspresi Om Lino sedikit berubah. “Kenapa kamu?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

Aku menatap langit-langit, mencoba menahan gelombang emosi yang perlahan naik ke permukaan.

“Singkatnya, hari itu saya dan Papa habis beli kucing,” ungkapku dengan senyum pahit. “Papa sempat bilang kucingnya dimasukin ke kandang aja, tapi saya ngeyel mau pangku dia di sepanjang perjalanan.”

Aku mengingat kembali hari itu. Betapa bahagianya aku memeluk anak kucing kecil berbulu putih itu. Betapa aku gak sabar membawanya pulang.

“Alhasil kejadian yang gak pernah saya duga terjadi.”

Napasku terasa berat.

“Pas di jalan, kucingnya lompat ke Papa. Papa yang kaget pun gak sengaja banting setir dan kehilangan kendali.”

Aku menelan ludah, berusaha menahan rasa sesak yang mulai merayap.

“Mobilnya keluar jalur dan berujung tabrakan sama mobil lain.”

Sejenak, aku berhenti. Ada jeda panjang sebelum aku akhirnya berani melanjutkan,

“Papa ... meninggal karena kecelakaan itu.”

Aku menurunkan pandangan, menatap ujung selimut di tanganku yang gemetar.

“Karena saya ....”

Dasar Jihan. Bisa-bisanya ngungkit luka paling besar di hidup sendiri.

Aku menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba meluap.

Sial. Kenapa aku malah jadi sedih sendiri?

Beberapa saat berlalu dan aku gak mendengar suara apa pun dari Om Lino.

Aku sempat mengira dia gak akan menanggapi, tapi begitu aku mendongak, aku malah menemukan dia sedang menatapku.

Lama.

Lama banget sampai aku jadi deg-degan lagi gara-gara tatapannya yang lekat begitu.

Aku menelan ludah, tiba-tiba gugup. “Ke-kenapa, Om?”

Om Lino menghela napas pelan sebelum akhirnya berucap, “Maaf ....”

Keningku berkerut. “K-kok minta maaf?”

“Saya tidak tahu kalau itu penyebab kamu phobia kucing.” tatapannya masih gak lepas dari wajahku, tapi kini ada sesuatu dalam sorot matanya. Rasa bersalah, mungkin?

“Seandainya saya tahu dari awal kalau trauma kamu sedalam itu, saya tidak akan membawa kucing saya ke sini lagi.”

Entah kenapa, aku malah tersenyum simpul. “Gak papa, Om. Lagipula sekarang udah mendingan, gak setakut dulu lagi.”

Aku menghela napas pendek sebelum melanjutkan, “Kalau dulu, saya bener-bener bisa sampai nangis kejer cuma karena lihat kucing.” Aku terkekeh kecil. “Sekarang udah gak selebay dulu lagi kok.”

Lalu aku menambahkan dengan lebih pelan, “Ya walaupun masih agak berlebihan, sih ....”

Om Lino menggeleng tipis. “Sama sekali tidak berlebihan, Jihan.”

Aku terdiam.

“Semua orang memiliki rasa takut tersendiri,” lanjutnya. “Hampir semua manusia mengalami kejadian buruk yang menimbulkan trauma.”

Suara beratnya terdengar begitu tenang, tapi aku bisa merasakan ketulusan dalam setiap katanya.

“Jadi jangan menganggap berlebihan phobia kamu. Wajar jika kamu merasa seperti itu.”

Aku gak tahu harus membalas apa, jadi aku hanya diam.

“Mulai sekarang saya tidak akan membiarkan kucing-kucing saya muncul di depan kamu lagi,” tambahnya.

Aku spontan menoleh. “A-ah, gak perlu sampai segitunya kok, Om.”

Tatapannya masih serius.

“Saya udah mendingan sekarang,” ujarku cepat, berusaha meyakinkannya.

Dia gak langsung membalas.

Aku akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan. “Oh iya, Om Lino sendiri gimana?”

Dia menatapku sekilas, sedikit bingung. “Maksud kamu?”

