"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Challenges of Trust
Matahari London baru saja menembus tirai awan, memberikan sedikit kehangatan pada pagi yang dingin. Kantor Elea, mulai dipenuhi hiruk-pikuk aktivitas karyawan yang berlalu-lalang membawa kopi dan dokumen. Elea, seperti biasa, sudah berada di ruang meeting. Di ruangan itu, ia duduk di kursi kepala meja, tampak mempelajari dokumen proyek besar yang baru saja dimenangkan perusahaan mereka melalui tender yang kompetitif.
Proyek tersebut adalah proyek pengelolaan keuangan untuk sebuah perusahaan teknologi besar di Birmingham—pekerjaan besar yang membutuhkan tim terbaik untuk memastikan semuanya berjalan sempurna. Elea merasa sedikit gugup, tetapi juga bangga. Harland, bosnya, telah mempercayakan proyek ini padanya. Sebagai kepala divisi keuangan, Elea harus memilih tim inti yang akan bekerja bersamanya selama satu minggu perjalanan dinas di Birmingham.
Beberapa bawahannya mulai memasuki ruangan meeting, wajah mereka mencerminkan campuran antara antusiasme dan kegugupan. Ada Jane, seorang akuntan senior yang selalu tenang dan teliti; Mark, analis data muda yang ambisius; Fiona, staf junior yang masih belajar tetapi sangat rajin; Lisa, dan tentu saja Darren, yang masuk paling terakhir, dengan senyum percaya diri dan gaya kasual khasnya.
Darren mengambil kursi di dekat Elea, melempar senyuman usil ke arahnya. "Jadi, Elea," katanya dengan nada santai, "sudahkah kau memutuskan siapa yang akan beruntung mendapatkan perjalanan seminggu penuh bersamamu?"
Elea hanya meliriknya sebentar sebelum kembali fokus pada dokumen di tangannya. "Aku sedang memutuskan berdasarkan kemampuan dan pengalaman, bukan keberuntungan," jawabnya tegas, nada suaranya menunjukkan bahwa ia tidak ingin bercanda.
Namun, Darren tidak terintimidasi. Ia malah bersandar di kursinya dan menatap Elea dengan tatapan penuh percaya diri. "Oh, aku yakin aku ada dalam daftar itu. Kau tahu, siapa lagi yang bisa membuat perjalanan dinasmu lebih menarik selain aku?"
Jane yang duduk di seberang Darren meliriknya dengan mata berputar, sementara Mark menahan tawa kecil. Elea, di sisi lain, tetap tenang, meskipun dalam hati ia merasa sedikit terganggu dengan sikap Darren yang terlalu santai. Ia tidak pernah benar-benar mengerti kenapa Darren, seorang junior yang sering terlihat seperti tidak serius, memiliki kepercayaan diri sebesar itu.
"Tenang saja, Darren," kata Elea dengan nada setengah dingin, "kau akan tahu sebentar lagi apakah kau cukup memenuhi kualifikasiku."
Setelah semua orang berkumpul, Elea membuka meeting dengan nada profesional. "Seperti yang kalian tahu, perusahaan baru saja memenangkan proyek besar di Birmingham. Ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk kita semua, tetapi juga tanggung jawab besar. Karena itu, aku harus memastikan tim yang kita kirimkan adalah yang terbaik."
Suasana ruangan menjadi tegang. Jane terlihat tenang tetapi fokus, Mark duduk dengan tangan terkepal di bawah meja, sedangkan Fiona menggigit bibirnya, jelas terlihat gugup. Darren, di sisi lain, malah sibuk menggambar sesuatu di buku catatannya, seolah tidak peduli.
Elea melanjutkan, "Aku sudah meninjau semua kinerja kalian selama beberapa bulan terakhir, dan aku percaya bahwa tim yang akan aku pilih adalah yang paling mampu menangani tekanan dan menyelesaikan tugas dengan efisiensi tinggi."
Ia mulai menyebutkan nama satu per satu. "Jane, aku ingin kau bertanggung jawab atas pengawasan laporan keuangan. Mark, kau akan fokus pada analisis data. Fiona, meskipun kau masih baru, aku melihat potensi besar dalam dirimu, jadi kau akan mendampingi Jane untuk belajar selama proyek ini."
Fiona tampak hampir menangis bahagia, sementara Jane dan Mark mengangguk penuh keyakinan. Namun, Elea belum menyebut nama terakhir, dan semua mata kini tertuju pada Darren, yang masih dengan santainya bersandar di kursinya.
