"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch~
Lilythiana, atau Lily, berjalan tergesa-gesa dengan kotak makan pagi di tangannya. Pagi itu ia merasa sedikit lebih ceria, mencoba memberikan kejutan manis untuk tunangannya, Hugo.
Setelah seminggu penuh rutinitas yang menjemukan, ia berharap hari itu bisa menjadi momen istimewa. Croissant hangat dan kopi segar, mungkin, bisa membangkitkan semangat Hugo yang sering kali terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Namun, semua perasaan positif itu dengan cepat sirna begitu ia membuka pintu apartemen Hugo. Apa yang ia lihat membuat tubuhnya serasa membeku di tempat.
Hugo, tunangannya, sedang tertidur lelap di tempat tidur, dan di sampingnya, Daisy, teman kantornya yang selama ini terlihat begitu ramah, juga terbaring begitu dekat.
Mereka tertutup selimut putih, tubuh mereka begitu dekat, tidak ada jarak sedikitpun yang membedakan antara keduanya. Itu cukup untuk membuat jantung Lily terhantam kuat-kuat.
Lily terdiam di ambang pintu, tak bisa berkata apa-apa. Semua kebimbangan yang sudah lama mengganggunya, kecurigaan yang tak bisa ia hilangkan, kini terbukti dengan jelas.
Hatinya rasanya hancur, namun amarah mulai menguasainya. Segera ia menyadari, ini adalah momen yang sudah ia takutkan selama ini.
Lily melangkah masuk dengan hati yang dipenuhi kekosongan dan kemarahan. "Hugo…" suaranya serak, mencoba memanggil tunangannya. Namun, Hugo masih terlelap, dan Daisy juga tak menyadari kehadirannya.
Tanpa pikir panjang, Lily mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto, menampilkan bukti-bukti yang selama ini ia kumpulkan.
Pesan-pesan antara Hugo dan Daisy, foto-foto kedekatan mereka yang lebih dari sekadar teman. Ini bukan lagi tentang kecurigaan. Ini adalah kenyataan yang menyakitkan.
"Lily…" akhirnya Hugo terbangun, bingung melihat Lily berdiri di hadapannya. "Kenapa kamu—"
"Jangan coba-coba berbohong lagi, Hugo," potong Lily dengan suara yang bergetar penuh amarah. "Aku sudah mengetahui semuanya. Jangan anggap aku bodoh."
Hugo terdiam, mencoba meraih tangan Lily yang hendak pergi. "Lily, tunggu! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, aku—"
Lily menatap Hugo tajam, suaranya kini penuh ketegasan. "Cukup, Hugo. Aku sudah cukup dibohongi," ucapnya sambil menunjuk ponselnya yang menampilkan bukti pengkhianatan itu. "Semua ini bukti yang tidak mungkin kamu sangkal lagi."
Hugo masih mencoba mencari alasan, wajahnya cemas. "Lily, itu hanya sebuah kesalahan! Aku mabuk, Daisy juga mabuk! Kami tidak sadar apa yang kami lakukan!"
Lily menatap Hugo dengan penuh kebencian yang mulai meledak. "Berhenti mencari alasan, Hugo!" serunya dengan nada tegas. "Aku sudah cukup menjadi wanita yang terus-terusan kamu bohongi! Semua ini jelas, dan aku tidak ingin lagi menjadi bagian dari hidupmu."
Tanpa kata-kata lagi, Lily berjalan cepat menuju pintu. Hugo berlari mengejarnya, hanya mengenakan celana boxer, panik dan terkejut. "Lily, jangan pergi begitu saja!" teriak Hugo. "Kita masih bisa menyelesaikan ini!"
Lily berhenti sejenak, berbalik menatap Hugo dengan tatapan penuh kebencian. "Apa lagi yang harus dibicarakan, Hugo? Segala sesuatunya sudah jelas. Aku tidak akan lagi terjebak dalam kebohongan ini!"
Lily melangkah keluar dari kamar apartemen itu dengan langkah tegas yang tak bisa dibendung. Di belakangnya, Hugo terus berteriak, namun kali ini tidak ada lagi penyesalan yang bisa mengubah keputusan Lily.
"Lily, kamu tidak bisa melakukan ini! Aku tidak akan membatalkan rencana pernikahan kita. Kita masih bisa—"
"Tidak, Hugo," potong Lily tanpa menoleh lagi. "Aku tidak peduli dengan rencana pernikahanmu. Aku pergi."