“Om punya trauma juga gak?” tanyaku, lalu menambahkan, “Kan katanya hampir semua manusia mengalami kejadian buruk yang menimbulkan trauma.”

Sejenak, Om Lino diam.

“Entahlah ....” jawabnya akhirnya.

Aku menaikkan alis. “Kalau dipikir-pikir, Om gak pernah cerita sama sekali tentang diri Om.”

Dia hanya menatapku tanpa ekspresi.

“Cerita dong, Om,” bujukku.

Om Lino menaikkan sedikit tubuhnya. “Cerita tentang apa?”

Aku mengangkat bahu. “Ya apa aja.”

Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Tidak ada yang menarik dengan hidup saya. Tidak ada yang bisa diceritakan.”

Aku mendengus pelan. “Ya udah kalau gitu saya aja yang nanya-nanya, gimana?”

Om Lino melirikku sekilas sebelum akhirnya mengangguk.

Aku menyeringai kecil. “Om sekarang punya pacar gak?”

Om Lino menoleh dengan ekspresi datarnya. “Ini sudah kesekian kalinya kamu bertanya seperti itu pada saya.”

Aku terkikik. “Ya soalnya Om gak pernah jawab.”

Dia hanya mendesah pelan. Lalu, alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya, “Kamu sendiri?”

Aku memutar bola mata. “Malah balik nanya.”

Om Lino menunggu, jadi aku akhirnya menjawab, “Saya mah mana pernah pacaran.”

Aku menghela napas, lalu menambahkan, “Om lupa apa omongan Bunda saya dulu? Saya bahkan gak pernah naksir cowok. Sampai disangka gak normal sama Bunda.”

Om Lino mengangkat alis. “Bukankah kamu memiliki teman laki-laki?”

“Si Noah dan David?” Aku terkekeh. “Mereka berdua mah cuma bestie saya aja, Om.”

Dia diam, masih menatapku dengan ekspresi tenangnya.

Aku pun melanjutkan, “Lagian, dalam circle kami gak ada yang namanya temen saling cinta. Kita pure cuma temenan tanpa perasaan.”

Aku menghela napas sebelum menambahkan, “Makanya itu masing-masing dari mereka punya pacar sendiri yang bukan bagian dari circle kita.”

Om Lino hanya mengangguk kecil.

Gak tahu, sih, dia ngerti atau enggak.

“Jadi, Om sendiri punya gak?” tanyaku, menatap lekat-lekat wajahnya yang tetap tenang.

Om Lino menaikkan sebelah alis. “Punya apa?”

Aku mendecak. “Kan sengaja berbelit gini. Orang dari tadi saya jelas-jelas nanya, Om punya pacar gak?”

Sejenak, dia diam. Lalu, dengan suara rendah dan datar, dia menjawab, “Tidak, Jihan.”

Aku menyipitkan mata. “Gitu?”

Sebenarnya, aku sudah menebak jawabannya, tapi entah kenapa masih ingin bertanya lagi.

“Pernah pacaran gak, Om?”

Dia tidak langsung menjawab.

Aku menunggu.

“Pernah?” tanyaku lagi, kali ini sedikit lebih serius.

Masih gak ada jawaban.

Aku mengerutkan kening. “Pernah gak, Om? Kok diem?”

Om Lino menghela napas pelan sebelum akhirnya bergumam, “Sudah larut malam. Saatnya tidur—”

“Tunggu.”

Tanganku tanpa sadar menahan lengannya sebelum dia bisa membalikkan badan.

Dia menatapku. Tatapannya tetap datar, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat tengkukku sedikit meremang.

“Eumm, Om masih belum jawab saya. Om pernah pacaran, gak?”

“Kenapa memangnya?” tanyanya pelan. “Itu sama sekali tidak penting bagi kamu.”

Aku mengangkat dagu, berusaha terlihat lebih santai dari yang sebenarnya aku rasakan. “Gak masalah penting atau enggak. Saya penasaran. Jadi jawab aja.”