Elea mengangkat pandangannya ke arah Darren. "Dan terakhir, Darren."
Darren tersenyum lebar, tetapi Elea melanjutkan sebelum ia bisa berkata apa-apa. "Aku ingin kau fokus pada bagian administrasi dan pengelolaan laporan harian. Meski kau masih magang, aku ingin melihat bagaimana kau bekerja dalam situasi tekanan tinggi."
"Administrasi?" Darren pura-pura mengernyit, nadanya setengah menggoda. "Elea, aku pikir kau akan memberikan peran yang lebih... menantang."
Elea menatapnya tajam. "Kalau kau merasa itu terlalu mudah, aku bisa mencarikan pekerjaan lain untukmu di kantor."
Darren tertawa kecil. "Tidak, tidak. Administrasi kedengarannya sempurna. Apa pun untuk membuat perjalanan ini lebih menyenangkan."
Elea memutar matanya. "Baiklah, kalau begitu kita akan berangkat hari Senin pagi. Pastikan semuanya siap, termasuk dokumen dan materi presentasi."
Setelah meeting selesai, Elea kembali ke ruangannya, mencoba memfokuskan pikirannya pada persiapan perjalanan. Namun, ia tahu bahwa perjalanan seminggu dengan Darren bisa menjadi tantangan tersendiri. Meski ia menghargai kerja keras dan kecerdasan pria itu, sifat nakalnya sering kali membuatnya kehilangan kesabaran.
Di sisi lain, Darren berjalan keluar ruang meeting dengan langkah ringan, senyum puas di wajahnya. Ia tahu bahwa seminggu penuh dengan Elea akan menjadi kesempatan emas untuk mendekatinya—bukan hanya sebagai seorang bos, tetapi sebagai seorang wanita yang menarik perhatian dan rasa ingin tahunya.
***
Elea duduk di meja makan, di apartemennya, sesekali mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke atas kertas. Matanya menatap Adrian, yang tampak tenggelam dalam layar laptopnya di ruang kerja kecil yang hanya dipisahkan oleh partisi kaca. Di balik kesunyian itu, suara jemarinya mengetik terdengar cepat dan ritmis. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti atau menyadari keberadaan Elea.
"Adrian," panggil Elea lembut, mencoba menarik perhatiannya.
"Hmm?" sahut Adrian tanpa mengangkat wajah dari layar.
Elea menarik napas dalam-dalam, menyiapkan nada bicara yang sekiranya cukup santai tapi juga serius. "Aku akan pergi ke Birmingham minggu depan. Ada perjalanan dinas dengan tim keuangan. Kami mungkin akan tinggal di sana selama seminggu."
"Baiklah," jawab Adrian pendek. Jemarinya masih menari di atas keyboard.
Elea menggigit bibir bawahnya, menahan gelombang kekecewaan yang sudah mulai menyelinap. Ia tahu ini bukan pertama kalinya Adrian bersikap seperti itu, tapi ada bagian dari dirinya yang masih berharap. Ia ingin suaminya bertanya lebih banyak, mungkin soal rencana perjalanan, siapa saja yang akan ikut, atau sekadar memastikan ia baik-baik saja. Tapi tidak.
"Kebetulan ada Darren yang ikut. Kau ingat Darren, kan? Anak magang itu? Yang cukup menarik perhatian para staf di kantor?" Elea sengaja melontarkan nama itu dengan nada ringan namun provokatif.
Adrian akhirnya menghentikan aktivitasnya. Tapi bukan untuk menatap Elea. Ia hanya berganti tab di layar komputernya. "Hmm, ya. Aku ingat kau kita pernah bertemu waktu itu kan? Kalau dia bisa membantu pekerjaanmu, itu bagus."
Hening lagi. Rasanya dingin.
Elea menyandarkan punggungnya ke kursi, tangannya terlipat di dada. "Tidak ada yang ingin kau tanyakan, Adrian? Tentang Darren, mungkin?" suaranya terdengar samar menggoda, tapi matanya berbinar kecewa.
Adrian akhirnya menoleh, meski hanya sebentar. "Kenapa aku harus tanya? Kau profesional, Elea. Aku tahu kau bisa mengurus dirimu sendiri." Setelah itu, ia kembali tenggelam dalam dunianya.
Kata-kata Adrian, meskipun seharusnya memuji, terdengar seperti tembok tinggi yang semakin menjauhkan mereka. Elea menelan ludah, kemudian tersenyum tipis untuk menutupi perasaannya. Ia berdiri, membawa catatannya ke ruang kerja pribadinya.
***