Lily keluar apartemen, pintu tertutup dengan keras, dan Hugo tetap berdiri di sana, terdiam, wajahnya penuh penyesalan, tetapi terlambat.
Lily sudah melangkah pergi, meninggalkan kisah yang begitu penuh pengkhianatan dan rasa sakit, dan untuk pertama kalinya, Lily merasa benar-benar bebas.
Walaupun begitu, Lily menahan sakit hati yang begitu dalam sepanjang jalan menuju halte bus. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah-olah dunia ini terlalu besar untuk dirinya yang sekecil ini.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga, meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. Kecewa, marah, dan patah hati, perasaan-perasaan itu saling bertabrakan, membuatnya merasa terpecah-pecah.
Hugo, yang pernah ia percayai dengan sepenuh hati, kini telah mengkhianatinya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Semua harapan dan impian yang mereka bangun bersama runtuh dalam sekejap.
Ia terus berjalan, berusaha tidak menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, namun air mata tak bisa dibendung. Bahkan ketika beberapa orang menatapnya dengan penuh rasa iba, ia hanya menunduk, menghapus air mata dengan cepat, dan melanjutkan langkahnya.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain terus maju, meskipun hatinya terasa kosong dan sepi. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah badai yang tidak bisa dihindarinya.
Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya Lily sampai di halte bus. Tanpa berpikir panjang, ia segera naik ke dalam bus yang datang, berharap bisa sampai ke rumah dan menyendiri sejenak.
Begitu duduk, Lily merasa sedikit lega, meskipun kepedihan di hatinya tetap ada. Ia menggenggam tasnya erat-erat, mencoba menenangkan diri di tengah keramaian.
Namun, tangisannya yang sudah tak tertahankan itu kembali pecah begitu bus mulai bergerak. Lily tak bisa lagi menahan air matanya.
Ia menangis pelan, menyandarkan kepala di jendela bus, memandang ke luar, berharap rasa sakit ini bisa hilang entah ke mana.
Semua orang yang ada di dalam bus mulai menoleh, beberapa menatap dengan rasa prihatin, sementara yang lain tampak bingung melihat seorang wanita muda menangis begitu saja tanpa bisa berhenti.
Di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam bus. Seorang pria tampan, dengan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya, berdiri di dekat pintu.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia berjalan dengan tenang menuju tempat duduk yang kosong di dekat Lily. Namun, alih-alih duduk langsung, pria itu berhenti di hadapan Lily. Dengan lembut ia melepas topinya dan tanpa kata menutupi kepala Lily yang masih tertunduk, berusaha menenangkan dirinya.
Lily terkejut, matanya masih kabur karena air mata, namun ia merasa terharu dengan kebaikan pria itu. Tanpa berkata-kata, pria itu kembali duduk di belakangnya, menatap ke luar jendela, sedikit menunduk.
Lily terdiam, merasa ada kehangatan yang datang dari tindakan pria itu. Meski tak ada kata-kata yang terucap, kebaikan pria itu seperti mengalir langsung ke dalam hatinya, membuatnya merasa sedikit lebih baik meski hatinya masih remuk.
Lily menatap topi pria itu di atas kepalanya, berusaha mengucapkan terima kasih, namun bibirnya terasa berat. Saat bus berhenti di halte, Lily memutuskan untuk mengembalikan topi pria itu.
Namun, saat ia berbalik, sebuah kerumunan penumpang yang hendak turun tiba-tiba membuat situasi menjadi kacau. Orang-orang saling berdesakan, dan dalam sekejap, pria itu menghilang.
Lily berusaha mencari-cari pria itu, menatap sekeliling dengan kebingungan. Namun, pria itu sudah tidak ada di sana. Tidak ada tanda-tanda dirinya, hanya ada kerumunan penumpang yang bergegas keluar dari bus.
Lily menatap jalanan yang kosong, merasa sedikit bingung dan kecewa. Ia ingin mengucapkan terima kasih, ingin tahu siapa pria baik hati itu, tetapi kesempatan itu sudah hilang begitu saja.
Ia merasa ada sesuatu yang hilang, namun ia tidak bisa menjelaskan apa. Pria itu, yang dengan baik hati menutupi aibnya dan memberinya sedikit ketenangan, kini sudah menghilang tanpa jejak.
Lily merasa kebingungannya semakin dalam, namun satu hal yang pasti, kebaikan pria itu, meskipun sesaat, telah menghapus sebagian dari kesedihannya.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