Alih-alih menjawab, Om Lino malah menatapku lebih dalam. “Tidur, Jihan.”

Aku menelan ludah. Nada suaranya tegas. Tapi aku tetap ngeyel. “Gak sebelum Om jawab.”

Aku juga gak tahu kenapa aku segigih ini. Jelas-jelas aku sudah bisa menebak ke arah mana semua ini akan berakhir.

“Jihan—”

“Sesusah itu ya emangnya buat jawab iya atau enggak?” potongku, sedikit kesal.

Om Lino memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas panjang. Aku tiba-tiba merasa ada sesuatu yang berubah dalam suasana di antara kami.

Apa aku sudah kelewatan?

Ketika dia kembali membuka mata, sorotnya lebih tajam dari sebelumnya. “Saya tidak suka masa lalu saya diungkit-ungkit. Sampai sini kamu mengerti?”

Aku terdiam.

Om Lino mengamati wajahku sesaat sebelum melanjutkan, suaranya lebih berat dari tadi.

“Masih ingin bertanya sesulit itu menjawab ya atau tidak?”

Hening.

“Ya, memang sulit bagi saya yang sudah mengubur semua itu agar tidak diingat lagi.”

Dada terasa sedikit sesak. Aku menyesal telah memaksa.

“Sampai situ seharusnya kamu sudah bisa mengambil kesimpulan dan tahu jawaban atas pertanyaan kamu tadi,” lanjutnya, nadanya lebih ketus dari sebelumnya. “Sekarang lebih baik kamu tidur.”

Untuk pertama kalinya, Om Lino ... marah.

1
Muhammad Gibran Haikal Rizky
belum ada cerita baru ya kak
Licia: belum ada kak
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
yah end deh, please buat yg baru Thor TPi yg ada hareudangnya dikit gak apalah ya dan yg lebih2 lagi deh pokoknya,/Silent/ ditunggu karya barunya thor
Muhammad Gibran Haikal Rizky
knp GK update min
Licia: iya maaf kak, kemarin² ada kesibukan😭 ini otw update
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kok belum ada update sih, aku nungguin lho
Muhammad Gibran Haikal Rizky
ikut nangis aku nya Tpi up nya dikit bnget/Grimace//Grimace/
Dewi Maharani
plot twist nya,gak ketebak Daebak....
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kan aku syedih pdahal selalu ditunggu ini ceritanya
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kok sehari cuman up 1 bab doang
Licia: Maaf ya kak lagi agak sibuk soalnya 😭🙏
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
kurang bnyk up nya, aku kan syedihhh/Smug//Smug/
Muhammad Gibran Haikal Rizky
up lagi donk, ceritanya seru tauuu/Applaud/
Muhammad Gibran Haikal Rizky
ternyata Lino tidak sebaik yg di bayangkan/Panic/ lanjut lagi yg bnyk donk up nya min
Muhammad Gibran Haikal Rizky
wah wah makin seru/Grievance/, update lagi donk min
Licia: siapp otw double up hati ini
total 1 replies
Nurul Jannah
bagus banget . no debat. semangat nya
Licia: Terima kasih banyak sudah baca dan berkomentar 🥹🩷
total 1 replies
Muhammad Gibran Haikal Rizky
lanjut lanjut lanjut part 2 dan 3 min/Pray/
Muhammad Gibran Haikal Rizky
aduhh pemasaran bed Thor,
Jung Hasanah
jangan bilang lino jg udah nikah sama dania sebelumnya
Muhammad Gibran Haikal Rizky
aku suka karyamu Thor, plisss lebih bnyak lagi donk updatenya 3 lembar judul kek,biar pun karyamu baru ini doang TPI aku langsung love sekebon coklat Thor. plis update bnyak ya,/Pray//Heart/
Licia: Aaaa terima kasih banyak, yaaa🤩 jadi semangat update kalo kayak gini🥰
total 1 replies
Rian Moontero
lanjooott thoorr💪💪🤩🤸🤸
Sakura Jpss
seruuu! Lucu, gemess, baperrr🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!